Credit: lukbar/istock.com |
Kelahiran Yesus Kristus yang menarik perhatian terjadi di
bawah bayang-bayang malam yang sunyi, Malam Kudus. Tak ada manusia yang tahu
kelahiran-Nya saat itu kecuali Santa Perawan Maria Bunda-Nya, Santo Yosef
Pelindung-Nya, dan beberapa gembala yang mengawasi kawanan domba pada malam
itu. Tetapi, pada hari ini, Hari Penampakan Tuhan, Orang-orang Majus dipandu
oleh sebuah bintang datang dan bersujud menyembah Sang Raja. Mereka
mempersembahkan hadiah-hadiah yaitu emas, kemenyan dan mur. Kedatangan Orang
Majus menggenapkan apa yang Nabi Yesaya katakan:
Yes 60:5-6 Pada waktu itu engkau akan heran melihat dan berseri-seri, engkau akan tercengang dan akan berbesar hati, sebab kelimpahan dari seberang laut akan beralih kepadamu, dan kekayaan bangsa-bangsa akan datang kepadamu. Sejumlah besar unta akan menutupi daerahmu, unta-unta muda dari Midian dan Efa. Mereka semua akan datang dari Syeba, akan membawa emas dan kemenyan, serta memberitakan perbuatan masyhur TUHAN.
Pada hari ini, Tuhan menampakkan diri-Nya kepada seluruh
bangsa dan Dia mengundang mereka datang kepada terang-Nya. Orang-orang Majus
datang dari iman pagan mereka, telah
mencari Allah yang benar dan menemukan Dia di pelukan Bunda Maria.
Dipandu oleh elemen-elemen alam; mereka telah menemukan Sabda yang menciptakan
segala sesuatu yang ada di dunia. Karena Orang Majus tidak diberikan Wahyu
Ilahi baik oleh para nabi maupun oleh Allah sendiri; mereka meraba-raba dalam
gelap mencari-Nya. Namun berkat tanda dari langit, mereka menemukan Terang yang
sesungguhnya yang mengusir semua kegelapan dan kebodohan. Orang-orang yang
berjalan dalam kegelapan telah melihat Terang yang besar. Demikianlah dikatakan
dalam Kompendium
Katekismus Gereja Katolik mengenai Penyembahan Orang Majus:
Para Majus adalah buah-buah pertama para bangsa yang dipanggil untuk beriman dan mereka datang kepada Yesus bukan dengan tangan kosong tetapi dengan segala kekayaan dari tanah dan budaya mereka. Santo Leo Agung mengatakan: “Biarkanlah semua manusia, yang diwakili oleh tiga Majus ini, menyembah Pencipta semesta alam dan semoga Allah tidak hanya dikenal di Yudea, tetapi juga di seluruh muka bumi karena agunglah nama-Nya di seluruh tanah Israel (bdk. Mzm 75:2)”
Dengan demikian, kita umat Katolik non-Israel mengikuti jejak
Orang Majus (juga non-Israel) untuk meninggalkan kegelapan dan berjalan
mendapatkan terang Tuhan yang indah dalam Iman Kristiani kita. Katolisitas
adalah hadiah terbaik yang pernah diberikan oleh Tuhan Yesus Kristus kepada
kita, sebagaimana Bapa Suci mengatakan, “Iman kepada Yesus Kristus adalah jalan
untuk tiba secara pasti pada keselamatan.”
Sayangnya, Epifani atau Hari Penampakan Tuhan sekarang ini
sekadar menjadi penanda berakhir masa liburan yang telah sangat
dikomersialisasikan. Bahkan mungkin umat Katolik sendiri sudah kehilangan sense
kesakralan akan Perayaan Epifani ini terutama oleh karena kurangnya pengetahuan
iman. Epifani ini seharusnya sekali lagi mendapatkan tempat yang tepat karena
pesan dari Penampakan Tuhan itu masih sangat relevan pada masa sekarang ini
karena kita sedang dikelilingi oleh kegelapan dan saintisme* yang berhubungan
langsung dengan ateisme. Pada masa
sekarang, tidak percaya kepada Allah dianggap mendapatkan pencerahan
intelektual. Katolisitas dipandang sebagai takhayul sementara saintisme-ateisme
dipandang sebagai kebijaksanaan yang baru. Di sini, Epifani salah satu bukti bagaimana
ilmu pengetahuan (sains) dapat digunakan untuk menemukan Allah, Terang sejati. Orang-orang
Majus adalah ahli perbintangan yang mengetahui “bahwa adalah mungkin untuk
menemukan-Nya dengan mata akal budi dalam pencarian akan makna tertinggi dari
realitas dan dengan kerinduan akan Tuhan, dimotivasi oleh iman.” (Paus
Benediktus XVI, Homili Epifani 6 Jan 2011). Apa yang kurang pada
saintisme-ateisme adalah iman sementara dalam Katolisitas kita memiliki
keduanya, iman dan akal budi (rasio).
Pada Epifani ini pun, kita bisa melihat bahwa Orang-orang
Majus menggunakan kebebasannya untuk membuka diri kepada kebenaran iman dan
tergerak oleh kasih kepada Allah memberikan persembahan emas, kemenyan dan mur.
Dalam respon kepada seorang ateis Italia bernama Piergiorgio Odifreddi, Paus
Benediktus XVI berkata: “Namun, saya
terutama ingin mencatat bahwa dalam agama matematika anda, 3 tema fundamental
dari eksistensi manusia tidak dipertimbangkan yaitu: kebebasan, kasih dan
kejahatan.” Sementara, di dalam terang dari wahyu ilahi, Katolisitas
memberikan penjelasan yang menawan mengenai kebebasan, kasih dan kejahatan
melalui para teolog dan filsuf besarnya seperti Santo Thomas Aquinas, Santo Bonaventura,
Paus Benediktus XVI, dan lain-lain.
Menutup tulisan singkat ini, berikut pesan dari Paus Benediktus XVI: “Kita tidak dapat menerima bahwa garam menjadi tawar atau
terang dibiarkan tetap tersembunyi. Orang-orang sekarang
ini masih merasakan kebutuhan untuk mendengarkan Yesus Kristus yang mengundang
kita untuk percaya kepadanya dan menimba dari sumber air kehidupan di dalam-Nya.
Pintu iman selalu terbuka untuk kita, mengantarkan kita masuk ke dalam
kehidupan persekutuan dengan Allah dan menawarkan kita masuk ke dalam
Gereja-Nya. Beriman kepada Trinitas adalah percaya pada satu Allah yang adalah
kasih: Bapa yang dalam kepenuhan waktu, mengirim Putera-Nya untuk keselamatan kita,
Yesus Kristus, yang dalam misteri wafat dan kebangkitan-Nya menebus dunia; dan
Roh Kudus yang membimbing Gereja selama berabad-abad sembari kita menantikan
kedatangan kembali yang mulia Tuhan kita.”
*. Saintisme didefinisikan oleh Beato Yohanes Paulus II
dalam Ensiklik Fides et Ratio sebagai “gagasan filosofis yang menolak mengakui keabsahan bentuk-bentuk
pengetahuan selain yang berasal dari sains-sains positif; dan saintisme
merendahkan pengetahuan agama, teologika, etika dan estetika kepada dunia
fantasi belaka.” Pengikut Saintisme menganggap bahwa satu-satunya bentuk pengetahuan
yang valid adalah yang diverifikasi oleh metode saintifik. Perlu diingat bahwa
menolak saintisme tidak berarti menolak sains atau ilmu pengetahuan namun
menolak penyempitan ilmu pengetahuan akibat gagasan ini. Saintisme mendorong
banyak orang menjadi Ateis karena memandang bahwa Allah tidak dapat diverifikasi
secara saintifik. Namun demikian, Saintisme ini berkontradiksi pada dirinya
sendiri sebab gagasan bahwa “satu-satunya ilmu pengetahuan yang valid adalah
yang diverifikasi oleh metode saintifik” adalah sebuah dogma bagi mereka yang
tidak dapat diverifikasi oleh metode saintifik itu sendiri.
pax et bonum