Pengantar Terjemahan
Artikel ini
berisi tinjauan psikologis atas sifat narsistik dari banyak imam terkait dengan
berbagai pelanggaran-pelanggaran Liturgi yang seringkali terjadi karena
inisiatif para imam tersebut. Artikel ini ditulis oleh Prof. Paul C. Vitz,
seorang psikolog Katolik, bersama dengan puteranya, Diakon Daniel C. Vitz, IVE.
Artikel ini memang ditulis dalam konteks imam-imam Katolik di Amerika Serikat;
tetapi, ketika anda membaca isinya anda akan melihat bahwa hal yang sama juga
terjadi di Indonesia baik dalam contoh yang sama maupun contoh yang berbeda
sehingga artikel ini juga sesuai dengan konteks di Indonesia. Karena artikel
ini sangat panjang, publikasi artikel ini dibagi menjadi dua bagian. Namun,
bila anda ingin membaca secara bertahap tanpa perlu bolak-balik membuka web
ini, anda dapat men-download artikel
ini di Google
Drive atau Dropbox.
Bagian kedua dapat anda baca di sini. Selamat membaca.
Romo Paul Vlaar merayakan "Misa Oranye" mendukung kesebelasan Belanda di Piala Eropa 2013 lengkap dengan gawang, bola, dan busana liturgi berwarna oranye. |
Pendahuluan
Sejak Konsili
Vatikan II, Misa Kudus telah menjadi korban dari berbagai jenis kekacauan. Isu
ini telah banyak didiskusikan dari berbagai perspektif, tetapi dalam artikel
ini kami akan memeriksa aspek yang sebelumnya telah ditolak dari situasi ini –
yaitu, alasan-alasan psikologis mengapa imam-imam memasukkan
perubahan-perubahan ke dalam Misa Kudus. Kami tidak akan membahas tentang
penjelasan teologis mengapa Misa menjadi subjek eksperimen liturgis, kami tidak
akan membahas alasan-alasan liturgis untuk inovasi-inovasi tersebut.
Sebaliknya, kami akan fokus pada psikologi imam dan orang-orang yang membantu
dalam liturgi, yaitu pada motif-motif psikologis yang berbeda dari penalaran
teologis dan liturgis.
Kami mengajukan
bahwa motivasi utama di balik banyaknya perubahan dalam liturgi ini berasal
dari motif-motif narsistik yang mendasar – yaitu, cinta pada diri yang ekstrim
– yang ditemukan pada banyak orang dalam budaya kontemporer sekarang ini. Hal
ini terutama adalah kasus berkaitan dengan perubahan-perubahan yang relatif
kecil yang diperkenalkan dalam sebuah cara idiosinkratik ke dalam Misa Kudus.
Kami pertama-tama merangkum dan menggambarkan sifat narsisme ini, lalu
menerapkannya kepada situasi yang ditemukan di antara para imam.
Narsisme Orang Amerika
Pada permulaan
tahun 1970an, sejumlah kritikus sosial utama mencatat dan mengkritik karakter
negara ini (Amerika Serikat) yang semakin narsis – yaitu sibuk pada diri
sendiri. Artikel Tom Wolfe “The Me
Decade” (Dekade “Aku”) membuka kritik ini dan banyak orang lainnya
mengikuti kritik ini. Mungkin, pembahasan paling ekstensif adalah The Culture of Narcissism oleh
Christopher Lasch. Buku kritik panjang yang pertama mengenai Narsisme Orang
Amerika ditulis oleh salah seorang penulis artikel ini (Paul C. Vitz), Psychology as Religion: The Cult of
Self-Worship (1977, 1994). Paul C. Vitz secara eksplisit membahas
signifikansi anti-Kristen dasar dari narsisme kultural zaman sekarang. Habits
of the Heart: Individualism and Commitment in American Life karya Robert Bellah
dkk pada tahun 1985 melanjutkan kritik-kritik ini. Kami secara singkat
merangkum poin-poin kunci yang dibuat oleh para penulis ini untuk memungkinkan
wawasan-wawasan mereka diterapkan kepada psikologi banyak imam-imam Amerika.
Lasch menekankan
pada penurunan “citarasa terhadap masa sejarah” (p.1). Narsisme sebagai sebuah
kerangka kerja (framework) mental
lebih mudah terjadi pada individu-individu dan masyarakat-masyarakat ketika
mereka tidak lagi terhubung terhadap masa lampau. Adalah masa lampau yang
menyediakan sebuah kerangka kerja untuk menilai tingkah laku kontemporer baik
atau tidak baik, layak atau tidak layak, tradisional atau baru. Masa lampau
historis, dengan para pahlawan dan pelajaran-pelajarannya, adalah link bagi setiap pribadi kepada
tradisi-tradisi keluarga dan kultural. Masa lampau historis (the historical past) menyediakan
norma-norma tingkah laku dan struktur-struktur moral. Lasch menjelaskan bahwa
ketika masa lampau telah memudar dari hati nurani orang-orang Amerika,
kapasitas untuk pemanjaan diri narsistik (narcissistic
self-indulgence) telah bertumbuh secara substansial.
Lasch juga
menunjukkan bagaimana masyarakat Amerika mulai kehilangan kepercayaan diri akan
masa depan – sesuatu yang benar-benar terjadi di Eropa. Penolakan akan masa
depan ini mulai menyebar pada tahun 1960an dengan ketakutan akan ledakan
penduduk (overpopulation). Banyak
orang mulai menggagas “zero population
growth” dan menganggap bahwa masa depan dunia akan lebih baik dengan jauh
lebih sedikit manusia. Juga terjadi kehilangan harapan akan masa depan
kemanusiaan dan organisasi-organisasi sosial tradisional. Fenomena yang sama
ini segera tampak sehubungan dengan budaya barat (Western Culture) secara umum termasuk bangsa Amerika. Kritik-kritik
modern terhadap masyarakat barat sebagai yang eksploitif, imperialistik, dan
bahkan inferior secara budaya menyebar di antara komunitas-komunitas
intelektual Amerika Serikat dan Eropa. Dari kampus-kampus,
universitas-universitas dan seminari-seminari kami; pandangan ini menyebar
menjadi sesuatu yang umum di antara para profesional Amerika, atau kelas
masyarakat “yang memerintah” (“governing”
class). Kritik terkait agama sendiri muncul pada saat yang sama dan di
tempat yang sama. Sains, teknologi, dan kehidupan sekuler (duniawi) umumnya
dipandang sebagai sesuatu yang diinginkan dan tidak terelakkan; sementara itu agama
– dianggap bagian dari budaya Barat yang memalukan – ditakdirkan untuk
menghilang. Kekristenan dalam berbagai bentuk yang dikenali itu dinilai sebagai
sesuatu yang tidak memiliki masa depan. Menghilangnya harapan untuk masa depan
di semua bidang ini bersamaan dengan
menurunnya keyakinan akan relevansi tradisi, berarti bahwa “sekarang / now” adalah hal yang paling penting.
Setelah dipisahkan dari masa lalu dan memiliki keyakinan yang kecil akan masa
depan, kita telah membiarkan masa sekarang mendominasi hati nurani kita.
Ada banyak
contoh dari keasyikan terhadap masa kini – “sekarang / now” – dengan mengorbankan pelajaran-pelajaran dari masa lalu dan
perhatian akan masa depan. Masyakarat konsumer, dengan obsesinya akan konsumsi
dan dorongannya untuk menanggung utang dengan mengabaikan
konsekuensi-konsekuensi di masa depan mungkin adalah contoh yang paling jelas.
Glorifikasi/pemuliaan atas kepuasan seksual sementara dan kesenangan-kesenangan
pancaindera adalah contoh umum lain dari fokus khusus kontemporer pada “masa
sekarang”. Industri hiburan memberi makan – dan terus memberi makan – keasyikan
terhadap masa kini. Pola pikir ini mempromosikan narsisme karena
pribadi-pribadi, yang dulunya begitu setia pada tradisi mereka dan sadar akan
masa depan mereka, saat ini telah memiliki batasan-batasan yang melekat pada
pemanjaan diri dan kepuasan pribadi. Orang-orang seperti itu lebih memilih
mengambil kepuasan pribadi daripada melanjutkan masa lalu yang mengagumkan dan
memproyeksikan masa lalu yang mengagumkan tersebut dalam cara yang positif
menuju sebuah masa depan yang penuh harapan. Singkatnya, “sekarang” dan
narsisme berjalan beriringan.
Paul C. Vitz
mengidentifikasi “psikologi diri” (self-psychology)
dari Carl Rogers dan Abraham Maslow dan psikolog-psikolog lainnya sebagai
faktor penyebab utama, khususnya dalam keasyikan psikologis dengan aktualisasi
diri (self-actualization) dan
pemenuhan diri (self-fulfillment). Paul
C. Vitz juga menunjukkan bagaimana narsisme psikologis ini berubah menjadi
penekanan New Age pada narsisme
spiritual: “Ketika saya berdoa, saya berdoa kepada diri saya sendiri.” Diri
sendiri, bagi banyak orang, telah menjadi pusat mutlak (absolute center) dari nilai-nilai dan keasyikan-keasyikan. Sikap
ini adalah sebuah bentuk penyembahan berhala, secara jelas berkaitan dengan
kejahatan tradisional berupa keangkuhan dan kesombongan, yang diringkas dengan
tepat dalam godaan yang sungguh-sungguh kuno (Godaan ular terhadap Hawa) – “Kamu akan menjadi seperti Tuhan.” Tentu
saja, sebagian besar narsisis-narsisis Amerika tidak melangkah terlalu jauh,
tetapi ada godaan yang kuat bagi individu-individu masa sekarang untuk setuju
dengan motto Burger King – “Have it your
way” / “Terserah Anda”.
Narsisme yang
dibahas oleh Lasch difokuskan ulang oleh karya terkenal Bellah dkk Habits of the Heart. Buku ini terutama
mengidentifikasi individualisme orang Amerika dan diri pribadi yang otonom
sebagai budaya penyebab yang mendasari fragmentasi sosial Amerika, kesendirian
dan keterasingan pribadi. Meskipun individualisme orang Amerika bukanlah hal
yang sungguh sama dengan narsisme – dalam beberapa hal, individualisme orang
Amerika lebih moderat – Bellah dkk menyimpulkan “pada akhirnya, hasil
individualisme adalah sama” seperti narsisme atau egoisme. Bellah setuju dengan
Lasch bahwa dengan individualisme, “orang-orang masa sekarang ‘melupakan nenek
moyang mereka’, tetapi keturunan-keturunan mereka juga mengisolasi diri mereka
dari orang-orang sezaman mereka.”
Narsisme Tipe Psikologis Umum
Rangkuman
sebelumnya telah menginterpretasikan narsisme dalam kerangka kerja kultural
atau sosial. Namun, definisi psikologis dari narsisme juga relevan. Narsisme
klinis yang asli (genuine clinical
narcissism), seperti gangguan kepribadian narsistik (NPD – Narcissistic Personality Disorder)
adalah gangguan utama yang relatif jarang dan tidak menjadi perhatian di
artikel ini. Sebaliknya, fokus kami adalah pada sifat narsis yang lebih moderat
yang ditemukan pada banyak individu sekarang ini. Lima karakteristik relevan,
semuanya adalah bagian dari gangguan kepribadian narsistik sebagaimana yang
digambarkan dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders:
Fourth Edition (DSM-IV-R) description
of NPD.
1. Ingin dikagumi secara berlebihan, dengan
karakter ini seorang narsisis menjadi sangat sensitif (memiliki sensitivitas
yang ekstrim) pada kritik terhadap dirinya yang dapat membawanya kepada
penarikan diri sosial atau perendahan diri. Seringkali karakter ini dikaitkan
dengan perilaku-perilaku mencari perhatian yang terlihat jelas. Sifat narsistik
ini seringkali ditemukan pada mereka yang memperkenalkan dan berpartisipasi
dalam inovasi-inovasi Liturgi.
2. Perasaan
bahwa dirinya memiliki hak, yaitu karakter narsistik berupa
ekspektasi-ekspektasi yang tak masuk akal akan perlakuan yang menyenangkan dan
persetujuan otomatis dari orang lain atas saran-saran atau harapan-harapannya.
Sebuah sikap “aturan-aturan tidak berlaku untuk saya” datang bersamaan dengan
perasaan memiliki hak ini – sebagai contoh:
“rubrik-rubrik (pedoman) Misa tidak benar-benar mengharuskan saya untuk
mengikutinya.”
3. Keyakinan bahwa mereka superior, spesial
atau unik. Karakter narsistik ini mengharapkan
orang lain mengakui hal ini: bahwa mereka (yang meyakini diri mereka superior,
spesial dan unik) hanya perlu bergaul dengan orang yang spesial atau memiliki
status tinggi. Bagi para imam, karakter ini dapat ditunjukkan dengan
kebutuhan-kebutuhan ekstrim untuk bergaul dengan klerus-klerus tingkat tinggi
(misalkan paus dan uskup) atau dengan para ahli-ahli liturgi.
4. Arogan serta perilaku dan sikap yang angkuh.
Para imam menunjukkan karakter narsistik ini dalam gaya (style) liturgis mereka atau inovasi dan kreativitas mereka atau
ketika mereka dikritik karena inovasi-inovasi tersebut. Sikap seperti ini seringkali
mendasari asumsi para imam bahwa mereka memiliki hak untuk mengubah Liturgi.
5. Kurangnya empati, yaitu karakter
narsistik berupa keengganan untuk mengakui atau mengenali perasaan dan
kebutuhan orang-orang lain. Karakter ini seringkali ditunjukkan dengan
memandang rendah atau kemarahan kepada siapapun yang tidak setuju akan
perubahan-perubahan dalam Liturgi yang mereka lakukan yang mana seringkali
perubahan-perubahan tersebut malah tidak memiliki dukungan hukum liturgis dan
kanonis yang nyata.
Semua karakter di
atas tidak harus muncul pada setiap individu untuk mengetahui dengan jelas
kepribadian narsistik secara umum. Tetapi karakter apapun dari daftar karakter
ini yang muncul dengan ekstrim atau 2 atau lebih dari daftar karakter ini
muncul sudah cukup untuk mengenali sebuah tipe narsistik.
lanjut ke bagian kedua.
lanjut ke bagian kedua.