Saya
seorang Katolik, seorang yang berpindah keyakinan. Walaupun saya seorang
anggota Ordo Dominikan awam. Tapi saya dahulu seorang Buddhist selama lebih
dari dua puluh tahun, dan apa yang saya tekankan disini adalah mengenai
Buddhisme dan kelahiran kembali (tumimbal lahir). Dalam pembicaraan topik
tersebut, saya ingin sekali menceritakan sedikit kisah perpindahan keyakinan
saya, tentunya perpindahan saya menjadi suatu perubahan, perubahan penyambutan
yang indah, dan saya berpendapat bahwa perubahan dari kondisi tanpa harapan
yang nyata ke harapan.
Paul Williams - Dari Buddha menjadi Katolik |
Perjalanan Saya ke Buddhisme
Tumimbal Lahir
Saya
bukan seorang Buddhist sejak lahir. Sejauh yang saya tahu, keluarga dekat kami
tidak terlalu religius, walaupun dari pihak ayah saya terdapat mereka yang
menganut Anglikan dan ada kerabat kami yang menjadi imam Anglikan. Sedangkan,
dari pihak ibu saya, sejauh ingatan saya tidak ada ketertarikan akan agama.
Saya pernah mendengar bahwa nenek dari pihak ibu saya, pernah berkata bahwa dia
akan menjadi seorang Buddhist jika dia diharuskan menganut agama apapun. Saya
baru-baru ini menemukan bahwa kenyataanya keluarga kakek dari pihak ibu saya
secara turun temurun menganut Katolik, walaupun dia telah meninggalkan imannya.
Saya tidak tahu mengapa, namun untuk beberapa alasan ketika saya masih sangat
muda, saya bergabung dengan paduan suara gereja Anglikan setempat. Pada waktu itu
saya sangat senang menyanyikan lagu-lagu gerejawi. Sangat disayangkan, suara
saya pecah telalu dini (karena pubertas – pen.), dan saya berpikir bahwa saya
terlalu muda untuk menjadi seorang penyanyi bass, sejauh yang saya ingat saya
menghabiskan waktu sebagai seorang yang berpura-pura menyanyi di Head Chorister. Hal ini
mungkin menjadi gertakan lebih awal untuk memilih karir akademik.
Ketika
awal tahun 1960-an, saat usia saya sudah cukup, saya diterima di Gereja
Anglikan oleh Uskup Dover. Saya menjadi putra altar pada komuni. Pada
sekitar tahun 1960-an ini pula saya terlibat dengan gaya hidup dan segala hal
yang normal sebagaimana anak remaja laki-laki tumbuh. Ketika pergaulan dianggap
lebih penting, saya meninggalkan koor, tidak lagi menjadi putra altar, dan
kehilangan kontak dengan gereja. Pada waktu itu saya menjadi gondrong dan
berpakaian aneh.
Saya
kuliah di University of
Sussex untuk mempelajari filsafat. Pada waktu
itu, bersamaan pada akhir tahun 1960-an, saya mengembangkan ketertarikan saya
akan meditasi dan hal-hal tentang India. Saya menyalurkan ketertarikan tersebut
terutama pada filsafat India. Saya kemudian mengambil gelar doktor dalam
filsafat Buddha di University
of Oxford.
Sekitar
tahun 1973-an, saya sudah menganggap diri saya sebagai seorang Buddhist. Saya
akhirnya bernaung secara resmi menjadi Buddhist dalam tradisi Dalai Lama pada
Buddhisme Tibet. Pada tahun 1980-an, ketika saya membuat bahan pengajaran saya
di University of Bristol,
saya bersama rekan lain mendirikan sebuah kelompok di Bristol yang sekarang
kota itu memiliki Buddhist
Centre (Perkumpulan orang Buddhist)-nya
sendiri. Di perkumpulan tersebut, saya semakin terlibat dan sesekali mengajar
dalam konteks melaksanakan ajaran Buddhisme. Seperti halnya pekerjaan akademik
saya dalam filsafat Buddha, saya menulis dan berbicara sebagai seorang Buddhist
Tibet di televisi, radio, dan konferensi. Saya mengambil bagian dalam dialog
publik maupun pribadi dengan orang-orang Kristen, termasuk dengan Hans Kung dan
Raimundo Panikkar.
Saya
tertarik dengan filsafat, tapi juga saya tertarik dengan meditasi dan
keeksotikan dunia Timur. Banyak dari kami pada awalnya tertarik dengan
Buddhisme karena ajaran ini tampak tebih rasional dibandingkan alternatif
lainnya (dan juga sangat eksotik). Dalam hal tertentu, Buddhisme sepertinya
lebih masuk akal (dan eksotik) daripada agama theistik seperti Kristen.
Penganut Buddhism tidak percaya kepada Tuhan. Nah, (kami pikir) sepertinya
tidak ada alasan untuk percaya kepada Tuhan, dan adanya kejahatan menjadi bukti
kami, sebagai argumen pendukung melawan keberadaan Tuhan. Bagi kami yang
dibesarkan sebagai seorang Kristen, kita bosan membela keberadaan Tuhan dari
para pengkritik dan dunia yang tidak simpatik ini. Ketika kita meninjau kembali
dan mencoba seobjektif mungkin, Tuhan semakin tidak mungkin. Dalam Buddhisme,
seseorang memiliki sistem moralitas, spritualitas, dan filisofis yang sangat
rumit (dan eksotik), sehingga sama sekali tidak diperlukan Tuhan. Pada suatu
hantaman yang sulit tentang menerima keberadaan Tuhan, kita (umat Buddhist)
akan mengabaikan itu. Sebaliknya, dengan menjadi seorang Buddhist, (kami pikir)
seseorang dapat menjadi pemeditasi dengan umat Buddhist, seseorang yang sangat
memahami meditasi.
Tumimbal Lahir
Namun, setelah beberapa tahun menjadi Buddhist, saya semakin bimbang dengan Buddhisme yang saya anut. Pastinya hal yang menumbuhkan kebimbangan saya untuk bersepaham dengan Buddhisme adalah keraguan tentang tumimbal lahir dan juga berhubungan dengan doktrin karma. Umat Buddhist percaya tumimbal lahir yang secara umum dipahami sebagai reinkarnasi. Dan mereka menyatakan tidak ada awal mula kronologi dari rangkaian kehidupan sebelumnya. Kita semua dilahirkan kembali dalam jumlah yang tidak terbatas. Tuhan tidak ada dan tidak diperlukan untuk memulai rangkaian ini, singkatnya tidak ada awal mula. Segala sesuatu ada disekitar kita (di suatu tempat) untuk selama-lamanya.
Saat ini kepercayaan tumimbal lahir (dan juga karma), sepertinya cukup umum walaupun dengan mereka yang bukan orang Buddhist ataupun Hindu. Bahkan seorang Kristen pun pernah ditemukan percaya akan hal ini. Tumimbal lahir ini terkenal dalam kepercayaan Yunani dan Romawi kuno, namun tidak pernah menjadi bagian dalam ortodoksi Kristen. Ada beberapa alasan baik mengapa tumimbal lahir tidak pernah menjadi bagian ortodoksi Kristen. Tumimbal lahir sangat tidak sesuai dengan pusat doktrin Kristen, yaitu setiap pribadi manusia yang tidak ternilai dan keadilan Tuhan. Jika tumimbal lahir ini benar, secara nyata kita tidak memiliki pengharapan, sehingga tumimbal lahir ini adalah doktrin yang tidak memiliki harapan. Sebagai seorang Buddhist, hal ini menyadarkan saya bahwa saya tidak memiliki harapan. Saya akan menjelaskan.
Siapa yang ingin dilahirkan kembali sebagai seekor kecoak, bisa angkat tangan?
Saya
mengajak Anda untuk membayangkan bahwa Anda akan dieksekusi tanpa rasa sakit
ketika fajar nanti. Anda takut. Tapi Anda tidak perlu takut karena tidak akan
menyakitkan, sejak diberitahukan tidak ada rasa sakit. Jadi mengapa harus
takut? Mungkin yang Anda takutkan adalah menjadi akhir dari semua rencana anda
di masa depan (kisah tentang Anda selesai). Mungkin juga, Anda tidak ingin
meninggalkan teman dan keluarga anda selamanya. Juga mungkin, Anda takut akan
kehampaan yang besar, sebuah ketiadaan. Apa yang Anda takutkan?
Sekarang
saya ajak Anda lagi membayangkan bahwa algojo merangkul Anda dan berkata untuk
tidak khawatir. Hal itu tidak begitu buruk. Walaupun demikian Anda harus
dieksekusi, dan andaikan bahwa tanpa ada
keraguan bahwa ajaran Buddhisme dan Hinduisme itu benar. Dan seketika, Anda
dilahirkan kembali. Dan kenyataanya Anda dilahirkan kembali sebagai seekor
kecoa di Amerika Selatan.
Jadi mengapa kita tidak terhibur dengan semuanya ini? Mengapa kita masih tidak menyukai ide tentang eksekusi fajar tersebut, walaupun dilanjutkan dengan segala kesenangan menjadi seekor kecoa di Amerika Selatan? Anda mungkin berkata, kecoa itu mengerikan, jelek, makhluk menjijikan. Siapa yang ingin menjadi salah satu dari mereka (kecoa)? Tetapi apakah itu adil? Mungkin kecoa tidak mengerikan dan jelek bagi mereka sendiri. Dan setelah semua itu, saya kira induk mereka akan mencintai mereka.
Dapatkah Anda membayangkan menjadi seekor kecoa? Dapatkah Anda membayangkan kehidupan sebagai kecoa? Tentunya tidak bisa. Kami tidak meminta Anda untuk dapat membayangkan terbangun dalam tubuh seekor kecoa (seperti Kafka katakan dalam ceritanya Metamorphosis). Kami tidak meminta Anda membayangkan menjadi Anda sendiri, yang entah bagaimana berusaha secara sadar untuk menerima diri yang terpaksa masuk ke dalam tubuh kecoa. Itu sangat tidak menyenangkan. Anda akan bermasalah dengan kaki-kaki kecoa itu, sedikitnya untuk sementara waktu, dan Anda akan membenci induk-induk kecoa anda yang mendekati Anda dimanapun. Dia sangat mengerikan? Tapi tidak demikian kan? Anda akan mencintai induk-induk kecoa anda, karena (saya kira) kecoa menyayangi induk mereka. Karena Anda seekor kecoa juga. Anda tidak dapat membayangkan seperti apa menjadi kecoa itu, karena Anda tidak akan menjadi diri anda di dalam tubuh kecoa. Anda akan menjadi kecoa dan siapa yang tahu apa yang kecoa bayangkan dan impikan.
Tumimbal Lahir Berarti Akhir dari Saya
Apa yang saya tekankan disini? Ini yang saya tekankan: Apa yang ditakutkan tentang eksekusi fajar dan dilahirkan kembali sebagai seekor kecoa, hal yang sederhana dan lugas, yaitu akhir dari saya. Saya tak dapat membayangkan dilahirkan kembali sebagai seekor kecoa karena tidak bisa untuk membayangkannya. Jika disederhanakan, maka saya tidak ada lagi sama sekali. Jika tumimbal lahir benar, baik saya maupun orang yang saya cintai hidup dalam kematian. Dengan tumimbal lahir, bagi saya (pribadi saya saat ini), kisah saya benar-benar berakhir. Mungkin saja ada mahkluk hidup lain yang hidupnya dalam suatu hubungan sebab akibat (kausal) dengan kehidupan menjadi diri saya (dipengaruhi oleh karma saya), tetapi bagi saya tidak demikian. Tak ada yang dapat dikatakan lagi tentang pribadi saya.
Tak satupun dari dalam hal ini sendiri berarti posisi Buddhisme salah. Tetapi hal tersebut mengartikan demikian, jika posisi Buddhisme benar, kematian kita dalam hidup ini benar-benar kematian kita. Kematian menjadi akhir bagi kita. Secara tradisional, setidaknya dalam tingkatan hari ke hari, penganut Buddhisme dan mereka yang menganut ajaran lain yang menerima tumimbal lahir cenderung untuk mengaburkan fakta ini dalam pilihan bahasa yang mengacu pada “tumimbal lahir saya” dan “perhatian pada kehidupan masa depan seseorang”. Tapi kenyataanya tumimbal lahir (katakanlah sebagai seekor kecoa di Amerika Selatan) tidak akan menjadi seseorang, dan terdapat pertanyaan serius, mengapa seseorang harus memperhatikan tumimbal lahir yang akan terjadi di masa yang akan datang.
Pada awalnya saya mulai melihat bahwa Buddhisme itu benar, tetapi untuk selanjutnya alih-alih untuk mendapat pencerahan (nirwana) ataupun sesuatu (yang baik) dalam hidup ini, dimana seluruh siklus tumimbal lahir akan selesai dengan sempurna, saya tidak akan memiliki harapan. Jelasnya, saya tidak akan mendapatkan pencerahan dalam kehidupan ini. Seluruh penganut Buddhisme akan cenderung untuk menerima sesuatu sebagai kebenaran yang terkait dengan setiap orang. Pencerahan adalah pencapaian tertinggi dan sangat jarang bagi pejuang spiritual, bukan orang-orang seperti kita, tentu saja bukan orang seperti saya. Sehingga saya (dan semua teman dan keuarga saya) membuat mereka sendiri tanpa harapan. Bukan hanya itu, sebenarnya dalam perspektif Buddhisme mengenai skala ketidakterbatasan waktu, makna setiap orang dari kita, contohnya orang seperti apakah kita, menyatu pada kehampaan. Untuk setiap pribadi kita menghidupi kehidupan kita dan selanjutnya musnah. Setiap orang dari kita (pribadi kita) hilang selamanya. Bagiku Buddhisme tidak memiliki harapan. Tapi apakah saya sangat yakin akan kebenaran Buddhisme? Seperti St. Paulus tahu dengan baik, setidaknya Kekristenan menawarkan harapan.
Karma
Izinkan saya berkata sesuatu tentang teori yang biasanya berdampingan dengan tumimbal lahir, yaitu teori karma. Teori ini secara umum, berarti perbuatan bijak dan jahat kita masing-masing akan menghasilkan suatu hasil yang menyenangkan dan menyakitkan bagi kita. Jadi jika saya tersandung dan jari kelingking kaki saya patah, maka peristiwa menyakitkan tersebut adalah hasil dari perbuatan jahat yang dilakukan saya di masa lalu. Jika apa yang saya jabarkan di atas benar, maka prinsip-prinsip karma jika diterapkan selama masa hidup seseorang, berarti suatu pribadi lolos sepenuhnya sedikitnya dari hasil perbuatan jahatnya, dan yang lainnya mendapatkan peristiwa menyakitkan yang berasal dari hasil perbuatan jahat yang tidak mereka lakukan.
Andaikan hal berikut ini: Seorang diktator yang kejam memerintahkan di ranjang kematiannya untuk membantai seribu orang. Diktator itu mati, sehingga orang tersebut (sang diktator) tidak pernah menerima hasil yang buruk oleh karena karma. Tak diragukan lagi dia akan menjadi makhluk yang lain, "seseorang yang dilahirkan kembali" yang akan menerima hasil-hasil yang mengerikan (dari karma si diktator). Akan tetapi hal yang pertama, apa karmanya untuk diktator kita tersebut? Dan yang kedua, jelas sekali makhluk lain (seseorang/sesuatu yang dilahirkan kembali), akan terluka parah akibat sesuatu yang dia tidak lakukan (kata ganti "dia" disini bisa dalam konteks sebagai manusia pria atau wanita dan juga makhluk lain contohnya hewan). Contoh pemikirannya, seorang bayi, misalnya menderita penyakit yang menyakitkan oleh karena sesuatu yang orang lain lakukan, bahkan jika sang bayi masih merasa bahwa dia adalah yang terlahir kembali dari orang tersebut (sang diktator), hampir tidak, digambarkan sebagai kepuasan atau keadilan. Hal itu tentunya bukan jawaban yang tepat tentang masalah kejahatan, seperti beberapa orang nyatakan. Bayi tersebut semata-mata bukanlah orang yang telah melakukan perbuatan jahat, tidak lebih dari seekor bayi kecoa yang adalah saya setelah eksekusi tersebut.
Penganut Buddhism tidak meyakini adanya Tuhan, tapi andaikan Tuhan itu ada maka teori karma tentunya tidak sesuai dengan keadilan-Nya. Dan juga, yang akan terjadi adalah pembuangan pribadi ke tumpukan sampah sejarah, itulah yang terkait dengan tumimbal lahir.
Orang Kristen Memiliki Harapan
Kesimpulan
Lampiran
Hal
itu sepertinya menjadi terang dan jelas bagi saya, bahwa jika saya terlahir
kembali menjadi pribadi saya sendiri pada kehidupan saat ini, maka tidak ada
lagi. Hal ini jelas tak dapat dibayangkan jika saya dilahirkan kembali sebagai
seekor kecoa di Amerika Selatan. Kita tidak dapat mengatakan bahwa saya adalah
pribadi yang sama sebagai seekor kecoa di Amerika Selatan. Dapatkah kita
berkata lagi bahwa saya akan menjadi pribadi yang sama jika kelahiran kembali
saya melibatkan embrio manusia di Afrika? Atau di Bristol, di keluarga saya
sendiri? Dan posisi standar (yang benar) Buddhisme secara eksplisit menolak
bahwa orang yang dilahirkan kembali adalah pribadi yang sama dengan orang yang
telah meninggal. Jadi tumimbal lahir tidak sesuai dengan nilai manusia yang
berharga.
Tapi
agama Kristen adalah agama dengan nilai manusia yang berharga. Pribadi seperti
apa kita, atau akan menjadi apa, bukan ketidaksengajaan bagi kita, dan bukan
hal yang remeh. Setiap orang adalah ciptaan pribadi dari Tuhan, yang sangat
dicintai dan bernilai bagi Tuhan. Pada hal tersebut menjadi dasar seluruh
moralitas Kristiani, dari nilai keluarga sampai kepada altruisme (suatu prinsip
dan sikap terhadap kesejahteraan orang lain tanpa memperhatikan diri sendiri)
dan penyangkalan diri dari santo-santa. Karena kita sangat berharga sehingga
Tuhan Yesus wafat untuk kita masing-masing. Dia wafat bukan untuk selamat dari
rantai tumimbal lahir, ataupun mereinkarnasikan diri-Nya. Dia wafat untuk
menyelamatkan kita. Dan kita adalah pribadi kita masing-masing, yang dibentuk
dari individu-individu dengan cerita, keluarga, dan teman kita. Bertentangan
dengan mitos Kristen yang membenci fisik dan tubuh (bidah gnostikisme),
sebenarnya Kekristenan adalah juga agama perwujudan dan kebaikan yang hakiki
dari seluruh ciptaan fisik.
Semua
hal tersebut bahwa tumimbal lahir akan bertentangan dengan seluruh arah
Kekristenan. Jika ada kelangsungan dari kematian (dan iman Kristen yang berasal
kebangkitan Kristus sendiri, dan berdasarkan akan itu), maka hal tersebut bukan
dalam syarat tumimbal lahir. Tumimbal lahir dan nilai manusia yang berharga
adalah hal yang bertentangan. Pandangan Kristen tentang kematian adalah
suatu harapan, sebenarnya suatu
kemenangan (keterpisahan dari apapun) yang melihat kematian bukan sebagai suatu
kehampaan, ketidakadaan. Suatu kisah, tidak berakhir bagi pribadi kita, kita
dapat berharap bahwa kita tidak terpisah selamanya dari teman dan keluarga
kita. Tapi lebih dan lebih lagi daripada itu, iman kita bahwa dalam Tuhan,
kematian kita akan bermakna untuk masing-masing dan setiap pribadi kita
(masing-masing individu seseorang) dengan cara yang melebihi imajinasi kita,
tetapi bahkan sekarang membangkitkan harapan kita dan menarik kehidupan kita
(dari tanpa harapan).
Kesimpulan
Baiklah,
semua pemikiran itulah yang secara berangsur-angsur membawa saya jauh dari
Buddhisme. Bagi saya Buddhisme itu tidak memiliki harapan. Agama Kristen
memiliki harapan. Saya sangat ingin untuk dapat menjadi seorang Kristen. Saya
kembali (menjadi Kristen), untuk melihat kembali hal-hal yang saya tolak dalam
iman Kristen sebelumnya (sebagai Anglikan). Saya mengulas dengan rinci tahapan
perjalanan saya dalam buku saya "The Unexpected Way" (T&T
Clark/Continuum:2002). Oleh karena kasih karunia, saya datang kembali kepada
Tuhan. Saya meyakinkan diri saya sendiri, bahwa hal untuk percaya kepada Tuhan
itu rasional, serasional (bahkan sekarang saya katakan lebih rasional lagi)
daripada percaya dengan penganut Buddhisme bahwa tidak ada Tuhan. Sejalan dengan
percaya kepada Tuhan, maka saya tidak lagi dapat untuk menjadi seorang
Buddhist. Saya harus menjadi seorang theist. Saya melihat dengan seksama pada
bukti dan pada waktu itu saya tercengang ketika mencari arti sesungguhnya dari
kebangkitan Tuhan kita dari kematian setelah penyaliban-Nya, yang merupakan
penjelasan yang paling rasional dari apa yang sesungguhnya telah terjadi.
Itulah yang saya rasakan, menjadikan Kekristenan sebagai pilihan yang paling
rasional dari agama-agama theistik lainnya. Dan sebagai seorang Kristen
(non-Katolik), saya memperdebatkan tentang keutamaan/hak istimewa (prioritas)
yang telah diberikan kepada Gereja Katolik Roma. Saya membutuhkan suatu alasan
yang baik untuk tidak diterima ke dalam Gereja Katolik. Dalam buku saya, saya
meneliti berbagai argumen yang diberikan kepada saya untuk menentang saya
menjadi seorang Katolik, dan saya memperdebatkanya sebagai alasan untuk menolak
Gereja Katolik, tetapi semua hal itu gagal untuk meyakinkan saya. Sehingga saya
diterima ke dalam Gereja Katolik.
Sekarang saya hidup dalam rasa syukur dan
harapan. Dan saya tidak pernah bahkan sesekali untuk menyesali keputusan saya.
Lampiran
Jika apa yang saya bantahkan di sini adalah benar, maka bagi saya sepertinya kita berhak secara teologis untuk mengatakan bahwa apa yang kita sudah ketahui jikalau tumimbal lahir itu salah. Apa yang saya maksudkan disini adalah:
1. Tumimbal lahir tidak sesuai dengan kepercayaan
Kristen.
2. Sebagai umat Kristen kita berhak untuk mengatakan
apa yang kita ketahui secara teologis bahwa kepercayaan Kristen itu benar.
3. Apapun yang tidak sesuai dengan kebenaran adalah
salah.
4. Oleh karena itu, kita sebagai umat Kristen berhak
mengatakan kalau kita mengetahui secara teologis bahwa tumimbal lahir itu
salah.
- Beberapa bacaan lebih lanjut tentang Buddhisme dan Katolisisme oleh Paul Williams:The Unexpected Way, Continuum, 2002
- Buddhisme from a Catholic Perspective, Catholic Truth Society, 2006
- ‘Buddhism’, dalam Gavin D’Costa (ed.) The Catholic Church and the World Religions: A Theological and Phenomenological Account, Continuum, 2011
Paul Williams adalah seorang
Katolik yang berpindah keyakinan dari Buddhisme, dia seorang Dominikan awam,
dan seorang profesor di University of Bristol. Dia menikah dan memiliki tiga
orang anak.
©
Paul Williams, OP
Profesor Filsafat India dan Tibet
University of Bristol, Inggris
Sumber: Buddhist Convert: Paul Williams (diakses 8 Mei 2013)
Diterjemahkan oleh Arief Prilyandi untuk dipublikasi di Indonesian Papist.
Profesor Filsafat India dan Tibet
University of Bristol, Inggris
Sumber: Buddhist Convert: Paul Williams (diakses 8 Mei 2013)
Diterjemahkan oleh Arief Prilyandi untuk dipublikasi di Indonesian Papist.