Lanjutan dari bagian pertama. Anda juga dapat men-download seluruh artikel
ini di Google
Drive atau Dropbox.
Lasch, Vitz, dan
Bellah tidak pernah menyentuh Gereja Katolik dalam karya-karya yang dikutip di
atas, tetapi poin-poin mereka diterapkan pada situasi Gereja di Amerika Serikat
selama beberapa dekade terakhir. Dengan mengesampingkan isu-isu teologis
penting yang mendasar, kita bisa melihat motif psikologis yang begitu mengakar
di balik imam-imam Amerika yang “mengindividualkan” Misa-misa Kudus yang mereka
rayakan, menempatkan “stempel pribadi” mereka pada Liturgi. Imam-imam ini
bermain cepat dan longgar dengan rubrik-rubrik Misa, mengubah Kata Pengantar
yang singkat setelah Salam Pembuka – sebagaimana yang ditetapkan oleh Pedoman
Umum Misale Romawi – menjadi homili yang lain. Beberapa imam bahkan
mengindividualkan doa konsekrasi dan dalam berbagai cara lainnya berusaha untuk
menyesuaikan Liturgi Ilahi yang suci dengan selera dan pandangan mereka
sendiri.
Seorang Imam menggunakan pistol air untuk memerciki anak-anak. |
Banyak perubahan
ini telah lama diatributkan kepada “Semangat Vatikan II”. Tetapi – poin kami –
faktanya adalah bahwa semangat narsistik dan sekuler masa kini berada di balik
kekacauan-kekacauan liturgis ini. Semangat sekuler ini, sebagaimana digambarkan
oleh Lasch, adalah pemanjaan diri (self-indulgent)
dan mengutamakan diri (self-aggrandizing)
secara eksplisit. Dasar pemikiran dari orang-orang yang “mempersonalisasikan”
Liturgi adalah jelas menolak sejarah dan tradisi Gereja – seperti masyarakat
secara umum telah menolak masa lampaunya. Hal ini dengan mudah dilihat pada
pengabaian yang sering terjadi bahkan peremehan secara eksplisit terhadap
tradisi liturgis Gereja oleh mereka yang seharusnya paling setia kepada Gereja
– para imam.
Pelanggaran-pelanggaran
Liturgi ini juga mencerminkan keterputusan yang nyata dengan masa depan
Kristiani. Masa depan adalah fokus utama dari Liturgi bila dipahami dengan
benar. Liturgi mencerminkan kerinduan bertemu Allah yang kita harapkan dapat terwujud
pada saat kematian kita. Tetapi mungkin bahkan
lebih penting lagi adalah Misa memperingatkan kita tentang Penghakiman Terakhir
yang akan dialami oleh seluruh umat manusia. Pada intinya, Liturgi Suci adalah
ekspresi dari harapan akan masa depan dan manifestasi duniawi dari tujuan utama
kita – surga. Misa Kudus membawa kita keluar dari masa kini (the present) dan memberikan kepada kita
kesadaran akan tradisi-tradisi panjang Gereja yang mendahului kita. Sayangnya,
umat pada kebanyakan liturgi masa sekarang meninggalkan Misa Kudus dengan
sedikit kesadaran akan makna liturgi baik bagi masa lampau Gereja dan masa
depan abadi umat. Misa Kudus sekarang menjadi sekadar pengalaman emosional
sementara dan dengan mudah dilupakan.
Fokus umum zaman
sekarang pada “menjadi relevan” adalah artikulasi langsung dari membuat fokus
Misa pada “sekarang / now” dengan
pengabaian serius terhadap dari mana Misa Kudus berasal dan ke mana Misa Kudus
membawa kita. Untuk “menjadi” relevan” berarti terlibat pada masa sekarang,
umumnya dengan mengorbankan masa lampau maupun masa depan. Faktanya, banyak
inovator akan berargumen bahwa sebuah “liturgi yang relevan” adalah liturgi
yang berbicara kepada orang-orang “sekarang / now” daripada liturgi yang menjadi sebuah point rujukan yang tetap
di tengah dunia yang berubah dan membingungkan. “Sekarang / now” juga adalah ekspresi dari keasyikan
narsistik. Memang, sulit untuk menguraikan hubungan antara narsisme dan
“liturgi yang relevan”: berfokus pada “sekarang” melahirkan narsisme, dan
narsisme menciptakan keasyikan terhadap “relevan” dan “sekarang”. Kita beralih
sekarang kepada beberapa contoh dari tesis kami.
Pada tahun 1990,
Thomas Day, dalam Why Catholic Can’t Sing,
memberikan beberapa contoh jelas dari fenomena narsistik dalam Liturgi Katolik
– sebuah fenomena yang ia sebut “Pembaharuan Ego”.
“Hari ini adalah
Kamis Putih dan kami berada pada Misa malam yang agung di sebuah paroki di mid-western. Momen tiba kepada imam
selebran Misa, Sang Pastor, untuk membasuh kaki dari 12 orang umat, sama
seperti Kristus membasuh kaki Para Rasul pada Perjamuan Terakhir. Selama
upacara yang mengharukan ini, paduan suara menyanyikan motet dan bergantian
dengan umat yang menyanyikan himne. Akhirnya, bagian dari Liturgi ini tidak
lama lagi berakhir ketika imam membasuh kaki terakhir. Musik berakhir, anda
hampir dapat merasakan bahwa umat ingin menangis karena sukacita. Lalu, Romo
Hank (demikian imam tersebut ingin dipanggil) berjalan menuju mikrofon,
tersenyum dan berkata, “Wah, itu sangat bagus! Mari berikan tepuk tangan untuk
12 umat ini.”
Umat tertegun
dan agak enggan memberikan applaus dengan pelan. Romo Hank melanjutkan aksinya
... Satu demi satu, Romo Hank turun ke baris 12 umat tadi; setiap orang
mendapatkan komentar singkat dan applaus. Dengan tindakan keluar jalur
tersebut, Romo Hank terlihat puas dengan dirinya sendiri, melanjutkan liturgi.
Sementara itu, umat terlihat jengkel, merenungkan berbagai cara menahan diri.
Ini adalah
sebuah contoh narsistik “mempersonalisasikan” Liturgi dan Thomas Day
menunjukkan bahwa kelucuan Romo Hank - jauh dari sikap tidak mementingkan diri
sendiri - secara fundamental dimaksudkan untuk menarik perhatian kepada dirinya
sendiri. Setiap psikolog akan menyadari ketidaknyamanan yang mendasari Romo
Hank dan kebutuhannya akan penegasan pribadi (personal affirmation) dan kita dapat melihat psikologi yang sama
ini dalam skala yang lebih kecil ketika imam yang merayakan Misa meninggalkan
panti imam untuk berjabat tangan dengan umat selama Salam Damai, atau
mengangguk dan senang-tangan (glad-hands)
menerobos umat selama masa hening layaknya dia seorang politisi lokal yang
berjalan ke kantornya. Thomas Day menampilkan kesadaran narsisme yang akut yang
mendasari banyak permasalahan liturgis, dan seperti yang dicatat, dengan tepat
menyebutnya sebagai “Pembaharuan Ego”. Hal yang serupa, contohnya nyata dari
mempersonalisasikan Liturgi dengan cara yang akan mengurangi makna
spiritualitas yang terjadi pada Misa besar, dihadiri oleh penulis junior
artikel ini (Diakon Daniel C. Vitz, IVE), yang mana selebran utama Misa Kudus memperkenalkan
setiap pribadi dari 20 orang lebih konselebran pada pembukaan Misa Kudus,
mengajak umat bertepuk tangan untuk setiap konselebran saat konselebran
tersebut diperkenalkan.
Dengan
pengecualian-pengecualian yang jarang, memasukkan applaus (tepuk tangan) ke
dalam Misa Kudus adalah gambaran dari kebutuhan ego seorang atau banyak imam
yang memodelkan Misa dalam pertunjukan bisnis atau dalam pertunjukan
(demonstrasi) dukungan emosional yang mengorbankan Kristus dan sikap
penghormatan yang pantas.
Jangan pembaca
berpikir bahwa contoh yang dikutip berasal dari 1980an atau 1990an; di sini
adalah sebuah contoh tahun 2006 dari keuskupan yang cukup besar yang
diberitakan pada bulan Januari 2007 di First
Things. Sebuah “Misa Halloween” di sebuah paroki yang tidak akan kami
sebutkan namanya “menampilkan musisi berpenampilan setan dan orang-orang dalam
kostum setan membagikan Ekaristi. Saya berhenti menyaksikan video Misa Kudus
yang tersebar luas ini pada sebuah titik ketika pastor mendaraskan Doa Bapa
Kami dengan kata-kata “As goblins and
ghouls, ...” (keduanya adalah karakter setan). Dan saya melewatkan bagian
di mana, sesuai yang diberitakan, pastor tersebut menampilkan dirinya sebagai dinosaurus
ungu Barney saat menutup perayaan Misa.”
Poin-poin
narsistik yang jelas adalah bahwa Misa Kudus ini divideokan untuk
disebarluaskan dan pastor tersebut muncul dengan kostum dinosaurus yang sangat
disukai oleh media. Tentu saja ada juga sebuah tema yang lebih jahat dalam
“penampilan” ini – orang dapat menunjukkan hubungan antara narsisme dan bidaah
(yaitu menggabungkan Misa Kudus dengan budaya Halloween yang menyesatkan).
Sebagian besar
perubahan dan penambahan ke dalam Misa Kudus tidaklah panjang lebar atau jelas
bagi umat yang duduk di bangku seperti contoh-contoh di atas. Namun demikian,
perubahan dan penambahan tersebut dapat mengganggu dan sama-sama tidak sehat
secara teologis. Pada satu kesempatan penulis junior (Diakon Daniel C. Vitz,
IVE) mendengar bahwa kata-kata konsekrasi telah diubah oleh imam selama Misa
harian di sebuah katedral utama. Setelah Misa Kudus, ia datang kepada imam itu
dan dengan sopan bertanya tentang perubahan-perubahan tersebut dan imam itu
memberitahu ia bahwa hal itu semua adalah “hanya hal kecil yang selalu saya
lakukan.”
Contoh lain
terjadi ketika imam yang sama itu memodifikasi kata-kata Misa Kudus sehingga
umat kehilangan bagiannya dan tidak menyadari isyarat untuk mengatakan
tanggapan yang sesuai. Contoh yang lain lagi dalam Misa Kudus melibatkan
seorang imam yang menghafal Injil setiap minggu dan kemudian menyampaikan Injil
yang ada di ingatannya ketimbang membaca Injil langsung. Kebaruan ini tentu
saja menarik perhatian kepada imam dan banyak orang kehilangan pesan Injil
dengan berkonsentrasi pada penampilan sang imam. Demikian juga, seorang imam
dilaporkan kepada kami memantomimkan (kata dasar pantomim) homili dan sekali lagi menarik perhatian yang tidak
seharusnya kepada dia dan penampilannya. Meneladani pengabaian diri dan
kerendahan hati dari pribadi Kristus adalah penawar untuk
kecenderungan-kecenderungan buruk ini.
Kaum awam juga
direkrut untuk narsisme pada masa sekarang. Misa Kudus disajikan sebagai
perayaan kaum beriman yang berkumpul ketimbang perayaan kehadiran Kristus dalam
Ekaristi (Kurban Kudus Misa). Hal ini adalah bagian dari motivasi di balik
keinginan kaum awam mendapat applaus atau pujian. Mungkin contoh narsisme yang
paling jelas saat kaum awam mendukung perayaan Misa Kudus terjadi di ranah “pelayanan
musik”. Thomas Day memberi fokus utama pada aspek ini dalam bukunya Why Catholics Can’t Sing; salah satu
aspek penting dari fenomena ini adalah memindahkan koor dari loteng koor
(lantai atas khusus koor yang biasanya terdapat di bagian belakang gedung
Gereja) ke daerah panti imam atau bagian depan di mana mereka dapat
“menampilkan / perform” dengan lebih
baik kepada umat sehingga dapat dilihat dan diberi applaus. Memang, ada
pandangan yang berkembang bahwa musik dalam Misa Kudus lebih merupakan sebuah
penampilan / performance daripada hal
yang lain.
Salah satu hasil
yang tak terduga dari tindakan imam menyesuaikan Liturgi – mengubah Liturgi
seturut otoritas mereka sendiri untuk disesuaikan dengan kegemaran khusus
mereka – adalah bahwa kaum awam kadang-kadang atau malah sering ikut-ikutan
menyesuaikan Liturgi. Mentalitas konsumer Amerika “have it your way” tersedia
bagi kaum awam, bukan hanya bagi para imam. Bila setiap imam menjadi seperti
Paus yang dapat menyesuaikan Liturgi, mengapa tidak setiap kaum awam menjadi
seperti paus juga? Ketika imam berkata, “Tuhan sertamu.”, apa yang akan menghentikan
umat di bangku berkata, “Saya tahu itu, Amin”? Kaum awam memiliki kebutuhan
narsistik mereka yang dapat dengan mudah ditunjukkan sendiri dengan cara yang
mengganggu dalam Misa Kudus. Beberapa narsisme kaum awam sudah muncul dalam
cara mereka sering bersikeras mengendalikan Misa dan doa-doa saat pernikahan
atau pemakaman (seperti meminta atau memaksa koor harus menyanyikan lagu pop
dan non-liturgis dalam Misa pernikahannya). Pelayanan pernikahan dan pemakaman
ini semakin disesuaikan/dikustomisasi oleh desakan kaum awam.
Penting bagi
para imam untuk mengingat bahwa banyak umat Katolik datang ke Misa Kudus untuk
bertemu Yesus Kristus, dan bukan datang untuk berkontak dengan psikologi khusus
selebran Misa. Umat datang ke Misa Kudus untuk sesuatu yang tidak hadir (not present) dalam budaya
populer – yaitu citarasa akan kesakralan dan pengakuan tentang perlunya
kerendahan hati. Kita datang ke Misa Kudus ingin ditarik lebih dalam dan lebih
dekat kepada Kristus dan surga.
Mengingat
kecenderungan “pembaharuan ego”, pemanjaan diri dan pengutamaan diri, para imam
dan seminaris harus dibuat sadar akan bahaya memasukkan
personalitas/kepribadian seseorang ke dalam Liturgi. Kecenderungan ke arah
narsisme perlu diatasi terutama dalam konteks Misa Kudus yang dirayakan versus populum – menghadap umat.
Terlepas dari pandangan terkait kelebihan masing-masing dari perayaan Misa
Kudus secara ad deum (mengarah kepada
Allah) atau secara versus populum
(menghadap umat), ada sedikit pertanyaan bahwa godaan untuk menampilkan diri
jauh lebih besar ketika selebran Misa menghadap umat. Kardinal Arinze, dulunya
Prefek Kongregasi Peribadatan Ilahi dan Disiplin Sakramen berkomentar tentang
isu ini, “Bila imam tidak sungguh disiplin, ia akan segera menjadi seorang
penampil/performer. Dia mungkin tidak
menyadari hal itu, tapi dia akan memproyeksikan dirinya sendiri daripada
memproyeksikan Kristus.”
Karena kebutuhan
narsistik banyak imam berada di balik perubahan-perubahan aneh dan individual dalam
Liturgi, sekarang saatnya faktor-faktor non-teologis dan dianggap tidak menarik
ini diakui secara luas di seminari-seminari Katolik dan di komunitas Katolik
pada umumnya. Kami akan memberikan kata-kata penutup dari Kardinal Arinze
tentang masalah ini. Beliau berkata bahwa Liturgi “bukanlah milik seorang
individu, oleh karena itu individu tersebut tidak boleh bermain-main dengan hal
itu.”
Professor Paul C. Vitz menerima gelar Ph.D. dalam
psikologi dari Universitas Stanford (1962) dan telah bertahun-tahun menjadi
professor psikologi di Universitas New York di mana Beliau sekarang ada
professor emeritus (pensiun). Sekarang, Beliau adalah Professor/Cendikiawan
Besar di Institute for the Psychological Sciences di Arlington. Institusi ini
menawarkan program yang memberikan gelar Doktor Psikologi di psikologi klinis.
Program ini melatih psikolog-psikolog dalam perspektif Katolik. Dia dan
istrinya tinggal di Manhattan, memiliki 6 orang anak.
Diakon Daniel C. Vitz, IVE adalah seorang seminaris sebuah
tarekat baru IVE (Instituto del Verbo Encarnado) yang
sedang studi imamat di seminari Amerika di Maryland. Beliau asli dari New York,
mantan perwira angkatan laut dan putra tertua dari pasangan Paul dan Evelyn
Vitz. Beliau ditahbiskan menjadi diakon pada 31 Mei 2013 oleh Kardinal Theodore
McCarrick.
Terjemahan bebas dari:
Diterjemahkan oleh:
pax et bonum