Sebuah hal
menarik terjadi di Keuskupan Agung New York tahun lalu. Meski Keuskupan Agung
New York memiliki lebih dari 400 paroki, tetapi hanya satu orang saja yang
ditahbiskan menjadi imam pada tahun 2012 yaitu Pater Patric D’Arcy. Namun,
sebagai satu-satunya yang ditahbiskan menjadi imam, Pater D’Arcy memilih
merayakan Misa Kudus pertamanya dalam forma Misa Tridentin.
Pada bulan Juni
tahun 2013, di Keuskupan Charleston (South Carolina), Renaurd West ditahbiskan
menjadi imam. Sama seperti Pater D’Arcy, Pater West juga memilih merayakan Misa
Tridentin sebagai Misa Kudus pertamanya.
Pada bulan yang
sama tahun yang sama juga, Jason Christian ditahbiskan menjadi imam di
Keuskupan Charlotte (North Carolina). Sama seperti imam-imam yang disebutkan
sebelum, Pater Christian juga memilih merayakan Misa Tridentin sebagai Misa
Kudus pertamanya.
Pater Jason Barone sedang merayakan Misa Tridentin (sumber: Catholic News Herald) |
Tahun lalu di
Keuskupan Charlotte juga, dari total 3 orang yang ditahbiskan menjadi imam,
salah seorang dari mereka yaitu Pater Jason Barone merayakan Misa Kudus
pertamanya dalam forma Misa Tridentin, sebuah Solemn High Mass.*
Dan terakhir,
ada FSSP
(Fraternitas Sacerdotalis Sancti Petri), Persaudaraan Imam-imam St. Petrus,
sebuah komunitas imam Katolik yang hanya merayakan Misa Tridentin, tidak
merayakan Misa Novus Ordo yang umum kita rayakan di Indonesia. Komunitas
ini dibentuk pada tahun 1988 melalui Motu Proprio Ecclesia Dei yang dikeluarkan
oleh Beato Yohanes Paulus II. Komunitas ini semakin berkembang dari tahun ke
tahun. Pada tahun 2013, lima orang ditahbiskan menjadi imam untuk wilayah Amerika
Utara oleh Uskup Conley dari Keuskupan Lincoln (Nebraska). Dengan hampir 150
orang muda di Seminari-seminari di Amerika Serikat dan Eropa, FSSP dapat
semakin kokoh dalam mempromosikan kembali Misa Tridentin lebih luas lagi.
Perkembangan Misa Tridentin di AS (sumber: Regina Magazine) |
Terlihat jelas
bahwa baik Motu Proprio Ecclesia Dei (1988) dan Motu Proprio Summorum
Pontificum (2007) mengenai Misa Latin Tradisional (Misa Tridentin) menghasilkan
banyak buah yang baik, panggilan-panggilan imam bagi Gereja. Sejalan dengan hal
ini, terjadi peningkatan jumlah Perayaan Misa Latin Tradisional mingguan di
Amerika Serikat. Bahkan sejak tahun 2007 saja, ketika Paus Benediktus XVI
mengeluarkan Motu Proprio-nya, total Perayaan Misa Latin Tradisional mingguan
bertambah hampir 2 kali lipat dari 225 Misa Tridentin tiap Hari Minggu ke angka
lebih dari 400 Misa Tridentin tiap Hari Minggu.
Setelah
Summorum Pontificum dikeluarkan, formasi (pembentukan) seminaris-seminaris muda
memasukkan pelajaran bagaimana merayakan Misa Kudus baik dalam forma Misa Tridentin
maupun forma Novus Ordo. Seperti yang kita lihat dari banyak imam yang baru
saja ditahbiskan, formasi teologis dan liturgis mereka itulah yang mendorong
mereka untuk merayakan Misa Kudus dalam forma Tridentin. Pater Jason Barone
menjelaskan keputusannya untuk merayakan Misa Kudus pertama dalam forma Misa
Tridentin. Kepada Catholic News Herald, Pater Barone menjelaskan bahwa dia
ingin “bersyukur kepada Allah atas
karunia panggilan yang luar biasa ini dan saya ingin bersyukur dalam cara yang
paling agung dan indah yang saya bisa ... dalam cara Ia telah membimbing saya.”
Setelah satu tahun menjalankan studi di Seminari St. Perawan Maria Guadalupe di
Nebraska yang dikelola oleh FSSP, Pater Barone tertarik lebih dalam kepada Misa
Tridentin karena Misa Kudus ini memberikan “penekanan
yang lebih kuat atas kurban Kristus ... ada sesuatu di sana (Misa Tridentin)
yang benar-benar menarik bagi hati untuk mempersembahkan kurban Allah.”
Sudah 6
tahun sejak Paus Benediktus XVI mengeluarkan Motu Proprio Summorum Pontificum
dan masih sangat banyak keuskupan, terutama di Indonesia, masih belum mendorong
umat untuk mengenal Misa Tridentin, masih belum mempromosikan Misa Tridentin
lebih luas lagi, masih belum mengajarkan para seminaris dan imam untuk
merayakan Misa Tridentin. Uskup Agung Alexander Sample dari Keuskupan Agung
Portland dalam Sacra Liturgia 2013 memberikan pemaparan yang menarik. Uskup
Agung Sample berkata bahwa Summorum Pontificum yang dikeluarkan oleh Paus
Benediktus XVI untuk mendorong perayaan Misa Tridentin lebih umum dan luas
adalah “salah satu hadiah terbesar yang
dapat diberikan oleh Gereja dalam mendukung pembaharuan liturgi.” Beliau
melanjutkan bahwa “Misa Tridentin adalah
batu loncatan untuk bergerak maju dengan pembaharuan terhadap pembaharuan
Liturgi. Mengizinkan penggunaan bentuk Tridentin lebih luas tidak hanya untuk
mendamaikan individu-individu dan kelompok-kelompok yang tidak puas dengan
pembaharuan Liturgi sekarang ini, tetapi juga mendamaikan seluruh Gereja dengan
masa lalu Gereja. Saya hendak mendesak para uskup untuk
membiasakan diri mereka sendiri dengan Misa Tridentin sebagai sarana untuk
mendapatkan formasi liturgis mereka yang lebih dalam dan sebagai poin referensi
yang dapat diandalkan untuk mewujudkan pembaharuan Liturgi di dalam Gereja
lokal
(keuskupan). Uskup juga seharusnya mendorong para seminarisnya
untuk membiasakan diri mereka dengan Misa Tridentin.”
Tentu
kita umat Katolik di Indonesia berharap dan berdoa bahwa para uskup di
Indonesia mendengarkan dan juga melaksanakan pesan dari sesama saudara uskup
mereka, Uskup Agung Sample. Para uskup di Indonesia tidak dapat terus-terusan membiarkan
pelanggaran Liturgi (seperti di Ekaristi Kaum Muda, Misa Komunitas Karismatik dll)
dan inkulturasi kebablasan yang tidak sesuai amanat Konsili Vatikan II
diberikan kepada umat dalam setiap Perayaan Liturgi. Para uskup di Indonesia perlu melihat kepada Misa Tridentin sebagai batu loncatan, salah satu kunci
penting, dalam melaksanakan pembaharuan Liturgi yang otentik seturut amanat
Konsili Vatikan II. Para imam pun hendaknya turut berperan melalui inisiatifnya
sendiri untuk mengetahui, mengenal, mempelajari dan membiasakan dirinya sendiri
dengan Misa Tridentin sehingga pada waktunya di mana mereka siap, mereka dapat
mempersembahkan Misa Tridentin. Para uskup dan imam juga umat dipanggil untuk mencintai Misa Tridentin,
harta kekayaan Gereja yang sangat besar.
Misa
Tridentin bukan sekadar nostalgia masa lalu bagi orang-orang tua yang pernah
merasakannya. Tidak sedikit orang muda Katolik ingin dapat merasakan dan ditarik lebih dalam kepada Misa Tridentin ini. Dan bagi
Kardinal Ratzinger (Paus Emeritus Benediktus XVI), kehadiran Misa Tridentin
merupakan benteng penghalang terhadap pelanggaran-pelanggaran Liturgi pada Misa
Novus Ordo yang diakibatkan oleh kreativitas liar para uskup, imam dan umat.
Mengapa? Karena dalam Perayaan Misa Tridentin ini, para tertahbis dan umat itulah
yang harus menyesuaikan dirinya, mengarahkan hati dan kehendak
bebasnya, menyangkal selera pribadinya di hadapan Allah. Hal yang berbeda
dengan kebanyakan Misa Novus Ordo yang berisi pelanggaran Liturgi di mana
justru Misa Kudus yang disesuaikan dengan selera, keinginan, perasaan, dan ego
para tertahbis dan umat.
*. Jenis
perayaan Misa Tridentin di mana imam menyanyikan sebagian besar doa-doa di
dalam Misa. Dalam Solemn High Mass, Imam yang merayakan dibantu oleh seorang
Diakon dan Sub-Diakon. Dupa juga digunakan di Solemn High Mass ini. Biasanya
Solemn High Mass dirayakan pada Hari Raya Gereja seperti Natal dan Paskah,
namun dapat juga untuk dirayakan pada Misa Minggu Biasa. Silahkan juga googling
“Low Mass” dan “High Mass”.)
Sumber-sumber:
1. Liturgy
Guy
2. Uskup Agung Alexander
King Sample - “The Bishop: governor, promoter and guardian of liturgical life
of the diocese.”pax et bonum