"Yang
penting hatinya" adalah sebuah klausul seringkali diucapkan oleh kita saat
kita dihadapkan pada fakta bahwa kita atau sesama kita sebenarnya sedang
melakukan pelanggaran entah itu dalam konteks ajaran iman dan moral atau dalam
Liturgi Suci. Tentang hal ini, saya menemukan sebuah artikel yang membahas
tentang imanentisme di mana "yang penting hatinya" merupakan salah
satu bentuk nyata dari imanentisme ini. Berikut ini terjemahannya:
Bangunan Gereja yang agung, Liturgi yang sakral sebenarnya menunjukkan penghormatan Gereja atas transendensi Allah sekaligus penegasan akan hal tersebut. |
Imanentisme: Katolisisme dan Pengalaman Religius
Apa itu imanentisme? Tampaknya tidak salah untuk berkata bahwa banyak umat
Katolik yang baik tidak pernah mendengar istilah ini. Teolog Prancis, Romo
Louis Bouyer mendefinisikan imanentisme sebagai berikut: “Sebuah kecenderungan
untuk memahami imanensi Allah atau tindakan-Nya sedemikian rupa sehingga
mengesampingkan realitas transendensi-Nya.” Bagaimana imanensi Allah dipahami
dengan benar? Imanensi Allah merujuk pada fakta bahwa Dia hadir dalam sebuah
cara yang spesial dalam semua orang yang berada dalam kondisi rahmat
pengudusan (state of sanctifying
grace). Dalam hal ini, kita mungkin diingatkan tentang Beata Elizabeth dari
Trinitas yang berusaha untuk membentuk seluruh hidup religiusnya seturut
kebenaran luhur dari “saling mendiami” (indwelling)
Tritunggal Mahakudus.
Imanensi adalah sesuatu yang sangat baik. Di sisi lain, imanentisme
bukanlah sesuatu yang baik sama sekali karena dengan menolak transendensi
Allah, imanentisme tentu saja telah benar-benar memalsukan kodrat ilahi.
Menolak transendensi Allah berarti menolak mengakui fakta bahwa Dia secara
absolut berbeda dari dan superior dari ciptaan-Nya dan hasil dari penolakan
tersebut berakhir dengan sebuah pemahaman bahwa apapun yang dikatakan tentang
hal itu bukanlah merupakan pengetahuan dari Allah yang benar. Lebih jauh lagi,
menolak transendensi Allah berarti merendahkan penalaran imanentisme itu
sendiri karena “imanensi” menjadi tidak berarti / tanpa makna bila merujuk
kepada hal-hal apapun yang lain daripada transendensi Allah yang tinggal di
antara kita melalui rahmat-Nya.
Romo John Hardon, dalam menulis mengenai subjek apologetika imanentis,
menyebutkan imanentisme sebagai “sebuah metode untuk membangun kredibilitas
iman Kristiani dengan mengacu kepada pemuasan subyektif (subjective
satisfaction) yang iman berikan kepada orang yang percaya.” Selain dengan
penekanan atas sesuatu yang subjektif, ada juga pengerdilan terhadap kriteria
objektif dari iman kita, bahkan sampai menolak mujizat dan nubuat. Motif-motif
yang murni personal untuk iman, motif-motif yang terutama berkaitan langsung
dengan perasaan-perasaan diberikan tempat yang utama. Romo Bouyer menyatakan,
“pada akhirnya, agama secara keseluruhan akan tersusun dari perasaan religius
itu sendiri.” Akal budi dipinggirkan, dan gagasan iman yang secara esensial merupakan
persetujuan yang intelek telah kehilangan nilainya.
Dapat disimpulkan bahwa imanentisme merupakan sikap subjektivisme sembrono
berkaitan dengan iman. Imanentisme secara angkuh mengabaikan fondasi-fondasi
obyektif agama Katolik sebagaimana yang diwahyukan kepada kita oleh Allah
sendiri dan yang digabungkan ke dalam deposit iman. Imanentisme memposisikan
hal tersebut sebagai sesuatu yang tidak penting atau setidaknya hanya merupakan
“kepentingan yang kedua”.
Pada tahun 1907, Paus Santo Pius X menerbitkan ensikliknya yang berjudul
Pascendi Dominici Gregis yang tujuannya adalah untuk membunyikan alarm melawan
Modernisme yang Bapa Suci sebut sebagai “sintesis semua ajaran sesat”. Bapa
Suci Santo Pius X menggambarkan kaum modernis sebagai “yang paling merusak dari
semua musuh Gereja”. Dalam analisa terhadap fenomena ini, Paus Santo Pius X
mengidentifikasikan dua bagian besar dari modernisme; yang pertama adalah
agnotisisme dan yang kedua adalah imanentisme. Modernisme Agnostik menolak
bahwa manusia memiliki kemampuan akal budi untuk mendapatkan pengetahuan akan
Allah. Dengan demikian, agnostisisme secara efektif menyingkirkan teologi
natural yaitu disiplin filosofi yang tugas utamanya adalah menunjukkan bahwa
kita dapat sampai kepada pengetahuan tentang keberadaan/eksistensi Allah
melalui akal budi alamiah. Sekarang ajaran tentang “kemampuan untuk mendapatkan
pengetahuan akan Allah” itu secara aktual merupakan materi iman bagi orang
Katolik sebagaimana yang diajarkan oleh Konsili Vatikan Pertama.
Setelah membuang teologi natural, modernisme kemudian mengajukan
imanentisme untuk menjelaskan tentang apa yang dimaksud dengan pengalaman
religius. Modernis berpendapat manusia dibekali dengan “cita rasa religius” (religious sense) yang berasal dari alam
bawah sadar dan menciptakan kebutuhan akan yang ilahi dalam diri kita. Dalam
respon atas kebutuhan ini, kita secara positif menanggapi gagasan mengenai
realitas dan kodrat Allah yang begitu nyaman selaras dengan perasaan-perasaan
kita. Dalam istilah praktis, apa yang menjadi maksud dari hal ini adalah bahwa
“Allah” yang kepadanya manusia berikan
kesetiaan tidak lain adalah sebuah fiksi dari karangan sendiri, makhluk semu
yang tidak lain berasal dari tuntutan emosi yang mendalam. Di sinilah
modernisme dapat dikatakan mencerminkan
pemikiran filsuf ateis abad ke-19, Ludwig Feurbach yang berargumen bahwa apa
yang kita sebut “Allah” tidak lebih dari produk imajinasi keinginan dan kerinduan
manusia.
Jenis sikap yang diwakili oleh imanentisme merupakan bagian yang sangat
besar dari kesadaran religius pada zaman kita hidup sekarang ini. Imanentisme,
yang dibawa kepada titik ekstrim, merupakan penolakan iman Kristiani secara
keseluruhan karena imanentisme menggantikan iman Kristiani dengan sekularisme
yang hambar dan anemik dengan mencoba menyamarkan diri sendirinya di bawah
lapisan tipis dari agama. Karena imanentisme menempatkan “perasaan” di atas
“akal budi”; imanentisme menyangkal realitas obyektif dari iman Katolik yang
terwujud dalam ajaran-ajarannya, ajaran yang berasal dari wahyu ilahi. Untuk
menyatakan dengan jelas: Bertentangan dengan imanentisme, kita memberikan
persetujuan kita atas ajaran iman karena kita percaya ajaran iman tersebut
adalah benar bukan karena ajaran iman tersebut selaras atau sejalan dengan
perasaan kita.
Secara spesifik, dalam cara apa semangat imanentisme dapat dikatakan muncul
dalam Gereja masa sekarang? Secara umum, imanentisme muncul dalam apa yang kita
sebut “Katolisisme yang mengambil dan memilih – pick and choose Catholicism”
(atau singkatnya disebut Katolik
Kafetaria) di mana masing-masing individu memutuskan apa yang mereka terima
atau mereka tolak sebagaimana yang ditentukan oleh perasaan-perasaan mereka,
bukan oleh akal budi mereka. Perasaan itu selalu berubah-ubah, tetapi
penggunaan akal budi yang benar sebagaimana yang diterapkan pada
perkara-perkara religius tidak akan mengecewakan kita dan itu terjadi karena
kita tahu bahwa tidak ada konflik antara
iman dan akal budi.
Berapa banyak umat Katolik sekarang ini yang memperlakukan ajaran Gereja
yang jelas dan tak dapat diubah mengenai kontrasepsi seolah-olah merupakan masalah
kecil yang bisa ditepis dengan lambaian tangan? Dan jelas sekali bahwa ada
hubungan dekat antara sikap seperti itu dengan cara banyak umat Katolik
memandang perkawinan sekarang ini yang tidak jauh berbeda dengan bagaimana
budaya sekular kita memandangnya. Perkawinan Suci (Holy Matrimony) tampaknya telah kehilangan kesuciannya. Selain itu,
kebutuhan vital untuk mengakui status perkawinan sebagai sebuah sakramen – yang
berarti menerima kesucian dan keutuhannya – seringkali dibuat menjadi sulit
oleh dominasi legalisme yang mementingkan diri sendiri dan kabur.
Kita semua adalah imanentis sejauh kita ingin menempatkan kehendak kita di
atas kehendak Allah yang dengan jelas telah diberitahukan kepada kita melalui
pewahyuan dan yang telah diberikan perwujudan konkretnya dalam Gereja. Tergoda
oleh imanentisme pada dasarnya berarti membuat sebuah perjanjian tanpa kenyataan/realita,
untuk menyerah kepada subjektivisme, untuk lebih memilih “jalan saya” ketimbang
jalan yang benar sekalipun “jalan saya” itu keluar jalur dari jalan yang
membawa kita secara pasti lepas dari kekacauan.
Ditulis oleh Dr. Dennis Q. McInerny,
Ph.D., dimuat di situs resmi Persaudaraan
Imam-imam Santo Petrus (FSSP), diterjemahkan bebas oleh Indonesian Papist.
Definisi tentang imanensi dan transendensi dapat
dibaca di bawah ini (dalam bahasa Inggris) mengacu kepada Kamus Istilah Katolik
oleh Romo John Hardon, SJ:
IMMANENCE. Presence or operation
within someone or something. Total "within-ness." As an operation, an
immanent act begins within and remains within the person whom it perfects in
the process. Thus acts of reflection and love are immanent acts of a human
being. They may, of course, have effects outside the mind and will, but
essentially they arise within and stay within the faculties by which they are
produced. (Etym. Latin immanere,
to remain in, hold to.)
TRANSCENDENCE. Supassing
excellence, which may be either relative or absolute. It is relative when the
excellence surpasses some objects below it, as human nature transcends the
irrational creation. It is absolute when the excellence surpasses in being and
activity all other beings. Only God is absolutely transcendent; in being
because he alone is infinite and perfect Being who cannot change; in activity
because he alone has existence of himself as uncreated First Cause on whom all
creatures depend for their least operation.