Seorang teman
membagikan artikel lama yang menarik dari milis Paroki St.
Thomas Kelapa Dua, KA Jakarta. Artikel ini berisi wawancara Uskup
Agung Albert Malcolm Ranjith (sekarang kardinal) dengan Gerard O’Connell dari
UCA News. Pada waktu wawancara ini, Uskup Agung Albert Malcolm Ranjith adalah
Sekretaris Kongregasi Tata Ibadat dan Penyembahan Ilahi, sebuah badan dalam
Tahta Suci yang mengurusi hal-hal terkait Liturgi, Sakramen dan sebagainya. Lebih
lanjut tentang biografi Beliau bisa dibaca di link milis tersebut. Tema
wawancara ini adalah seputar Seruan Apostolik Sacramentum Caritatis yang
dikeluarkan oleh Paus Benediktus XVI terkait dengan benua Asia serta dalam
konteks pembaharuan Liturgi yang diinginkan oleh Konsili Vatikan II. Wawancara
ini sudah lama berlangsung, yaitu tahun 2007, namun isi wawancaranya masih
relevan, secara khusus kepada pembaharuan Liturgi di Indonesia. Sebelumnya saya
menemukan ada dua situs yang memberikan review
atas wawancara ini yaitu Rorate Caeli dan situs Romo Zuhlsdorf
(wdtprs.com). Saya juga
akan memberikan komentar pribadi kepada sejumlah poin penting yang disampaikan
oleh Kardinal Ranjith dalam tulisan warna biru.
Penebalan huruf juga oleh saya untuk memberikan penekanan atas apa yang
dinyatakan oleh Kardinal Ranjith. Semoga bermanfaat.
Kardinal Albert Malcolm Ranjith |
UCA NEWS: Sejauhmana pembaruan liturgi yang telah
diprakarsai Konsili Vatikan Kedua telah dilaksanakan di Asia? Apa perubahan
positif dan perubahan negatifnya?
USKUP AGUNG
RANJITH: Umumnya, telah ada banyak perubahan dalam tata cara liturgi dirayakan di Asia sejak Konsili
Vatikan Kedua. Beberapa dari kita yang mengalami orientasi liturgi pada
saat-saat sebelum konsili itu pasti tahu apa yang menjadi perubahan-perubahan
baru itu dan bagaimana perubahan-perubahan itu berdampak pada kehidupan kita
sebagai umat Katolik.
Seperti yang
diindikasikan oleh pertanyaan Anda, ada setumpuk hasil yang campur aduk.
Perubahan-perubahan positif itu, saya lihat, antara lain penggunaan
bahasa-bahasa vernakular (bahasa pribumi) dalam Liturgi, yang sangat menolong
umat untuk memahami Sabda Allah dengan lebih baik, rubrik liturgi itu sendiri,
dan semakin tanggap dan terlibat dalam perayaan misteri-misteri suci.
Berbagai
adaptasi terhadap praktek-praktek kebudayaan lokal juga telah dicoba, walaupun
tidak selalu berhasil baik. Penggunaan bahasa pribumi memang banyak membantu
dalam menciptakan istilah teologi dalam idiom-idiom lokal yang sesungguhnya
berguna untuk evangelisasi dan pewartaan pesan Injil kepada penganut
agama-agama non-Kristen, yang merupakan mayoritas penduduk Asia.
Beberapa aspek
negatif adalah bahwa hampir semua nyanyian, tradisi, dan bahasa Latin diabaikan
(Di Indonesia, kita memang tidak menemukan penolakan
verbal dan eksplisit akan hal-hal ini, namun kita melihat hierarki Indonesia
cenderung pasif dalam mendorong nyanyian, tradisi dan bahasa Latin. Hal inilah
yang memberikan kesan kepada umat bahwa Gereja Katolik di Indonesia mengabaikan
hal-hal tersebut); penafsiran yang terlalu dangkal terhadap
kebudayaan-kebudayaan lokal dimasukkan begitu saja ke dalam Liturgi (yang dapat mendorong terjadinya sinkretisme, misalnya
antara Kejawen dengan Katolik, dan ini sebenarnya berbahaya bagi iman);
ada semacam kesalahpahaman terhadap hakekat, isi dan arti yang benar dari tata
perayaan liturgi Roma, norma-normanya, dan rubriknya, yang menuntun kepada
suatu sikap eksperimentasi bebas; ada perasaan tertentu yang anti-Roma, dan
penerimaan yang tidak kritis terhadap segala macam “hal baru” yang dihasilkan
oleh suatu proses sekularisasi dan pola pikir liturgis dan teologis humanistik
yang mendominasi Barat (misalnya budaya pop yang
dimasukkan dalam banyak Ekaristi Kaum Muda).
Berbagai hal
baru ini sering dimasukkan, mungkin tanpa disadari, oleh sementara misionaris
asing yang membawa semua itu dari negara asal mereka atau oleh warga lokal yang
pernah berada di negara-negara Barat ketika berkunjung atau studi, dan
membiarkan diri mereka terserap tanpa kritis
ke dalam semacam free spirit (semangat bebas) yang diciptakan oleh
sejumlah mazhab di sekitar Konsili Vatikan Kedua. Ruang-ruang Sakral, Mistik,
dan Spiritual yang diabaikan, dan diganti dengan semacam horisontalisme
empiris. Ini sangat berbahaya bagi Roh Kebenaran yang mendasari Liturgi.
UCA NEWS: Sejauh mana seruan yang baru tentang
Ekaristi itu relevan bagi Gereja di Asia?
USKUP AGUNG RANJITH:
Dilihat secara menyeluruh, bagi saya, dokumen itu merupakan sesuatu yang
menyuarakan kembali -- dalam arti yang sesungguhnya - pembaharuan Liturgi sebagaimana dipahami dan diinginkan oleh
Konsili. Maksud saya, bukan penolakan terhadap berbagai perkembangan positif
dari reformasi liturgi yang luar biasa dewasa ini, tetapi ekspresi kebutuhan
untuk benar-benar setia kepada apa yang dimaksud oleh Sacrosantum Concilium
(Konstitusi tentang Liturgi Suci, Konsili Vatikan Kedua, yang dipromulgasikan
oleh Paus Paulus VI pada 4 Desember 1963).
Dalam arti
tertentu, orang dapat saja menyatakan bahwa dokumen-dokumen seperti Ecclesia de
Eucharistia ("Gereja [muncul] dari Ekaristi," ensiklik "Tentang
Ekaristi Dalam Hubungannya Dengan Gereja," Paus Yohanes Paulus II, 17
April 2003), Liturgiam Authenticam ("Liturgi yang Otentik," instruksi
"Tentang Penggunaan Bahasa Pribumi dalam Publikasi Buku-Buku Liturgi
Roma," Kongregasi Ibadat Ilahi dan Sakramen-Sakramen, 7 Mei 2001), dan
Redemptionis Sacramentum ("Sakramen Penebusan," instruksi
"Tentang hal hal tertentu yang harus diperhatikan atau diabaikan berkenaan
dengan Sakramen Mahakudus," Kongregasi Ibadat Ilahi dan Sakramen-Sakramen,
23 April 2004) sudah memulai penyesuaian-penyesuaian yang dibutuhkan sebagai
refleksi atas berbagai indikasi yang
diperlihatkan Konsili. (Dokumen-dokumen di atas serta
dokumen Liturgi lain seharusnya dipelajari dengan sungguh-sungguh oleh hierarki
dan seluruh anggota komisi/seksi Liturgi di masing-masing keuskupan dan paroki
untuk menjamin pembaharuan Liturgi yang otentik sesuai amanat Vatikan II.)
Sacramentum
Caritatis memperhatikan semua itu dengan memberi suatu katekese mendasar, mistik, dan sangat gampang
dipahami tentang Ekaristi, yang dengan sangat bagus menghasilkan makna yang
lebih utuh tentang Sakramen yang Mahakudus ini. Paus Benediktus ingin agar kita
mengerti, merayakan, dan menghayati kepenuhan Ekaristi itu.
Saya kira, dalam
konteks Asia, seruan semacam itu sudah semestinya diterima, dihargai, dan
dihayati. Arah-arah dasar Sacramentum Caritatis sesungguhnya mencerminkan
nilai-nilai Asia seperti cinta akan keheningan dan kontemplasi, penerimaan akan
kehidupan yang lebih dalam melampaui hal yang kasatmata, penghormatan terhadap
apa yang sakral dan mistik, dan pencarian akan kebahagiaan dalam kehidupan yang
penuh kesucian dan tapa brata.
Penekanan pada
aspek-aspek ini membuat Sacramentum Caritatis sebagai suatu kontribusi yang
bernilai dan penting untuk membuat umat Katolik di benua kita menghayati
Ekaristi dalam suatu cara yang benar-benar Asia.
UCA NEWS: Aspek-aspek mana dalam dokumen itu yang
betul-betul sangat penting bagi para uskup, imam, dan umat Katolik di Asia?
USKUP AGUNG
RANJITH: Secara umum, seruan untuk memperhatikan Ekaristi Suci sebagai suatu
ajakan untuk menjadi Kristus sendiri, ditarik dan teresap pada-Nya dalam
persekutuan cinta yang mendalam, sehingga menjadikan martabat kemuliaanNya
terpancar dalam diri kita, itu benar-benar sesuai dengan pencarian mistisisme
spiritual di benua Asia.
Seperti yang telah
saya katakan, Asia itu pada dasarnya bersifat mistik dan sadar akan nilai dari
Yang Sakral dalam kehidupan manusia, yang menggerakkan orang untuk mencari
misteri-misteri yang lebih mendalam tentang agama dan spiritualitas. Tendensi
untuk mendangkalkan perayaan Ekaristi lewat suatu orientasi yang horisontal,
yang hanya sekedar kelihatan (visible) di jaman modern ini, tidaklah senada
dengan pencarian itu. Karena itu, orientasi umum dokumen itu sesungguhnya
sangat baik untuk Asia.
Secara rinci, saya bisa mengatakan, titik berat
terpenting, tendensi untuk selalu menekankan hakekat spiritual dan
transendental dari Ekaristi secara mendalam, pandangan yang terpusat pada
Kristus, setia mengikuti rubrik dan norma (no. 39-40), tidak berlebih-lebihan
(no. 40), makna perayaan yang bermakna dan memadai, penggunaan seni dan
arsitektur serta lagu dan musik yang sepantasnya, serta menghindari improvisasi
dan keserampangan, semua itu mencerminkan cara peribadatan dan spiritualitas
Asia. Bangsa Asia adalah bangsa yang beribadat, dengan bentuk-bentuk ibadat
yang sudah berabad-abad usianya dan bukan penemuan-penemuan individu tertentu
manapun.
Dalam
tradisi-tradisi agama lain di Asia, mengikuti rubrik (pedoman ibadat) itu
sangat tegas dituntut. Selain itu, rubrik-rubrik mereka itu secara mendalam
mencerminkan peran khusus dari Yang Sakral. Karena itu, keseriusan yang diminta
paus itu sangat senada dengan cara-cara peribadatan Asia.
UCA NEWS: Setelah Konsili Vatikan Kedua, ada banyak
pembicaraan, termasuk di kalangan para uskup Asia, tentang perlunya inkulturasi
liturgi. Sejauhmana hal ini telah berkembang di dalam Gereja-Gereja Asia? Apa
yang masih harus dilakukan, atau apakah ini merupakan suatu proses terbuka
tanpa suatu batas akhir?
USKUP AGUNG RANJITH:
Seperti yang dinyatakan paus sendiri dalam Sacramentum Caritatis, prinsip
inkulturasi “harus dipertahankan sesuai kebutuhan nyata Gereja karena Gereja
menghayati dan merayakan satu misteri Kristus dalam berbagai situasi kultural”
[Sacr. Carit. 54]. Kita tahu bahwa ada kebutuhan yang muncul baik dari seruan
untuk evangelisasi dan inkarnasi pesan Injil dalam berbagai kebudayaan, maupun
tuntutan akan keterlibatan nyata dan sadar dari umat dalam perayaan yang mereka
ikuti.
Namun,
Sacrosanctum Concilium sudah menunjukkan parameter-parameter yang jelas
bagaimana berbagai adaptasi liturgi dengan pola-pola kebudayaan lokal itu harus
dilakukan. Dokumen itu berbicara tentang bagaimana menerima ke dalam Liturgi –
unsur-unsur yang “sesuai dengan semangat liturgi yang pribumi dan benar"
[SC 37], memastikan bahwa "kesatuan substansial dari tata perayaan Liturgi
Roma dipertahankan" [SC 38], diandaikan bahwa semua itu diputuskan oleh
penguasa eklesial yang kompeten yaitu Takhta Suci dan, jika sesuai aturan, para
uskup [bdk. 22: 1-2]. Dokumen itu juga menuntut pertimbangan serius, dalam
memilih adaptasi-adaptasi untuk dimasukkan ke dalam Liturgi [SC 40: 1], perlunya mengajukan adaptasi-adaptasi itu ke
Takhta Suci untuk mendapatkan pengesahan, jika perlu, ada suatu periode uji
coba yang terbatas [SC 40: 2] sebelum membuat persetujuan akhir, dan perlu
adanya konsultasi dengan para pakar dalam masalah ini [SC 40: 3].
Sacramentum
Caritatis mengikuti jalur yang sama, bahwa adaptasi Liturgi dengan
tradisi-tradisi kebudayaan lokal ditangani sesuai dengan aturan dari berbagai
pedoman Gereja dan tetap mempertahankan keseimbangan “antara kriteria dan arah
yang sudah dikeluarkan dengan berbagai adaptasi baru " [no. 54], dan semua
ini juga “senantiasa seirama dengan Takhta Suci" [ibid. 54]. Singkatnya, inkulturasi melalui berbagai
adaptasi, ya, tapi selalu dalam parameter jelas yang memastikan bahwa adaptasi
itu bersifat mulia dan benar sesuai iman Gereja.
Seperti yang
telah berlangsung hingga kini, orang tidak bisa puas seluruhnya. Ada beberapa
perkembangan positif, seperti penggunaan bahasa pribumi secara luas dalam
liturgi, yang membuat sakramen-sakramen dipahami dengan lebih baik dan sampai
tingkat tertentu terjadi keterlibatan (umat) yang lebih baik pula. Juga
penggunaan seni, musik, dan kekhasan Asia lainnya dalam ibadat.
Tetapi terlihat juga banyak hal yang dibuat-buat dan
tidak konsisten. Hal-hal yang
dibuat-buat itu muncul karena segala macam percobaan diijinkan dan pengesahan
dari praktek-praktek itu dibuat tanpa adanya studi yang memadai atau evaluasi
kritis.
Saya pernah mendengar sebuah ceramah di radio dari seorang biksu Buddha di Sri
Lanka yang mencerca orang Kristen karena membiarkan adanya kebiasaan lokal
menabuh drum di gereja-gereja mereka tanpa menyadari bahwa pukulan-pukulan itu
sesungguhnya adalah nyanyian pujian kepada Sang Buddha. Ini hanya salah satu
contoh tentang memasukkan tradisi lokal secara sembrono tanpa mempelajari bahwa
tradisi-tradisi itu sendiri tidak sesuai dengan apa yang kita rayakan.
Yang saya
maksudkan dengan inkonsistensi adalah praktek-praktek yang kita perkenalkan
sebagai adaptasi, namun praktek-praktek itu pada dirinya sendiri tidak sesuai
dengan kebudayaan kita, seperti sekedar membungkuk dan bukan berlutut atau
bertiarap di depan Sakramen Mahakudus, atau komuni yang diterima di tangan
sambil berdiri, yang jauh di bawah tingkat kepantasan untuk Sesuatu Yang Sakral
dalam konteks Asia. (Perhatikan kritik Beliau atas
praktik sekadar membungkuk di depan Sakramen Mahakudus dan praktik Komuni di
tangan sambil berdiri. Kedua praktik ini dipandang kurang hormat dibandingkan
praktik-praktik lain yang lebih hormat kepada Sesuatu Yang Sakral seperti
berlutut di depan Sakramen Mahakudus dan menerima Komuni Kudus di lidah sambil
berlutut.) Di beberapa negara, daripada
memperkenalkan pakaian atau peralatan liturgi yang mencerminkan nilai-nilai
lokal, penggunaannya dikurangi seminimal mungkin, atau malah diabaikan. Saya
banyak kali kaget melihat para imam dan bahkan uskup yang merayakan liturgi
atau berkonselebrasi tanpa busana liturgi yang sepantasnya. Ini bukan
inkulturasi tetapi de-kulturasi, jika memang ada kata seperti itu. (Saya berpikir sepertinya Kardinal Ranjith juga merujuk
kepada Indonesia di mana dulu Beliau pernah menjadi Duta Besar Vatikan untuk
Indonesia. Bukankah di Indonesia cukup
sering Imam – mungkin juga sejumlah Uskup – merayakan “Misa Inkulturasi” dengan
menggunakan pakaian kedaerahan yang lengkap namun tanpa pakaian Liturgi yang seharusnya?
Hal ini bukan inkulturasi tapi dekulturasi)
Inkulturasi
berarti memutuskan pakaian liturgi mana yang mulia dan penuh penghormatan untuk
realitas Yang Sakral yang dirayakan, bukan mengabaikannya. Saya kira,
Komisi-Komisi Episkopal tentang Liturgi di Asia di tingkat kontinental,
regional, atau nasional harus – dengan bantuan para pakar – mempelajari
masalah-masalah ini secara seksama dan mencari cara dan sarana untuk
meningkatkan makna, kemuliaan, dan kesakralan dari misteri-misteri ilahi yang
dirayakan melalui adaptasi-adaptasi yang tegas yang diseleksi secara kritis dan
diajukan ke Takhta Suci untuk disetujui. Suatu semangat kerja sama yang akrab
dengan Takhta Suci dalam masalah ini memang dibutuhkan. Sangat tidak ada bimbingan dalam masalah ini dan bahkan ada sikap “who
cares” (cuek) sehingga yang terjadi adalah penafsiran bebas dan kreativitas
orang perorangan. Selain itu, saya heran, apakah ada cukup kesadaran tentang
apa yang diungkapkan Konsili tentang masalah dan pedoman seperti yang diberikan
kembali dalam Varietates Legitimae ("Perbedaan Yang Sah,"
instruksi, Kongregasi untuk Ibadat Ilahi dan Sakramen-Sakramen, 25 Januari
1994) dan Ecclesia in Asia ("Gereja di Asia," seruan apostolik
tentang Gereja di Asia, Paus Yohanes Paulus II, 6 November 1999), no. 22. (Saya memberikan penekanan atas Varietates Legitimae.
Dokumen ini adalah dokumen instruksi perihal inkulturasi dalam Liturgi Roma untuk
menjamin inkulturasi yang benar dan otentik, bukan asal dan kebablasan. Praktik
Inkulturasi di Indonesia seharusnya ditinjau ulang juga dengan mengacu pada
dokumen ini.)
UCA NEWS: Dalam Sacramentum Caritatis, No. 54, Paus Benediktus mendukung "inkulturasi
Ekaristi dilanjutkan" dan menghimbau adanya "adaptasi-adaptasi sesuai
dengan kebudayaan dan konteks yang berbeda.” Apa artinya ini di Asia?
USKUP AGUNG
RANJITH: Asia umumnya dianggap menjadi benua kontemplasi, mistisisme, dan
tempat terdapat pandangan spiritual yang mendalam tentang kehidupan. Segala
orientasi ini mungkin berasal dari atau tertuju pada asal usul agama-agama
dunia di benua ini. Usaha apapun tentang inkulturasi Liturgi atau kehidupan
Kristen tidak bisa mengabaikan orientasi-orientasi mistik yang mendasar yang
menjadi kekhasan Asia ini.
Sebagai orang
Kristen, kita harus menunjukkan bahwa agama Kristen itu pada dasarnya berasal
dari Asia. Agama Kristen itu bahkan memiliki suatu makna mistisisme yang lebih
mendalam yang terkandung di dalamnya yang dapat dan ingin di-sharing-kan kepada
orang lain. Patut disayangkan jika kita berusaha memproyeksikan iman kita
sebagai sebuah apendiks dari sebuah kebudayaan global dan sekular, suatu
kebudayaan yang memberi nilai-nilai sekular dan berusaha memperlihatkan semua
ini di Asia sebagai hal yang benar. Sayangnya, kadang-kadang dalam cara kita
mengerjakan sesuatu, kita memproyeksikan suatu
citra (image) seperti itu. Inilah yang menjadikan kita “orang asing” di
benua kita sendiri. (Ya, bukankah kita sering merasa
asing di Perayaan Ekaristi kita sendiri di mana nyanyian-nyanyiannya adalah
lagu-lagu “hillsong”, lagu-lagu pop rohani ketimbang lagu-lagu Liturgi
universal dan lokal; drum dan gitar serta drama? Kardinal Ranjith jelas
menunjukkan bahwa segala budaya sekuler dan populer yang disebutkan itu bukan
saja tidak sesuai dengan Liturgi Gereja Katolik, namun juga dengan budaya
orang-orang Asia, secara khusus Indonesia, budaya yang begitu memberikan
penghormatan dan penghargaan yang mendalam akan Sesuatu Yang Sakral itu.)
Ambil contoh, dalam skala yang besar, banyak imam
dan religius di Asia, bahkan para misionaris, sudah mengabaikan jubah atau
pakaian religiusnya. Mereka sulit mengerti bahwa dalam kebudayaan Asia,
pribadi-pribadi yang mengabdikan diri kepada Allah atau agama itu selalu
kelihatan dalam pakaiannya, seperti para biksu Buddha atau sannyasi (orang
suci) Hindu. Ini menunjukkan bahwa kita tidak memahami apa arti inkulturasi itu
sesungguhnya. Cukup sering, inkulturasi itu hanya sebatas tarian, atau
memasukkan perecikan bunga, arathi (lagu setelah doa), atau menabuh drum ke
dalam acara Misa Suci. Namun, dalam pikiran dan hati, kita mengikuti cara-cara
dan nilai-nilai sekular. Jika kita benar-benar Asia, kita hendaknya lebih
memusatkan perhatian pada mistisisme Yesus, pesanNya tentang keselamatan, nilai
yang luar biasa tentang doa, kontemplasi, ketakterlekatan, simplisitas
kehidupan, devosi dan refleksi dan nilai keheningan, serta bentuk-bentuk
perayaan liturgi yang perhatian utama terpusat pada Yang Sakral dan Yang
Transenden. Kita orang Asia tidak dapat menjadi orang-orang sekular yang tidak
melihat sesuatu melampaui apa yang kasatmata dan apa yang dapat disentuh.
Demikian juga
dalam Liturgi, daripada berkonsentrasi hanya pada beberapa tanda eksternal yang
nilainya seperti kosmetik, kita hendaknya memfokuskan perhatian pada kekayaan
spiritual dan mistik yang disampaikan kepada kita (melalui Liturgi). Hal ini
semakin harus disororti dalam busana dan gerakan kita. Gereja universal akan
memperoleh sesuatu dari sebuah Gereja di Asia yang menghargai ekspresi
mistisisme Kristen secara Asia.
UCA NEWS: Menyangkut inkulturasi, Paus Benediktus
mendorong konferensi-konferensi waligereja untuk “berupaya mempertahankan
keseimbangan antara kriteria dan arah yang sudah dikeluarkan dengan berbagai
adaptasi baru, dan senantiasa senada dengan Takhta Suci." Apakah
konferensi-konferensi waligereja di Asia sedang bergerak seirama dengan
pedoman-pedoman ini?
USKUP AGUNG
RANJITH: Umumnya, saya lihat banyak kehendak baik di pihak Konferensi
Waligereja menyangkut masalah ini. Namun, ada juga banyak persoalan. Seperti
telah saya sebutkan, mungkin lebih baik ada suatu roh yang bening mengenai
koordinasi antara FABC (Federation of Asian Bishops' Conferences = Federasi
Konferensi-Konferensi Waligereja Asia) dan Kongregasi kita dalam masalah ini.
FABC sesungguhnya memiliki badan-badan koordinasi regional untuk pengembangan
manusia, evangelisasi, inkulturasi, ekumenisme dan dialog (antaragama),
pendidikan, komunikasi sosial, dan sebagainya, tetapi saya tidak melihat sebuah
badan seperti itu untuk bidang liturgi dan peribadatan. Membentuk sebuah
badan regional seperti itu tentu
bermanfaat.
Liturgi itu
penting, karena "lex orandi, lex credendi" (hukum doa adalah hukum
keyakinan). Karena itu, liturgi dapat menggerakkan dan menjamin mutu, makna,
dan kesadaran yang semestinya bagi Komisi Episkopal untuk Liturgi di tingkat
nasional menyangkut komponen penting kehidupan Gereja ini. Banyak tugas masih
harus dikerjakan untuk meraih hasil yang lebih baik.
“Kesimbangan yang sepantasnya” yang dibicarakan oleh
Bapa Suci ini sebenarnya hanya ingin memastikan, di satu pihak, suatu semangat
keterbukaan yang sehat untuk inkulturasi dalam liturgi itu ada, dan, di pihak
lain, perlunya melindungi ciri universal liturgi Katolik, sebuah perbendaharaan
yang diwariskan kepada Gereja oleh tradisinya yang sudah berusia dua ribu
tahun.
UCA NEWS: Bisakah Anda berikan contoh konkret
tentang apa yang dimaksud dengan “mempertahankan suatu keseimbangan yang
sepantasnya antara kriteria dan arah dengan adaptasi-adaptasi baru” itu?
USKUP AGUNG
RANJITH: Dengan "keseimbangan yang sepantasnya,” Bapa Suci maksudkan, di
satu pihak, kesetiaan terhadap Tradisi Katolik dan Universal dari perayaan
Ekaristi Suci, yang terkandung dalam tata perayaan Roma itu sendiri, dan, di
lain pihak, ruang untuk berbagai adaptasi seperti terungkap dalam Sacrosanctum
Concilium dan Varietates Legitimae. Seperti yang ditunjukkan dalam No. 21 dari
Sacrosanctum Concilium, ada “unsur-unsur yang terbentuk secara ilahi dan tidak
dapat diubah" dalam Liturgi. Liturgi mungkin saja diubah, dan bahkan itu
sudah dilakukan berdasarkan norma-norma yang telah ditetapkan Konsili itu
sendiri dalam bab tiga dokumen yang sama.
Dalam kasus
Ekaristi, pendekatannya sama. Ekaristi itu bukan buatan Gereja tetapi anugerah
Tuhan sendiri untuk kita, sebuah perbendaharaan yang harus dijaga. Karena itu,
walaupun situasi mendesak bahwa Evangelisasi dan Inkulturasi pesan Injil
memerlukan sejumlah perbedaan tertentu, ini tidak boleh diserahkan begitu saja
kepada pikiran dan imajinasi yang melintas dari individu yang merayakannya.
Wilayah-wilayah yang terbuka terhadap keanekaragaman itu terbatas dan terkait
dengan bahasa, musik dan nyanyian, isyarat dan gerakan tubuh, seni, dan
berbagai prosesi (SC 39). Dalam wilayah-wilayah ini, adaptasi itu mungkin dan
harus dilakukan setelah diadakan studi yang mendalam, disetujui para uskup, dan
kemudian mendapat persetujuan dari Takhta Suci [SC: Bab III].
Maka, makna
keseimbangan antara mempertahankan hal-hal yang esensial dan berusaha
mengintegrasikan unsur-unsur kebudayaan lokal
itu sangat diperlukan jika Gereja ingin memperoleh sesuatu secara spiritual.
Pada saat yang sama, saya ingin menekankan yang lebih esensial, bukan hanya
adaptasi-adaptasi semacam itu, tetapi perayaan yang agung dan mulia dari setiap
tindakan liturgi, yang membuat liturgi itu mencerminkan mistisisme Timur. Ini
lebih penting daripada sekedar serangkaian adaptasi eksternal, sekalipun
adaptasi eksternal telah mengikuti prosedur-prosedur yang telah ditetapkan.
Selain itu,
cinta akan keheningan, suasana kontemplatif, lagu dan nyanyian yang
mencerminkan misteri ilahi yang dirayakan di altar, busana yang agung dan
santun, serta seni dan arsitektur yang mencerminkan keagungan obyek dan tempat
Sakral, semua nilai Asia ini sering tercermin dalam tempat-tempat ibadat
agama-agama lain dan lebih mengungkapkan pandangan Asia yang sebenarnya tentang
Liturgi.
UCA NEWS: Dalam no. 87 dari seruan itu, paus
mengungkapkan keprihatinan tentang “berbagai kesulitan besar” yang dihadapi
umat Kristen “di tempat di mana mereka hanya kelompok minoritas atau di tempat
di mana kebebasan beragama ditolak” dan di tempat di mana “bahkan pergi ke
gereja menunjukkan suatu kesaksian heroik karena mereka akan disingkirkan atau
mengalami kekerasan.” Apakah paus merujuk pada umat Kristen di Asia?
USKUP AGUNG
RANJITH: Bapa Suci menghargai dan mendorong kesaksian heroik sejumlah orang
Kristen yang dengan mempraktekkan imannya, mereka mengalami kesulitan, penganiayaan,
dan penderitaan. Jika kita bicara situasi-situasi sulit seperti itu, memang itu
langsung tertuju ke tempat-tempat di mana hambatan dan penganiayaan terhadap
komunitas-komunitas Kristen itu eksplisit terjadi. Kesulitan seperti itu banyak
kali terjadi karena faktor-faktor politik, dan banyak kali juga oleh
faktor-faktor agama.
Sejumlah negara
berusaha memaksakan atau membentuk negara yang disponsori “gereja-gereja” untuk mengontrol komunitas
Katolik dengan cara itu. Sikap dengan gaya ini dimaksud untuk memutuskan ikatan
hirarkis antara gereja-gereja ini dengan Gereja St. Petrus untuk melemahkan
umat Katolik dari dalam. Berbagai upaya seperti ini tidak terlalu berhasil,
karena ikatan spiritual yang tak dapat diputuskan dengan cara itu tetap
menyatukan setiap komunitas eklesial dengan Gereja Universal, Tubuh Mistik
Kristus.
Namun, bagi
saya, ada suatu gaya lain yang lebih umum terjadi di Asia. Umumnya di Asia, di
mana satu agama dunia tertentu lebih dominan, terdapat hambatan dan kontrol
yang tidak langsung dikenakan pada Gereja Katolik. Dalam situasi-situasi
seperti itu, terdapat suatu bentuk yang bahkan lebih buruk yaitu pelecehan
terhadap umat Katolik secara terselubung. Para misionaris dilarang, membangun
gedung gereja dilarang dengan tidak diberi izin, mempraktekkan iman dibatasi,
pendidikan Katolik dihambat, undang-undang terhadap perpindahan agama diajukan
atau dipaksakan untuk diberlakukan, dan segala macam tindakan diskriminasi
diterapkan. Singkatnya, dalam situasi-situasi seperti itu, orang memerlukan
semangat heroik untuk mengakui dan mempraktekkan imannya.
Saya tidak mau
mengungkapkan nama negara-negara ini karena ada alasan tertentu yang masuk
akal, tetapi dunia tahu siapa mereka. Dengan mengungkapkan situasi ini, seruan
paus “untuk adanya kebebasan agama yang lebih besar di setiap negara sehingga
umat Kristen, serta penganut agama-agama lain, dapat mengungkapkan keyakinan
agamanya secara bebas, baik sebagai individu maupun komunitas” [Sacr. Cari. 87]
dibutuhkan saat ini.
UCA NEWS: Dalam no. 62 dari seruan itu, paus
mengusulkan agar perayaan Misa dalam bahasa Latin dan penggunaan lagu Gregorian
dapat dilakukan dalam sejumlah kesempatan dan sejumlah bagian liturgi. Menurut
Anda, apa perasaan umat Katolik di Asia menyangkut hal ini? Apakah Anda melihat
bahwa di kalangan umat Katolik di Asia terdapat kerinduan akan Misa dalam
bahasa Latin?
USKUP AGUNG
RANJITH: Sacrosanctum Concilium tidak
pernah menganjurkan agar bahasa Latin atau lagu Gregorian diabaikan seluruhnya.
Konstitusi konsili itu bahkan menyatakan bahwa "penggunaan bahasa Latin
hendaknya dipertahankan dalam tata perayaan-tata perayaan bahasa Latin, kecuali
jika ketentuan-ketentuan khusus menentukan lain... Tetapi karena penggunaan
bahasa pribumi ... dapat lebih
bermanfaat bagi umat, terutama penggunaan yang lebih meluas dalam
bacaan-bacaan, ajakan-ajakan, dan dalam sejumlah doa dan nyanyian” [SC 36:
1-2]. Selain itu, konstitusi itu ingin bahwa "bahasa pribumi dalam
Misa-Misa yang dirayakan bersama umat juga mendapat tempat yang wajar,
khususnya dalam bacaan-bacaan dan ’doa bersama,’ dan sesuai situasi lokal,
bagian-bagian yang langsung menyangkut umat" [SC 54].
Dalam nomor yang sama itu, Konsili ingin agar
diperhatikan bahwa “umat juga pasti dapat bersama-sama mengucapkan atau
menyanyikan dalam bahasa Latin bagian-bagian ordinari (tetap) Misa yang
menyangkut mereka" [ibid.]. Intinya
adalah bahwa bahasa yang normal dipakai dalam Liturgi menurut Sacrosanctum
Concilium itu bukanlah bahasa pribumi, tetapi bahasa Latin. Izin penggunaan
bahasa pribumi diberikan untuk bagian-bagian khusus seperti bacaan-bacaan,
sejumlah doa dan nyanyian, dan bagian-bagian yang menyangkut umat. Yang menarik
untuk diperhatikan adalah bahwa bahkan dalam “bagian Ordinari Misa yang menyangkut
umat,” bahasa Latin digunakan [SC 54].
Disesalkan, bahasa Latin yang hampir diabaikan
secara total itu terjadi hampir di mana saja setelah Konsili, sehingga hanya
generasi tua Katolik di Asia yang tahu tentang penggunaan bahasa Latin dalam
liturgi dan tentang lagu-lagu Gregorian. Dengan penggunaan bahasa pribumi yang
sedemikian dominan dalam Liturgi dan pembinaan di seminari, penggunaan bahasa
Latin hampir seluruhnya hilang dari sebagian besar Gereja di Asia. Ini jelas
disayangkan.
(Saya pikir di sinilah kita bisa melihat bahwa
pembaharuan Liturgi di Indonesia tidak sepenuhnya berjalan sesuai dengan yang
dikehendaki oleh Konsili Vatikan II. Gereja Indonesia terlalu menekankan pada
inkulturasi tapi mengabaikan tradisi Latin kita baik itu bahasa, nyanyian dan
sebagainya. Kita sering lupa bahwa bahasa resmi Liturgi kita adalah bahasa
Latin. Bagaimana umat bisa mendaraskan atau menyanyikan ordinarium Misa dalam
bahasa Latin bila Imamnya tidak membiasakan umat, bila buku nyanyian
Liturgi-nya tidak memuat nyanyian-nyanyian Gregorian berbahasa Latin? Bagaimana
umat mengucapkan “dan bersama rohmu”, “sudah kami arahkan” dsb dalam bahasa
Latin bila Gereja tidak mengajarkannya?)
Saya tidak tahu
apakah di Asia ada keinginan nyata untuk kembali menggunakan bahasa Latin dalam
Liturgi. Harapan saya, keinginan itu ada. Sejumlah umat Katolik yang sadar akan
keindahan bahasa Latin sungguh mengungkapkan kerinduan semacam itu. Mereka
pernah melihat dan mengalami Liturgi-Liturgi yang dirayakan dalam bahasa Latin
di Roma atau di tempat lain, dan itu membuat mereka tercengang. Yang lain
tercengang dengan tata perayaan liturgi kuno dalam bahasa Latin, Misa Pius V,
yang kini mulai dirayakan di sejumlah tempat di Asia. (Baru-baru
ini, dalam suatu
wawancara Kardinal Burke berkata bahwa perayaan Misa Latin Tradisional atau
Misa Pius V atau Misa Tridentin yang lebih luas telah memberikan manfaat berupa
kembalinya citarasa kesakralan atas tindakan ilahi dalam Misa Novus Ordo yang
biasa kita rayakan dan mendukung pembaharuan Liturgi yang otentik. Sementara
itu, Paus
Benediktus XVI kala masih menjadi kardinal berkata bahwa kehadiran Misa
Tridentin yang lebih luas dapat menjadi benteng terhadap perubahan Liturgi
akibat kreativitas liar yang kerap terjadi di Misa Novus Ordo dan mendukung
pembaharuan Liturgi yang otentik sebagaimana yang diinginkan oleh Konsili
Vatikan II. Perayaan Misa Tridentin secara luas bukanlah kemunduran.)
Namun bagian
yang lebih besar dari umat Katolik Asia masih belum sadar akan nilai bahasa
Latin dalam Misa Kudus. Saya ingin tahu, apa yang akan mereka katakan jika
sejumlah bentuk bahasa Latin diperkenalkan kembali. Mereka mungkin menyukainya
dan, setelah menyadari semangat devosi yang banyak dilakukan umat Katolik, itu
jelas akan turut memperdalam iman mereka lebih lanjut. Umat kita tahu bahwa
tidak semua kenyataan ilahi itu dapat dipahami manusia dan bahwa harus ada
ruang untuk makna misteri spiritual di dalam peribadatan. Kecuali itu, baik kalau Gereja di Asia tidak tetap
terputus dari tren-tren baru yang muncul secara universal, yang salah satunya
adalah penghargaan yang segar tentang warisan bahasa Latin dari Gereja 2000
tahun lalu itu.
Ini tidak berarti bahwa kita harus menolak bahasa
pribumi dan kembali ke bahasa Latin secara total. Pemakaian bahasa Latin dan
bahasa pribumi secara sehat dan sepadan, senada dengan Sacrosanctum Concilium,
akan bermanfaat bagi umat seluruhnya. Selain itu, di Asia beberapa agama lain
mempertahankan bahasa “liturgis” resmi mereka, seperti bahasa Sansekerta untuk
agama Hindu dan bahasa Pali untuk agama Buddha. Bahasa-bahasa kuno ini bukanlah
bahasa pergaulan, namun digunakan hanya dalam peribadatan. Apakah semua ini
juga tidak bisa menjadi pelajaran bagi kita bahwa sebuah “bahasa liturgis” yang
walaupun tidak dipakai secara umum toh bisa mengungkapkan suatu mistisisme
batiniah akan “Yang Sakral” dalam peribadatan?
UCA NEWS: Paus ingin agar “para imam masa depan”
mempelajari bahasa Latin di seminari-seminari, sehingga mampu membaca teks
bahasa Latin dan menyanyikan lagu-lagu Gregorian. Apakah menurut Anda seruan
itu ditanggapi positip oleh orang-orang muda Asia yang sedang dibina untuk
menjadi imam? Apakah seminari-seminari di Asia akan menyambut baik seruan itu?
USKUP AGUNG
RANJITH: Tidak ada persoalan tentang penerimaan (bahasa Latin). Saya kira, ini
merupakan suatu kebutuhan. Ketimbang terjerumus dalam sumur orang-orang yang
suka terisolasi yang berpikiran picik atau pendekatan murni kaum empirisis
terhadap iman yang, bagaimanapun, tidak bersifat Asia dan tidak meninggalkan
ruang untuk suatu pemahaman akan apa yang transenden, lebih baik para imam dan
calon imam didorong untuk terbuka kepada kenyataan iman mereka yang lebih luas,
yang bersifat Katolik dan Universal, perkembangan dan akar-akarnya yang sudah
berusia 2000 tahun, serta dimensi-dimensi sakral dan mistiknya. Dan karena
bahasa Latin telah menjadi akar bagi banyak perkembangan di bidang Teologi,
Liturgi, dan disiplin-disiplin eklesial selama ini, maka para imam dan calon
imam hendaknya didorong untuk mempelajari bahasa Latin dan menggunakannya.
Ini akan
menolong Gereja di Asia bukan saja untuk memahami isi depositum fidei (kekayaan
iman) dan perkembangannya, tetapi juga untuk menemukan sebuah bahasa teologis
itu sendiri, agar mampu mengungkapkan iman itu kepada bangsa-bangsa Asia secara
meyakinkan [lht. Ecclesia in Asia 20]. Belajar
bahasa Latin bukan berarti kembali ke masa lalu, tetapi sebaliknya beranjak ke
masa depan. Hanya dengan itu, proses inkulturasi yang intens dapat terjadi. Apa
saja yang disebut teologi, namun tidak berakar pada bahasa Kitab Suci dan
bahasa Tradisi Gereja, tidak didukung dengan doa penuh ketekunan, dan tidak
diterangi oleh cahaya kehidupan yang suci, maka teologi macam itu tidak lebih
dari canang kosong yang gemerincing yang hanya menimbulkan kekacauan dan
kebingungan.
Hal yang sama berlaku juga untuk Liturgi. Bahasa
Latin merupakan bahasa liturgis yang biasa dari Gereja. Dalam awal dan
perkembangan tata perayaan liturgi Roma, bahasa Latin berperan penting. Karena,
pengetahuan yang memadai akan bahasa ini akan mendukung pemahaman dan
penghargaan yang lebih baik akan keindahan dari apa yang dirayakan. Seperti
yang dinyatakan oleh Bapa Suci, “keindahan liturgi merupakan bagian dari
misteri ini; keindahan merupakan sebuah ekspresi seni dari kemuliaan Allah, dan
dalam arti tertentu, sebuah percikan surga di bumi" [Sacr. Carit. 35].
Maka perayaan dalam bahasa Latin akan turut membangkitkan rasa kagum dan
hormat, serta keterkaitan dengan apa yang diilhamkan sendiri oleh Tuhan,
sehingga Gereja bisa menganggapnya sebagai bentuk peribadatan Gereja.
Keterbukaan
terhadap bahasa Latin ini juga membantu para seminaris untuk menghargai peran
lagu Gregorian dengan lebih baik di dalam Gereja. Bapa Suci ingin agar lagu
Gregorian “diyakini dan digunakan secara memadai" karena lagu itu
merupakan “lagu yang pantas bagi Liturgi Roma" [Sacr. Carit. 42].
Mempelajari kesederhanaan (simplicity) dan keindahan lagu Gregorian yang agung
itu secara menyeluruh akan juga membuat para imam dan seminaris yang berbakat
musik di Asia mendapat inspirasi dan dalam menggubah bentuk-bentuk lagu yang
agung dan penuh doa yang dapat diselaraskan secara lebih baik dengan kebudayaan
lokal. Agaknya keterlaluan bila menganggap
bahwa penggunaan lagu Gregorian itu akan berakibat buruk bagi inkulturasi
liturgi. Sesungguhnya, lagu Gregorian itu berguna bagi inkulturasi.
UCA NEWS: Apakah masih ada hal-hal lain yang ingin
Anda sampaikan kepada Gereja-Gereja di Asia menyangkut seruan tentang Ekaristi
itu dan bagaimana mereka harus menerapkannya?
USKUP AGUNG
RANJITH: Dengan mencermati Sacramentum
Caritatis, saya semakin yakin bahwa dokumen itu tidak sekedar sebuah sumber
informasi, inspirasi, dan refleksi yang benar-benar pastoral sekaligus teologis
yang sangat mendalam tentang Ekaristi, tetapi yang lebih penting dia merupakan
dokumen yang ingin menyempurnakan apa yang sesungguhnya diinginkan oleh Konsili
Vatikan Kedua dan dokumen konsili itu tentang Liturgi, Sacrosanctum Concilium.
Reformasi Liturgi pasca-konsili -- walaupun sejumlah aspek patut dipuji --
tidak semuanya setia kepada semangat Konsili Vatikan Kedua.
Sebagaimana
diungkapkan oleh Ferdinando Kardinal Antonelli, anggota Komisi yang menggarap
reformasi liturgi pada waktu itu, "Saya tidak senang dengan semangat itu.
Ada semangat kritisisme dan ketidaksabaran terhadap Tahta Suci yang tidak
diprediksi dengan baik. Dan waktu itu, segala sesuatu merupakan sebuah studi
tentang rasionalitas dari liturgi dan tidak mempedulikan kesalehan sejati. Saya
kuatir bahwa suatu saat orang akan mengatakan tentang semua reformasi ini
seperti yang pernah dikatakan tentang reformasi himne-himne di zaman Urbanus
VIII: accepit liturgia recessit pietas (saat liturgi maju, kesalehan mundur);
dan di sini accepit liturgia recessit devotio (saat liturgi maju, devosi
mundur). Mudah-mudahan saya salah" [dari catatan harian Kardinal
Antonelli, 30 April 1965].
Kita sedang menyaksikan banyak pendangkalan dan
pengaburan aspek-aspek mistik dan sakral dari Liturgi di banyak wilayah Gereja
atas nama suatu yang disebut "Konzilsgeist" (semangat Konsili). Dalam sekitar
20 tahun terakhir, Gereja berusaha membuat arah reformasi Liturgi itu lurus dan
sesuai petunjuk-petunjuk Sacrosanctum Concilium. Dokumen-dokumen seperti Liturgiam Authenticam, Varietates
legitimae, Redemptionis Sacramentum, dan Ecclesia de Eucharistia merupakan bagian dari usaha itu, dan Sacramentum Caritatis -- yang merupakan
sebuah dokumen kolegial (yang dihasilkan bersama) karena berisi
keputusan-keputusan Sinode Para Uskup tentang Ekaristi Suci – adalah momen
puncak, kalau bisa saya katakan, dari usaha “pelurusan” itu. Dokumen itu
benar-benar merupakan sebuah koreksi dan harus disambut, dihargai, dipelajari,
dan diterapkan.
Warisan
kebudayaan Asia itu secara mendalam bersifat religius dan sadar akan
nilai-nilai Yang Sakral dan Mistik dalam kehidupan manusia. Maka Gereja di Asia
hendaknya dengan sepenuh hati menyambut baik dokumen ini dan
petunjuk-petunjuknya yang sangat tertuju pada pemulihan nilai-nilai
spiritualitas dan nilai-nilai iman dalam Liturgi dan mengambil langkah-langkah
penting untuk menerapkan petunjuk-petunjuk itu sesetia dan segiat mungkin.
Inilah keinginan saya bagi Gereja di Asia, benua mistisisme.
-END-
Pax et bonum