Makassar, 15 Oktober 2013
Homili Msg ANTONIO
GUIDO FILIPAZZI untuk Pembukaan Konferensi Nasional pada kesempatan 50 tahun
daridikeluarkannya Konstitusi "Sacrosanctum Concilium" dari Konsili
Vatikan II
1. Perayaan
Ekaristi ini membuka Konferensi Nasional untuk memperingati lima puluh tahun
pemakluman Konstitusi “Sacrosanctum Concilium” dari Konsili Vatikan II.
Perayaan Ekaristi akan kita rayakan setiap hari dan juga dalam acara penutupan
Konferensi ini, di mana kita belajar merenungkan dan berdiskusi bersama.
Berkait dengan itu, saya ingin mengingatkan kepada kita semua bahwa Misa suci
tidak boleh dianggap sebagai kegiatan sekunder atau formal belaka.
Uskup Agung Antonio Guido Filipazzi, Nuntius Apostolik untuk Indonesia |
Perayaan Misa
tidak dapat dinomorduakan oleh ceramah dan diskusi yang akan dilaksanakan
selama berlangsungnya Kongregasi ini. Perayaan liturgi harus mendahului studi,
karena arti dari liturgi jauh lebih penting daripada gagasan-gagasan yang bisa
kita pelajari tentangnya. “Sacrosanctum Concilium” mengingatkan kepada kita
bahwa “setiap perayaan
liturgi-liturgi, sebagai karya Kristus sang Imam serta Tubuh-Nya yakni Gereja,
merupakan kegiatan suci yang sangat istimewa. Tidak ada tindakan Gereja lainnya
yang menandingi daya dampaknya dengan dasar yang sama serta dalam tingkat yang
sama” (SC, 7). Kita perlu memupuk kesadaran iman ini mengenai liturgi, agar
liturgi tidak pernah direduksi menjadi sesuatu yang kita manipulasi sesuka
hati. Benediktus XVI pernah mengatakan: “sayangnya, kita juga sebagai gembala dan
para ahli, lebih memandang liturgi sebagai sesuatu yang perlu diperbaharui
daripada sebagai subyek yang mampu membaharui hidup Kristiani”
(Ceramah, 6 Mei 2011). Ketika kita merayakan ataupun mempelajari liturgi, kita
mesti bersikap penuh hormat bagaikan nabi Musa yang menghampiri semak duri yang
menyala, sebagai tanda kehadiran Allah yang hidup.
Perayaan Misa juga
tidak boleh dianggap sebagai tindakan formal belaka, yang dilaksanakan setiap
kali kita mengadakan pertemuan atau kegiatan lain, hanya karena kita biasa
merayakan Misa pada kesempatan seperti ini. Sebaiknya, merayakan misa pada
pembukaan sambil menjalankan, dan pada penutupan konferensi liturgi ini justru
mengingatkan kita akan ajaran dari Konsili Vatikan II, yakni bahwa “Liturgi merupakan puncak tujuan kegiatan
Gereja, dan sekaligus sumber segala daya kekuatannya” (SC,10). Dari sumber
rahmat ini, yakni misteri-misteri suci yang dirayakan oleh Gereja, terpancar
terang dan kekuatan untuk memahami liturgi serta menimba semangat untuk
komitmen yang makin kuat. Sekaligus, apa yang akan didiskusikan dalam
konferensi ini mesti menuju pada penghayatan dan pemahaman Liturgi yang semakin
baik serta berguna.
“Orang yang benar akan hidup oleh iman”: dalam bacaan pertama Santo Paulus, yang mengutip
nubuat Habakuk, mengingatkan kepada kita akan iman sebagai prinsip yang
menerangi serta mengarahkan seluruh hidup dan pengetahuan kita, khususnya
ketika pengetahuan itu menyangkut realitas Allah dan keselamatan. Oleh karena
itu, jika kita mau mempelajari realitas suci, studi tersebut mesti dilaksanakan
di bawah naungan iman. Semoga di dalam konferensi ini, dan demikian juga pada
kesempatan-kesempatan lain di mana kita mempelajari liturgi, kita tetap
berada di bawah terang iman yang kita mohon kepada Tuhan dalam perayaan
Ekaristi ini!
2. Kita membuka
Konferensi Nasional ini dengan memperingati Santa Teresia dari Yesus, perawan
dan pujangga Gereja.
Memperingati para
santo dan santa menjadi kesempatan untuk menggarisbawahi suatu dimensi liturgi,
yang kita ucapkan pada setiap penutup prefasi Misa, yakni: “kami memuliakan Dikau bersama para malaikat dan semua orang kudus,
yang tak henti-hentinya bernyanyi: Kudus, Kudus, Kuduslah Tuhan, Allah
segala kuasa, Surga dan bumi penuh kemuliaan-Mu. Terpujilah Engkau di surga”
(Prefasi Para Perawan Kudus).
Konstitusi liturgi
Konsili Vatikan II melukiskan liturgi Gereja seperti berikut: “Dalam liturgi di dunia ini kita ikut
mencicipi Liturgi surgawi, yang dirayakan di kota suci Yerusalem, tujuan
perziarahan kita. Di sana Kristus duduk di sisi kanan Allah, sebagai pelayan
tempat tersuci dan kemah yang sejati. Bersama dengan segenap balatentara
surgawi kita melambungkan kidung kemuliaan kepada Tuhan. Sementara menghormati
dan mengenangkan para kudus kita berharap akan ikut serta dalam persekutuan
dengan mereka. Kita mendambakan Tuhan kita Yesus Kristus Penyelamat kita,
sampai Ia sendiri, hidup kita, akan nampak, dan kita akan nampak bersama
dengan-Nya dalam kemuliaan” (SC, 8).
Dalam Liturgi,
Surga memandang bumi (bdk. Benediktus XVI,. Sacramentum Caritatis, 35), Allah
menampakkan diri kepada kita dalam kemuliaan-Nya, dan kita dapat bertemu dengan
Kristus “yang terelok di antara anak-anak Manusia”. Bapak Paus Fransiskus telah
mengingatkan kepada kita bahwa “eloknya
tahun liturgi ini… bukanlah karena indahnya dekorasi, melainkan karena
kemuliaan Allah” (Kotbah Misa Krisma, 2013). Sebagaimana kemuliaan
Allah tercermin di dalam alam semesta (menurut Santo Paulus kepada Jemaat di
Roma kesempurnaan Allah, “yaitu
kekuatan-Nya yang kekal dan keilahian-Nya, dapat nampak kepada pikiran dari
karya-Nya sejak dunia diciptakan, sehingga mereka tidak dapat berdalih” Rm:1
20), demikian juga kemuliaan itu terungkap di dalam doa resmi Gereja. Inilah
yang menjadikan Liturgi duniawi Gereja begitu indah: keindahan liturgi terkait pada hakikat liturgi sendiri, dan tidak
tergantung pada upaya kita untuk memperindahnya. Kita harus membiarkan keelokan
ilahi ini terungkap dengan sendirinya melalui perayaan Liturgi. Melalui Iman,
kasih, keheningan dan kerapian, serta hormat pada lambang-lambang, perbuatan
dan kata-kata liturgi: sikap-sikap seperti ini mutlak agar indahnya acara-acara
suci dapat dirasakan dan dihayati.
Sayangnya, telah beredar mentalitas dan praktek yang
menurutnya liturgi harus terus berubah, disesuaikan pada setiap komunitas,
menjadi menarik berkat kreativitas kita. Namun perayaan-perayaan yang bersumber
pada logika seperti ini tidak akan memperlihatkan eloknya Gereja yang
sebenarnya! Kecenderungan untuk terus mencari solusi yang baru untuk menjadikan
liturgi menarik, justru menunjukkan bahwa kita tidak mampu menciptakan
keindahan liturgi yang nyata.
Semoga Roh Kudus
mengilhami Konferensi Nasional serta penghayatan liturgi di Indonesia ini agar
indahnya liturgi yang sebenarnya semakin dipahami, serta semua imam dan umat
berkomitmen agar keelokan itu semakin terpancar di setiap perayaan.
3. “Dalam kehidupan S. Teresia Engkau memberikan
teladan hidup yang suci, persahabatan yang tulus, dan doa restu yang
sangat kami perlukan” (Prefasi para Kudus I). Peringatan para Orang Kudus
mempertemukan kita dengan para pria dan wanita ini, yang bersama kita membentuk
Gereja Kristus, serta mengajak kita untuk meneladani dan mempercayakan diri
pada perantaraan mereka kepada Allah.
Dalam hal manakah
teladan Santa yang besar dari Spanyol ini menjadi inspirasi bagi
Konferensi Liturgi ini?
Santa Teresia dari
Avila hidup dan berkarya pada jaman yang ditandai oleh Reformasi Protestan dari
Martin Luther, dan juga oleh Reformasi Katolik, yang merupakan tanggapan Gereja
kepada tuntutan pembaharuan eklesial yang dijelmakan dalam Konsili Trent dan
dalam karya sedemikian banyak orang Kudus, pria dan wanita, pada abad tersebut.
Oleh karena itu, pada jaman Santa Karmelit ini, terjadi dua jenis reformasi:
salah satu mengakibatkan pemecahan kesatuan Gereja Kristus, sedangkan yang lain
menimbulkan kembali pemekaran kehidupan Kristiani, yang dewasa ini masih
terlihat buahnya.
Sepanjang sejarah,
Gereja dihadapkan dengan reformasi-reformasi yang benar dan tidak benar. Bahkan
di dalam setiap proses pembaharuan hidup eklesial bisa saja tercampur
unsur-unsur pembaharuan yang benar dengan unsur-unsur lain yang memiskinkan dan
menodai citra Gereja. Oleh karena itu kita perlu menentukan kriteria untuk
membeda-bedakan pembaharuan benar dari yang tidak benar.
Kriteria-kriteria
itu tidak boleh bersifat subjektif atau hanya pragmatis; melainkan, mengingat
bahwa Gereja merupakan realitas sekaligus ilahi dan jasmani yang dapat dipahami
hanya berkat terang wahyu ilahi, maka kriteria tersebut harus merujuk pada
iman. Jika kita memandang pengalaman Gereja selama dua ribu tahun, kita dapat
memetik beberapa kriteria. Setiap pembaharuan Gereja yang benar harus terjadi
dalam kesatuan yang penuh dengan ajaran Gereja; pembaharuan itu mesti
berlangsung sambil menghormati struktur hierarkis dan disiplin Gereja;
pembaharuan itu mesti membangun persekutuan serta kesatuan Gereja, dengan
menghindari kecenderungan untuk memecah-mecahkan; pembaharuan itu mesti
menghormati warisan spiritual dan devosi dari jaman dulu; pembaharuan mesti
melawan kecondongan naluri manusia yang berdosa serta pengaruh mentalitas
duniawi; pembaharuan itu mesti diwujud-nyatakan dengan sikap sabar dan rendah
hati.
Kriteria-kriteria
inilah yang pastinya mengarahkan perwujudan dari amanat Konsili Vatikan II
mengenai liturgi, lima puluh tahun yang lalu. Selama setengah abad ini kita
telah menyaksikan terang dan gelap, positif dan negatifnya di dalam hidup
liturgi-liturgi Gereja; hal tersebut tergantung juga dari perwujudan amanat
Konsili itu yang ternyata dilaksanakan tanpa memperhatikan kriteria-kriteria
tersebut.
Sebaliknya, jika
kita memandang kehidupan dan karya Santa Teresia dari Yesus, kita menyaksikan
perwujudan dari semua kriteria untuk pembaharuan eklesial yang benar. Menjelang
akhir hidupnya dia menyerukan: “Saya adalah putri Gereja”, Santa ini dapat
memberi dorongan abadi bagi pembaharuan yang sesungguhnya. Semoga perantaraan
Santa Teresia tetap menyokong upaya untuk mempelajari liturgi di dalam
Konferensi ini, dan lebih lagi menuntun kehidupan liturgi-liturgi di semua
komunitas Kristiani di Indonesia agar senantiasa diilhami oleh
kriteria-kriteria ini, sehingga “Umat Kristiani memperoleh rahmat berlimpah
dalam liturgi suci” (SC 21).
4. Doa pembukaan
untuk peringatan hari ini mengatakan bahwa Roh Kudus “menimbulkan di dalam
Gereja Santa Teresa dari Avila guna memperlihatkan sebuah jalan yang baru
menuju kesempurnaan hidup”. Gereja menawarkannya kepada kita sebagai model,
tetapi juga sebagai guru hidup rohani. Pada tahun seribu sembilan ratus tujuh
puluh, Hamba Allah Paulus VI telah memaklumkannya sebagai wanita pertama,
bersama Katarina dari Siena, yang digelar pujangga Gereja.
Paus Paulus VI
mengatakan bahwa ajaran santa Teresia membuka “rahasia-rahasia doa”; santa
Teresia, dipimpin oleh Roh Kudus, telah mengenal rahasia-rahasia tersebut
“melalui pengalamannya” serta “menjadi mampu mengajarkannya”. Oleh karena itu
dia menyampaikan kepada Gereja dan dunia “ajaran mengenai doa”. (Khotbah, 20
September 1970).
Bagi Santa
Teresia, doa merupakan “percakapan antara
dua sahabat serta keakraban dengan Allah; kita bercakap-cakap di lubuk hati
kita dengan Dia, sambil merasakan bahwa kita dicintai oleh Dia” (Kehidupan,
8,5). Doa ini juga berpusat pada kontemplasi Kemanusiaan Kristus yang tersuci.
Sangatlah menarik
menyadari bahwa Paus Paulus VI menghubungkan ajaran Santa Teresia dari Yesus
ini, pujangga Gereja, dengan pembaharuan liturgi-liturgi yang diprakarsai oleh
Vatikan Kedua dengan berkata: “Ajaran
doa! Ajaran ini disampaikan kepada kita, anak-anak Gereja, pada saat di mana
sedang diupayakan pembaharuan doa liturgi.” (Khotbah, 20 September 1970).
Pada Konferensi
Liturgi Nasional ini, ajaran Santa Teresia mengingatkan kepada kita bahwa doa
resmi Gereja mesti menuntun kita pada “keakraban dengan Allah”, mesti menjadi
percakapan dengan Tuhan. Ini tidak selalu pasti terjadi: doa liturgi bisa
menjadi perbuatan yang tidak menyentuh hati manusia.
Ajakan untuk
membatinkan sering terulang dalam kata-kata para nabi di Perjanjian Lama. Tuhan
Yesus berulang kali meminta kepada murid-muridNya untuk menyelaraskan perkataan
dengan perbuatan melalui sikap batin yang tepat. Injil hari ini juga mengajak
kita untuk lebih menyadari bahwa “Dia yang menciptakan bagian lahiriah”, telah
menciptakan juga “batin” kita, dan oleh karena itu tidak cukuplah suatu
kemurnian lahiriah belaka.
Konsili Vatikan
II, searah dengan ajaran para Paus sejak Pius X sampai Pius ke XII,
menegaskan “partisipasi yang sepenuhnya, sadar dan aktif dalam
perayaan-perayaan Liturgi” kepada umat. Sejak waktu itu banyak diskusi timbul
mengenai arti dari partisipasi itu. Benediktus XVI telah menegaskan bahwa
“kata itu tidak berarti kegiatan eksternal belaka waktu perayaan” (Sacramentum
Caritatis, 52). Sayangnya kita semua tahu bagaimana pengertian yang terbatas
mengenai partisipasi dalam liturgi begitu beredar, baik secara teoretis maupun
praktis.
Perlu juga
digarisbawahi, sebagaimana diajarkan Hamba Allah Pius XII, bahwa “unsur mutlak
dari ibadat ialah sikap batiniah”, karena “kalau sebaliknya, agama menjadi
formalisme tanpa dasar dan kosong” (Mediator Dei). Oleh karena itu,
“Sacrosanctum Concilium” menuntut “partisipasi kaum beriman secara aktif, baik
lahir maupun batin” (SC,19); minta agar “Umat
beriman datang menghadiri Liturgi suci dengan sikap-sikap batin yang serasi.
Hendaklah mereka menyesuaikan hati dengan apa yang mereka ucapkan, serta
bekerja sama dengan rahmat surgawi, supaya mereka jangan menerimanya dengan
sia-sia” (SC,11). Karena itu sikap yang tepat untuk pembaharuan
liturgi-liturgi mesti membawa seluruh umat Kristiani untuk berdoa dengan sungguh-sungguh
dalam dan dengan liturgi. Agar liturgi menjadi petunjuk dan sajian untuk doa
setiap umat Kristiani, sebagaimana diharapkan Gerakan Liturgi yang
mengantisipasi dokumen “Sacrosanctum Concilium”. Kita tidak boleh mengabaikan
doa pribadi dan “ulah kesalehan” yang bersumber serta menuju pada liturgi (bdk.
SC,13).
Sebagai
kesimpulan, perwujudan yang sebenarnya dari pembaharuan liturgi tergantung dari
hal berikut: sesungguhnya orang yang ikut serta dalam liturgi mesti semakin
mampu berdoa dalam suasana percakapan yang mendalam dengan Allah, sebagaimana
diterangi oleh pengalaman Santa Teresia yang kita peringati hari ini. Sangatlah
relevan bahwa Beato Yohanes Paulus II, 10 tahun yang lalu, ketika memperingati
pemakluman “Sacrosanctum Concilium” telah menentukan prioritas ini: “Pastoral
liturgi-liturgi mesti menimbulkan kerinduan akan doa” (Spiritus et Sponsa, 14).
Program ini tetap aktual bagi Konferensi serta bagi kegiatan liturgi-liturgi di
seluruh Gereja Indonesia: yakni menimbulkan kerinduan akan doa!
5. Sebagai
kesimpulan dari semua pemikiran yang diutarakan selama ini, liturgi membutuhkan
iman ketika dirayakan maupun dipelajari. Iman membantu kita memahami apa arti
liturgi serta bagaimana cara untuk merayakannya. Iman menjadi sumber semua
kriteria untuk mengembangkan hidup liturgi dalam diri umat beriman serta
komunitas. Tahun Iman mengingatkan kepada kita akan realitas ini.
Dengan iman
seperti ini, setiap perayaan Ekaristi, Gereja memohon kepada Bapa anugerah Roh
Kudus untuk menguduskan roti dan anggur, “agar menjadi Tubuh dan Darah Yesus
Kristus” serta agar kita “menjadi sehati dan sejiwa dalam Kristus” (Doa Syukur
Agung III).
Setiap upaya
pembaharuan yang otentik merupakan hasil dari karya Roh Kudus yang
menyempurnakan serta menguduskan umatnya. Roh Kuduslah yang membaharui hati
para pria dan wanita – yakni para orang Kudus – yang telah membaharui Gereja
dan dunia. Demikianlah juga terjadi dalam diri Santa Teresia, yang kepadanya
kita percayakan komitmen kita di dalam Gereja Indonesia untuk merayakan serta
menghayati misteri suci dengan semakin baik, yakni dengan iman yang hidup.
Oleh karena iman,
setiap kali Misa Suci, Santa dari Spanyol ini merasakan kehadiran Tuhan Yesus
sang Penyelamat yang tetap hidup di dalam sejarah manusia. Kehadiran Yesus di
dalam Ekaristi, sama dengan kehadiran-Nya ketika Dia hidup dua ribu tahun yang
dunia ini: “Ketika Yesus ada di dunia,
persentuhan dengan jubahnya bisa menyembuhkan orang sakit, maka jika ada iman,
bagaimana mungkin kita meragukan bahwa Dia, yang bersatu dengan kita dan
tinggal serumah dengan kita, akan melakukan mujizat-mujizat serta
memberikan apa yang kita minta kepadanya?” (Perjalanan Menuju Kesempurnaan,
34,8). Santa Teresia telah berkata juga: “Tuhan
telah memberikan kepada saya iman yang sedemikian hidup, sehingga ketika saya
mendengar bahwa ada orang yang ingin hidup pada jaman Yesus, […] saya tertawa
di lubuk hati saya, karena Yesus hidup di dalam Sakramen Mahasuci sekarang ini
senyata dulu, maka kita tidak berkekurangan lagi.” (34,6).
Santa Teresia juga
mengingatkan kita bahwa perjumpaan dengan Tuhan menuntut kontribusi dari kita: “Raja ini sangat berbelas kasih karena ingin
agar kita menyadari kehadirannya di dalam Sakramen Mahasuci. Namun Dia
berkehendak memperlihatkan diri, serta memberikan kekayaan dan hartanya, hanya
kepada mereka yang memiliki kerinduan mendalam akan Dia, karena merekalah
teman-temanNya yang sebenarnya” (34,13).
Mari kita minta
kepada S. Teresia iman dan kasih seperti ini, ketika kita merayakan misteri
suci, pada hari ini dan setiap hari!
Amen.
sumber: Page Uskup Agung Antonio Guido Filipazzi