Di Indonesia
ini, ada yang menyebut kecintaan terhadap tanah air sebagai Patriotisme, ada
juga yang menyebutnya Nasionalisme. Ada juga yang menyebutkan perasaan cinta yang
timbul dari perasaan satu keturunan, senasib, sejiwa dengan bangsa dan tanah
airnya sebagai Nasionalisme. Sementara itu, jiwa dan semangat cinta tanah air berupa
sikap rela berkorban bagi bangsa dan tanah air disebut Patriotisme.
Kemudian muncul
juga pembedaan dalam istilah Nasionalisme itu, yaitu Nasionalisme dalam arti sempit
dan Nasionalisme dalam arti luas. Nasionalisme dalam
arti sempit adalah suatu sikap yang meninggikan bangsanya sendiri, sekaligus
tidak menghargai bangsa lain sebagaimana mestinya. Sikap seperti ini jelas
mencerai-beraikan bangsa yang satu dengan bangsa yang lain. Sedangkan dalam
arti luas, Nasionalisme merupakan pandangan tentang rasa cinta yang wajar
terhadap bangsa dan negara, dan sekaligus menghormati bangsa lain.
Menurut
Gereja Katolik, terdapat perbedaan yang tegas antara Patriotisme dengan
Nasionalisme. Tahun lalu, sehari sesudah 17 Agustus 2012, saya membuat artikel
tentang Patriotisme
dan Nasionalisme Menurut Gereja Katolik. Saya kutipkan 5 pernyataan
mengenai Patriotisme dan Nasionalisme.
“Cintai negaramu
sendiri: adalah kebajikan Kristiani untuk menjadi patriotik. Tetapi bila
patriotisme menjadi nasionalisme yang membawamu melihat kepada orang lain,
kepada negara lain dengan acuh tak acuh, cemoohan tanpa kemurahan hati dan
keadilan Kristiani, maka itu adalah dosa.” – St. Josemaria Escriva
“Negara kita,
salah atau benar! Ketika [negara kita] benar, jagalah agar tetap benar; ketika[negara
kita] salah, jadikanlah supayabenar! Itu adalah suara patriotisme yang
merupakan sebuah kebajikan Kristiani. Nasionalisme, yang adalah kesombongan
dalam skala publik, adalah tidak sesuai dengan iman Katolik.” – Romo John Jay
Hughes
“Sebagai seorang
Katolik, kita dipanggil untuk menjadi patriot sejati, bukan nasionalis. Gereja
Katolik adalah universal, dan dengan demikian meliputi semua negara. Demikian,
orang Katolik mencintai negaranya tetapi tahu bahwa warga negara lain juga
adalah anak-anak terkasih dari satu Allah kita.” – Our Sunday Visitor, Majalah
Katolik
“Patriotisme,
sebagai salah satu jenis cinta, adalah sesuatu yang baik. Patriotisme harus
dikontraskan dengan nasionalisme yang timbul bukan dari cinta melainkan dari
kesombongan. Seorang patriotik mencintai negara apa adanya negara itu,
sementara nasionalis berpikir bahwa negaranya adalah "yang terbaik"
dari pada yang lain. Sebagai seorang Katolik, kita hendaknya mengembangkan
patriotisme dan menghindari nasionalisme sama seperti kita mengembangkan cinta
kasih dan menghindari kesombongan.” – Karl Keating, apologet Katolik dan
penulis buku “Katolik dan Fundamentalisme”.
“Nasionalisme
melibatkan pengakuan dan pengejaran kebaikan bangsa sendiri saja tanpa
menghormati hak-hak orang lain; patriotisme di sisi lain adalah cinta terhadap
tanah airnya yang memberikan hak-hak yang sama dengan hak-hak yang diklaim bagi
dirinya sendiri kepada bangsa lain.” – Paus Beato Yohanes Paulus II
Terlihat bahwa
Gereja Katolik memandang patriotisme sebagai kecintaan terhadap tanah air yang
sehat sementara memandang nasionalisme sebagai sikap cinta tanah air yang
salah.
Terlepas adanya
perbedaan pemaknaan kata dan penggunaan istilah “Patriotisme” dan “Nasionalisme”
antara menurut Gereja Katolik dengan pandangan umum di Indonesia, ada satu poin
penting yang harus dilihat yaitu: Sebagai seorang Katolik dan sebagai seorang
Indonesia, kita harus mencintai bangsa dan tanah air Indonesia kita ini dengan
tetap menghormati dan menghargai bangsa lain.
Alm. Uskup Agung
Soegijapranata berkata demikian:
Jika kita merasa
sebagai orang Kristen yang baik, kita semestinya juga menjadi seorang patriot
yang baik. Karenanya, kita merasa bahwa kita 100% patriotik sebab kita juga
merasa 100% Katolik. Malahan, menurut perintah keempat dari Sepuluh Perintah
Allah, sebagaimana tertulis dalam Katekismus, kita harus mengasihi Gereja
Katolik, dan dengan demikian juga mengasihi negara, dengan segenap hati. - Soegijapranata, dikutip dalam Subanar
(2005, p. 82)
Perhatikan,
ada satu hal penting lagi yang harus ditekankan. Cinta kepada tanah air
merupakan kebajikan Kristiani, suatu kewajiban bagi seorang Katolik.
“Kewajiban warga negara ialah
bersama para pejabat mengembangkan kesejahteraan umum masyarakat dalam semangat
kebenaran, keadilan, solidaritas, dan kebebasan. Cinta kepada tanah air dan
pengabdian untuk tanah air adalah kewajiban terima kasih (duty of gratitude)
dan sesuai dengan tata cinta kasih. Ketaatan kepada wewenang yang sah dan
kesiagaan untuk kesejahteraan umum menghendaki agar para warga negara memenuhi
tugasnya dalam kehidupan persekutuan negara.” – Katekismus Gereja Katolik 2239
Dengan kata lain, mencintai tanah
air bukanlah sebuah pilihan, bukan sesuatu yang opsional. Mencintai tanah air
adalah kewajiban, sebuah kewajiban yang mengalir berasal dari syukur dan terima
kasih. Gereja Katolik mengajarkan bahwa mencintai tanah air merupakan salah
satu wujud dari perintah ke-4 dari 10 Perintah Allah. Umat Katolik memiliki
kewajiban untuk melayani dan mencintai orang tuanya, yang telah memberikannya
kehidupan dan membesarkannya. Demikian juga, sebagai “rahim” peradaban dan
masyarakat tempat di mana kita dibesarkan, tanah air kita layak untuk
mendapatkan pelayanan dan cinta kita. Sebagai seorang Katolik, kita terikat
oleh cinta kasih untuk melayani dan berkarya bagi kebaikan tanah air Indonesia
kita.
Merenungkan Para Pahlawan
Bagaimana cara untuk menumbuhkan
kecintaan terhadap tanah air? Tentu umat sekalian bisa memikirkan cara
masing-masing untuk menumbuhkan kecintaan terhadap tanah air selama cara-cara
tersebut tidak bertentangan dengan iman dan moral Gereja Katolik. Saya coba
mengajukan satu cara, merenungkan para pahlawan, secara khusus para pahlawan
Katolik. Sebagaimana cinta terhadap Kristus dan Gereja dapat ditumbuhkan
melalui membaca, mengenang, merenungkan para martir Katolik serta dengan
menjadikannya teladan dalam mencintai Kristus dan Gereja; maka cinta terhadap
tanah air dapat ditumbuhkan dengan cara yang sama tetapi objek yang berbeda
yaitu para pahlawan.
Kita memiliki Brigadir Jendral
(Anumerta) Ignatius Slamet Rijadi dari Angkatan Darat, Laksamana Madya (Anumerta) Yosaphat
Soedarso dari Angkatan Laut, dan Marsekal Muda (Anumerta) Agustinus Adisutjipto
dari Angkatan Udara. Kita juga memiliki Mgr. Soegijapranata dan Ignatius Joseph
Kasimo yang perjuangan tanpa senjata mereka telah berdampak besar bagi NKRI.
Kita juga memiliki Wage Rudolf Supratman yang menciptakan Lagu Indonesia Raya dan
Cornel Simanjuntak yang menciptakan lagu “Maju Tak Gentar” yang membakar
semangat para Tentara Pelajar Yogyakarta. Semuanya ini menggambarkan bahwa
setiap umat Katolik dapat mencintai tanah airnya dengan cara khas mereka
masing-masing, seturut talenta dan profesi mereka masing-masing. Seorang dokter mencintai tanah air dengan melayani orang-orang miskin di Indonesia, seorang Katolik mencintai tanah air dengan mencerdaskan para muridnya, seorang pemain bola timnas mencintai tanah air dengan bermain sebaik mungkin untuk mengharumkan nama Indonesia. Seorang seniman mencintai tanah air dengan melestarikan seni khas Indonesia. Secara khusus,
jangan remehkan para pencipta lagu-lagu perjuangan. Kontribusi mereka sangat
besar, moral para pejuang teguh karena pesan, semangat, keyakinan dan sebagainya
yang disampaikan dalam lagu-lagu perjuangan tersebut. Pertanyaan menariknya:
Apakah kita sudah menempatkan porsi waktu khusus untuk mendengarkan lagu-lagu
perjuangan? Jangan-jangan saking seringnya kita mendengarkan musik-musik
modern, kita sudah lupa lagu-lagu perjuangan yang dulu pernah kita nyanyikan
atau bahkan kita sudah tidak tahu lagi apa saja lagu-lagu perjuangan itu.
Silahkan berkontemplasi masing-masing.
Ada langkah
konkrit yang bisa diambil Gereja untuk menumbuhkan cinta tanah air kepada Orang-orang
muda Katolik. Mengapa paroki setempat atau keuskupan setempat tidak menjamu para
veteran perang yang masih hidup dalam acara kumpul bersama dengan Orang-orang
muda Katolik? Sederhananya, mengapa tidak membuat sebuah acara yang
mempertemukan Orang muda Katolik dengan para veteran perang yang tersisa?
Sungguh disayangkan di mana para veteran perang semakin menghilang; semangat
mereka, kisah perjuangan mereka, pesan-pesan mereka tidak diteruskan kepada Orang-orang
muda Katolik. Orang-orang muda Katolik bisa menarik inspirasi, pesan, saran dan
koreksi yang begitu banyak dari para veteran perang ini. Tentu saja pertemuan-pertemuan
tidak harus terbatas pada para veteran perang. Pertemuan dengan para veteran,
para pahlawan di bidang-bidang lain pun akan menjadi sangat bermanfaat, sangat
berbuah dan inspiratif. Mengulang pernyataan Bung Karno pada Pidato Hari
Pahlawan 10 November 1961: “Bangsa yang besar adalah bangsa yang
menghormati jasa pahlawannya.” Menjaga cinta, semangat, dan segala yang baik dari
para pahlawan kepada tanah air supaya tetap hidup di dalam umat Katolik masa
sekarang (secara khusus kepada orang muda Katolik) adalah salah satu bentuk
penghormatan terhadap para pahlawan.
Penutup
Pesan
inti yang saya sampaikan adalah bahwa seorang Katolik harus mencintai tanah
airnya tanpa memandang rendah bangsa lain. Gereja Katolik pun mengajarkan
demikian. Ada banyak cara yang dapat ditempuh untuk menumbuhkan cinta kepada
tanah air di dalam diri umat Katolik. Merenungkan Para Pahlawan adalah salah
satunya. Semoga artikel sederhana ini bermanfaat bagi umat Katolik sekalian.
Selamat Hari Raya Kemerdekaan Republik Indonesia. MERDEKA!
pax et bonum