Pada masa sekarang, umat Katolik, khususnya orang muda Katolik, memandang Liturgi sekadar ritual dan rutinitas setiap hari Minggu. Liturgi bagi mereka adalah sesuatu yang kering dan mungkin sudah tidak bermakna lagi. Sementara itu, demi menarik partisipasi orang muda Katolik dalam Liturgi, terutama dalam Misa Kudus, terjadilah sebuah hal yang bernama improvisasi Liturgi. Improvisasi Liturgi ini terdiri dari kreativitas dan inovasi yang dibuat oleh orang muda Katolik dan bersama pastor-pastornya. Perayaan Ekaristi didesain sedemikian rupa sehingga cocok buat orang muda Katolik. Perayaan Ekaristi seperti ini biasa dikenal sebagai Ekaristi Orang muda. Seringkali kreativitas dan inovasi dalam Ekaristi Orang muda ini liar dan, bila kita melihat ke pedoman-pedoman Liturgi yang ada, hal-hal tersebut jelas merupakan pelanggaran Liturgi seperti penggunaan drama, band, lagu-lagu non-liturgis dan berbagai ekspresi budaya populer lainnya.
Gereja
menetapkan Pewartaan Baru (New Evangelization) yang secara umum dimaksudkan
untuk memperbaharui kembali Iman Kristiani yang sudah pernah umat Katolik
terima. Dalam Intruksi Kerja untuk Pewartaan Baru ini, Gereja Katolik
menjelaskan bahwa “Iman Kristiani
bukanlah sekadar ajaran-ajaran, kata-kata bijak, sebuah kodeks moralitas atau
sebuah tradisi. Iman Kristiani adalah sebuah perjumpaan dan relasi yang sejati
dengan Yesus Kristus.”[1] Pertanyaan yang muncul adalah “Di mana dan kapan perjumpaan dan relasi dengan
Yesus Kristus terjadi?” Jawabannya bisa sangat luas; dalam kehidupan
sehari-hari, dalam perjumpaan dengan orang miskin dan sakit, dalam pekerjaan
dan studi dan lain-lain. Tapi, ada satu tempat dan waktu perjumpaan yang
istimewa, yaitu Liturgi. Paus Beato Yohanes Paulus II menjelaskan “Dengan tujuan untuk menghadirkan kembali Misteri Paskah-Nya,
Kristus selalu hadir dalam Gereja,
terutama dalam Perayaan-perayaan Liturgi.
Oleh karena itu, Liturgi adalah tempat istimewa untuk
pertemuan orang-orang Kristiani dengan Allah dan Seorang yang telah Dia utus, Yesus Kristus.”[2]
Mengapa Liturgi begitu istimewa dalam perjumpaan dengan Kristus? Paus Beato
Yohanes Paulus II menjelaskan 4 poin yang sepenuhnya hadir dan membuat Liturgi
begitu istimewa dalam perjumpaan dengan Kristus [3]:
1. Kristus hadir
dalam Gereja yang berkumpul dan berdoa dalam Nama-Nya. Fakta inilah yang
memberikan sebuah karakter unik pertemuan-pertemuan Kristiani.
2. Kristus hadir
dan bertindak dalam pribadi para pelayan tertahbis yang merayakan Liturgi. Imam
oleh keutamaan tahbisannya bertindak dalam pribadi Kristus (in persona
Christi).
3. Kristus hadir
dalam sabda-Nya yang dibacakan, yang dikomentari dalam homili, yang didengarkan
dalam iman dan disatukan dalam doa.
4. Kristus hadir
dan bertindak oleh kuasa Roh Kudus dalam Sakramen-sakramen Gereja dan dalam cara yang spesial, Ia hadir
dan bertindak di Kurban Misa (Perayaan Ekaristi) dalam Roti dan Anggur yang
sudah dikonsekrasi.
Dan sebagaimana
Gereja ajarkan: “Jadi dari Liturgi, terutama dari
Ekaristi, bagaikan dari sumber,
mengalirlah rahmat kepada kita, dan dengan hasil guna yang amat besar diperoleh
pengudusan manusia dan permuliaan Allah dalam Kristus, tujuan semua karya Gereja lainnya.”[4] Hal ini berarti, semua karya
Gereja bertujuan untuk membawa umat mengalami perjumpaan dengan Kristus dalam
Liturgi sehingga dapat menerima rahmat pengudusan dan memuliakan Allah.
Tapi, apakah orang muda Katolik
mengetahui dan memahami ini?
Sayangnya,
ketimbang mengajarkan bagaimana Liturgi yang benar, mengajarkan makna-makna
dari setiap tindakan liturgis, mengajarkan simbol-simbol Liturgi, mengajarkan
ajaran iman yang terkandung dalam Liturgi dsb; kita lebih sering melihat Liturgi
Suci diimprovisasi, dikreatifkan dan diberi inovasi menyesuaikan dengan budaya Orang
muda, dengan selera dan keinginan orang muda Katolik. Memang, lebih mudah
mengubah Liturgi daripada membangun sikap cinta dan hormat Orang Muda Katolik
pada Liturgi.
“Perlakuan
terhadap Liturgi menentukan nasib Iman dan Gereja Katolik”, demikian kata
Paus Emeritus Benediktus XVI. Sementara itu Kardinal Koch dari Swiss pada tahun
2011 berkata bahwa krisis Liturgi adalah krisis utama Gereja Katolik pada masa
kini. Terlampau berlebihankah pernyataan-pernyataan ini? Tentu saja tidak sama
sekali. Paus Benediktus XVI menjelaskan: “Gereja
dan umat senantiasa harus belajar dari Liturgi supaya mampu menemukan dan masuk
ke dalam makna terdalam realitas serta pengalaman liturgis Gereja, umat Allah.
Gereja memang tidak akan ada tanpa Perayaan Liturgi, terlebih Ekaristi sebab
dari Ekaristilah Gereja terbangun dan tumbuh. Karenanya, Ekaristi tidak bisa
ditempatkan sebagai perayaan pribadi, tanpa pemahaman akan hidup dan misteri Gereja.
Krisis Gereja dewasa ini memiliki akar dan kaitan dengan krisis Liturgi;
demikian pula sebaliknya, krisis Liturgi adalah pula krisis Gereja. Liturgi dan
Gereja adalah dua sisi mata uang.”[5]
Di zaman
sekarang, banyak orang muda Katolik mengalami erosi citarasa kekudusan. Banyak
Orang Muda Katolik tidak bisa lagi membedakan antara Gereja dan tempat nongkrong. Liturgi tidak lagi dianggap
sakral dan kita bisa melihat lagu-lagu profan dan non-liturgis masuk ke dalam
Liturgi. Orang muda Katolik tidak bisa lagi membedakan antara yang kudus dengan
yang profan. Ketika para mam dan orang muda Katolik memperlakukan Liturgi dengan
memberinya improvisasi seturut budaya populer, maka Liturgi semakin kehilangan
identitasnya sebagai tempat perjumpaan dan relasi yang sejati dengan Allah.
Liturgi menjadi berorientasi pada diri sendiri, pada diri orang muda. Dampak yang lebih lanjut adalah melemahnya
iman seperti kata Kardinal Raymond L. Burke, “Jika kita melakukan kesalahan dengan berpikir kita adalah pusat
Liturgi, Misa [yang dirayakan] akan mengakibatkan hilangnya iman.” Ada
hubungan intrinsik tak terpisahkan antara iman dan Liturgi yang diungkapkan
dalam kalimat “Lex Orandi, Lex Credendi”
yang berarti “Hukum Doa adalah Hukum Iman”.
Ketika Liturgi yang adalah doa publik dan resmi Gereja dicederai oleh berbagai
pelanggaran Liturgi, maka iman Gereja pun ikut dicederai.
Lalu, apa
solusinya?
Solusi utama
berada pada Kaum Tertahbis sebagai Penjaga dan Pelayan Liturgi yang seharusnya
merayakan Liturgi dengan benar. Mengutip pernyataan Nuncio Vatikan untuk
Indonesia, Uskup Agung Antonio Guido Filipazzi: “Maka saya ingin mengingatkan kembali bahwa perlu kesetiaan terhadap
petunjuk-petunjuk liturgi yang diberikan oleh Gereja. Secara khusus, para uskup
dan imam, yakni para pelayan liturgi suci, bukan pemilik liturgi, maka mereka
tidak boleh mengubahnya sesuka hati. Setiap orang beriman yang menghadiri
liturgi di setiap gereja Katolik, mesti merasa bahwa dia sedang merayakan
liturgi dalam kesatuan dengan seluruh Gereja, yakni Gereja masa lampau dan masa
kini, serta seluruh Gereja yang tersebar di seluruh dunia, Gereja yang bersatu
dengan penerus Petrus dan dipimpin oleh para uskup.”[6] Bila Para Penjaga
dan Pelayan Liturgi membiarkan pelanggaran Liturgi terjadi, maka orang muda
Katolik akan membenarkan pelanggaran Liturgi di Misa-misa berikutnya dan
kemudian menjadi kebiasaan yang sulit dihentikan. “Uskup dan imam saja begitu, tidak melarang band masuk dalam Misa.
Berarti tidak salah dong.”, kira-kira demikianlah yang dapat terjadi ke
depannya.
Tetapi, bukankah
merayakan Liturgi dengan kepatuhan pada pedoman-pedoman Liturgi adalah
rubrikalisme? Rubrikalisme itu tidak selamanya buruk. Kardinal Raymond L. Burke
menyatakan bahwa hukum-hukum Liturgi mendisiplinkan kita sehingga kita memiliki
kebebasan untuk menyembah Allah. Sebaliknya, kita bisa terperangkap atau
menjadi korban dari gagasan-gagasan individual kita, ide-ide relatif
berdasarkan kehendak individu atau kelompok umat, dalam hal ini orang muda
Katolik. Hukum-hukum Liturgi melindungi tujuan dari Liturgi dan menghormati
Hak-hak Allah untuk disembah sesuai apa yang Ia kehendaki sehingga kita bisa
yakin bahwa kita tidak sedang menyembah diri kita sendiri atau, seperti yang
St. Thomas Aquinas katakan, menjadi semacam pemalsuan ibadah ilahi.[7]
Namun, orang muda
Katolik tidak akan pernah cukup dengan “Ini
tidak boleh di Liturgi”, “Itu boleh
dalam Liturgi”, “Yang ini jangan
dinyanyikan di Liturgi”. Ini adalah rubrikalisme yang negatif. Apa yang
orang muda Katolik butuhkan adalah “Mengapa
boleh dan tidak boleh?”, “Apa
maknanya dari setiap tindakan Liturgi?”, “Mengapa Liturgi kita seperti ini?” dan ini semua adalah
rubrikalisme positif yang bisa membantu menumbuhkan cinta dan hormat orang muda
Katolik dalam Liturgi.
Lalu apa yang
harus dilakukan? Menjelaskan tentang kodrat, makna, sejarah dan segala sesuatu
tentang Liturgi untuk menumbuhkan cinta dan hormat umat terutama Orang muda
kepada Liturgi dapat dimulai dengan beberapa langkah konkrit.
1. Dalam Bulan
Kitab Suci beberapa paroki membuat tempat pameran khusus yang menjelaskan
berbagai hal tentang Kitab Suci baik dari sejarah, ajaran Gereja tentang Kitab
Suci, spiritualitas dan lain-lain. Setiap hari Sabtu dan Minggu, stan tersebut
dibuka sehingga dapat dikunjungi umat. Hal yang sama dapat digunakan untuk
Liturgi. Keuskupan atau paroki bisa memamerkan kasula, stola, alba dan
lain-lain baik dari yang kuno hingga yang terbaru. Berbagai perlengkapan
Liturgi lain seperti Patena, Sibori, Piala, Purificatorium dan lain-lain juga
bisa dipamerkan sekaligus diberikan penjelasan dan pemahaman mengenai segala
perlengkapan Liturgi tersebut.
2. Di beberapa
kota terdapat koran dinding tempat lembaran-lembaran koran ditempelkan dan bisa
dibaca lebih banyak orang secara gratis. Keuskupan dan Paroki dapat merintis
hal yang sama. Penjelasan tentang Liturgi dan tentang topik-topik lainnya dapat
diberikan melalui koran dinding ini. Di sini, orang muda yang jago desain
grafis dan membuat poster dapat menggunakan talentanya untuk membuat koran
dinding ini lebih menarik dan jelas dengan penggunaan gambar dan kata-kata yang
menggugah keingintahuan.
3. Pertemuan
kelompok kategorial Orang muda dapat dijadikan tempat untuk memberikan katekese
tentang Liturgi. Pastor pembimbing atau anggota Seksi/Komisi Liturgi dapat
hadir memberikan pemahaman tentang Liturgi bagi Orang muda. Momen ini mungkin
adalah momen yang paling tepat sasaran dan lebih berdampak bagi Orang muda
untuk menjelaskan tentang Liturgi.
Ketiga cara di atas
berasal dari pemikiran satu kepala. Tentu pastor paroki dan seksi/komisi
Liturgi serta Orang muda dapat bersama-sama berkumpul untuk mendapatkan lebih
banyak cara konkrit lainnya. Mengutip Instruksi Kerja untuk Pewartaan Baru “Pewartaan baru harus berusaha
mengorientasikan kebebasan manusia dari setiap pria dan wanita kepada Allah
yang adalah sumber kebenaran, kebaikan dan keindahan.”[8]
Sebagai penutup,
kepada orang muda, kita pun harus memotivasi diri sendiri mencari tahu tentang
iman kita, menumbuhkan cinta kita kepada Liturgi terutama Perayaan Ekaristi.
Sekarang, internet menjadi salah satu sarana untuk mengetahui iman. Situs-situs
Katolik seperti ekaristi.org, katolisitas.org, imankatolik.or.id,
yesaya.indocell.net, indonesianpapist.com, luxveritatis7.wordpress.com dan
lain-lain dapat menjadi sumber pengetahuan iman kita, dan secara khusus
mengenai Liturgi dan Ekaristi. Di facebook dan twitter pun tersedia banyak
halaman yang menyampaikan pengajaran-pengajaran iman. Internet tidak cuma jadi
sarana hiburan namun dapat menjadi salah satu alternatif tempat pencarian iman.
Di samping itu, rutin membaca Kitab Suci dan kisah para santo-santa juga dapat
dilakukan. Saya, sebagai orang muda Katolik, mengajak teman-teman orang muda Katolik
sekalian untuk membaca dan merenungkan kisah para santo-santa terutama para martir.
Dari mereka, kita bisa meneladani sikap, tindakan, hormat dan kecintaan mereka
kepada Liturgi. Kita bisa mencintai Liturgi ala St. Fransiskus Assisi, ala St.
Dominikus Savio, ala St. Tarsisius dan lain-lain. Monsinyur Nicola Bux berkata,
“Dalam penganiayaan di negara-negara
Komunis, iman dipelihara melalui Liturgi. Liturgi menyelamatkan iman.” Hal
yang sama dapat berlaku dalam hidup kita. Di tengah-tengah penganiayaan rohani
oleh pornografi, hedonisme, trend modern yang buruk dan lain-lain; Liturgi
sebagai tempat perjumpaan dan relasi kita dengan Kristus dapat menjadi tempat
pengungsian untuk menyelamatkan iman kita.
Mari kita mencintai Liturgi apa adanya.
Liturgi tidak membosankan tetapi menguduskan kita.
---------------------
[1]. SYNOD OF BISHOPS XIII
ORDINARY GENERAL ASSEMBLY, The New Evangelization For The Transmission Of The
Christian Faith (Instrumentum Laboris) 2012 no. 18
[2]. PAUS YOHANES PAULUS II,
Surat Apostolik Vicesimus Quintus Annus no. 7
[3]. Ibid.
[4]. KONSILI VATIKAN II,
Sacrosanctum Concilium no. 10
[5]. KRISPURWANA CAHYADI, SJ.,
Biografi Benediktus XVI hlm. 154
[6]. USKUP AGUNG ANTONIO GUIDO
FILIPAZZI, Homili pada Misa Pemberkatan Gereja Katedral Tanjung Selor 5
Februari 2012
[7]. KARDINAL
RAYMOND LEO BURKE, Wawancara dengan Zenit di Roma 25 Juli 2013
[8]. SYNOD OF BISHOPS XIII ORDINARY GENERAL
ASSEMBLY, The New Evangelization For The Transmission Of The Christian Faith (Instrumentum
Laboris) 2012 no. 69
pax et bonum