Indonesian Papist
kali ini membagikan terjemahan tulisan Dietrich von Hildebrand dari bukunya
berjudul “The Devastated Vineyard” bab 1 yang ia beri judul “Kelesuan Para Penjaga”.
Bab ini berisi keprihatinan besar Hildebrand mengenai kondisi Gereja setelah
Konsili Vatikan II dan kekurangan yang nyata dari kepemimpinan gerejawi para
uskup yang memiliki kewajiban untuk mendukung dan membela iman yang benar.
Indonesian Papist turut mengambil keprihatinan yang sama dengan menerjemahkan
tulisan Hildebrand. Dietrich von Hildebrand adalah seorang awam, baru menjadi
Katolik pada usia 25 tahun, penulis banyak buku mengenai filosofi dan
kekristenan. Ia dijuluki “Doktor Gereja era modern” oleh Paus Ven. Pius XII dan
disebut sebagai seorang filsuf utama abad ke-20 oleh Paus Benediktus XVI. Pemikiran
Hildebrand memberikan pengaruh dari beberapa karya terbaik Konsili Vatikan II
termasuk mengenai apresiasi yang mendalam akan misteri perkawinan dan
seksualitas. Paus Beato Yohanes Paulus II juga adalah salah seorang yang dipengaruhi
oleh pemikiran Hildebrand mengenai perkawinan dan seksualitas. Dietrich von
Hildebrand memiliki seorang istri bernama Alice von Hildebrand yang juga adalah
teolog, professor dan filsuf terkemuka. Dietrich von Hildebrand meninggal pada
26 Januari 1977. Berikut ini terjemahannya:
Dietrich dan Alice von Hildebrand |
Salah satu dari
penyakit yang paling mengerikan dan menyebar luas dalam Gereja saat ini adalah
kelesuan para penjaga Iman Gereja (lethargy of the guardians of the Faith of
the Church). Di sini saya sedang tidak berpikir tentang para uskup yang adalah anggota
“kolom kelima” yang ingin menghancurkan Gereja dari dalam, atau mengubah Gereja
menjadi sesuatu yang sepenuhnya berbeda. Saya sedang berpikir mengenai lebih
banyak para uskup yang tidak punya niat seperti itu (niat seperti itu =
menghancurkan Gereja atau mengubah Gereja menjadi sesuatu yang sepenuhnya
berbeda), tapi tidak menggunakan apapun dari otoritas mereka ketika datang
untuk melakukan intervensi melawan para imam atau teolog sesat (heretical
theologians or priests) atau melawan penampilan-penampilan menghujat dalam ibadah
publik (liturgi). Mereka juga menutup mata dan mencoba ostrich-style (gaya
burung unta) untuk mengabaikan pelanggaran-pelanggaran pedih yang meminta
kewajiban mereka untuk campur tangan; dan mereka takut diserang oleh pers atau
media massa dan [takut] difitnah sebagai reaksioner, berpikiran sempit atau orang
abad pertengahan. Mereka lebih takut kepada manusia daripada kepada Allah.
Kata-kata St. Yohanes Bosco diterapkan kepada mereka: “Kekuatan yang jahat dari
manusia berada pada kepengecutan (cowardice) akan yang baik.”
Memang benar bahwa
kelesuan mereka yang berada pada posisi berwenang (position of authority)
adalah penyakit zaman kita yang menyebar luas di luar Gereja. Penyakit itu
ditemukan di antara para orang tua, rektor-rektor perguruan tinggi dan
universitas, kepala-kepala berbagai organisasi lainnya, para hakim, para kepala
negara, dan lain-lain. Tetapi fakta bahwa penyakit ini bahkan telah masuk ke
dalam Gereja adalah sebuah indikasi jelas bahwa perjuangan melawan semangat
duniawi telah digantikan dengan berenang bersama semangat zaman dalam nama “aggiornamento”.
Seseorang akan terpaksa untuk berpikir mengenai orang-orang upahan yang
meninggalkan domba-dombanya kepada serigala-serigala ketika berefleksi mengenai
kelesuan dari begitu banyak uskup dan superior yang, meskipun mereka sendiri
masih ortodoks {1}, [tetapi] tidak memiliki keberanian untuk campur tangan
melawan ajaran-ajaran sesat yang paling mencolok dan segala macam
pelanggaran-pelanggaran dalam keuskupan mereka atau tarekat (ordo) mereka.
Tetapi hal yang
terutama paling menyebalkan adalah ketika uskup-uskup tertentu, yang diri
mereka sendiri menunjukkan kelesuan terhadap kaum sesat (bidat), [tetapi] mengambil
sikap otoriter yang keras kepada kaum beriman yang berjuang untuk ortodoksi
(kelurusan ajaran) dan mereka yang sedang melakukan apa yang seharusnya
uskup-uskup itu sendiri lakukan. Saya pernah diizinkan membaca sebuah surat
yang ditulis oleh seorang pria di posisi yang tinggi dalam Gereja, [surat itu]
ditujukan kepada sebuah kelompok yang telah secara heroik berjuang untuk iman
yang benar, iman yang murni, ajaran Gereja yang sejati dan Paus. Kelompok ini
telah mengatasi “kepengecutan dari orang baik” (cowardice of good men) yang St.
Yohanes Bosco katakan, dan dengan demikan seharusnya menjadi sukacita terbesar
para uskup. [Tetapi] surat itu berkata: “Sebagai Katolik yang baik, kalian hanya
perlu melakukan satu hal; cukuplah menjadi taat kepada semua ketetapan uskup
kalian.”
Konsepsi mengenai
Katolik “yang baik” secara khusus mengejutkan pada masa di mana kedatangan era
orang-orang awam modern secara terus-menerus ditekankan. Tetapi [konsepsi
Katolik “yang baik”] adalah sepenuhnya salah untuk alasan ini: apa yang sesuai dengan masa di mana tidak ada
ajaran-ajaran sesat terjadi dalam Gereja yang tidak secara langsung dikutuk
oleh Roma, menjadi tidak sesuai dan tidak terjadi pada masa ketika
ajaran-ajaran sesat yang belum dikutuk menjadi malapetaka dalam Gereja, bahkan
menginfeksi beberapa uskup tertentu yang tetap berada pada jabatannya [sebagai
uskup]. Sebagai contoh, haruskah kaum beriman pada masa ajaran sesat Arianisme
- di mana mayoritas uskup adalah penganut Arianisme – membatasi diri mereka untuk
menjadi baik dan taat kepada ketetapan-ketetapan para uskup [arian] ini
ketimbang melawan ajaran sesat tersebut? Bukankah kesetiaan kepada ajaran
Gereja yang benar diberikan prioritas di atas ketaatan kepada uskup? Bukankah
justru berdasarkan kebajikan ketaatan mereka kepada kebenaran-kebenaran yang
diwahyukan yang mereka terima dari Magisterium Gereja sehingga kaum beriman
memberikan perlawanan? Apakah kaum beriman tidak seharusnya khawatir ketika
hal-hal yang diwartakan dari mimbar adalah sepenuhnya tidak sesuai dengan
ajaran Gereja? Atau ketika teolog-teolog tetap sebagai guru yang mengklaim
bahwa Gereja harus menerima pluralisme dalam filosofi dan teologi {2}, atau
bahwa tidak ada kehidupan seseorang setelah kematian, atau mereka yang menolak percabulan
sebagai sebuah dosa, atau bahkan menoleransi tampilan-tampilan immoralitas di
publik, sehingga menyingkapkan kekurangpahaman yang menyedihkan akan dalamnya kebajikan
Kristiani mengenai kemurnian.
Omong kosong dari para
kaum sesat, baik para imam maupun awam, ditoleransi; [dengan demikian] para
uskup dengan diam-diam menyetujui pemberian racun kepada kaum beriman. Tetapi
para uskup ingin membungkam kaum beriman yang berjuang demi ortodoksi,
orang-orang yang seharusnya dengan segala hak menjadi sukacita hati para uskup,
penghiburan mereka, sumber kekuatan untuk mengatasi kelesuan mereka sendiri.
Sebaliknya, orang-orang ini dianggap sebagai pengganggu perdamaian. Dan kemudian
terjadi bahwa kaum beriman yang terbawa dalam semangat mereka dan
mengekspresikan diri mereka sendiri bahkan ditangguhkan [oleh para uskupnya] dengan
cara yang kurang bijaksana atau dibesar-besarkan. Hal ini dengan jelas menunjukkan
kepengecutan yang tersembunyi di balik kegagalan para uskup untuk menggunakan
otoritas mereka. Oleh karena mereka (para uskup) tidak memiliki apapun untuk
ditakutkan dari orang-orang yang ortodoks; oleh karena orang-orang ortodoks
tidak mengontrol media massa atau pers; maka orang-orang ortodoks ini bukan representasi
opini publik. Dan karena ketaatan mereka kepada otoritas gerejawi, para pejuang
untuk ortodoksi ini tidak akan pernah seagresif orang-orang yang disebut
progresif. Oleh karena itulah, bila mereka (para pejuang ortodoksi ini) yang diperingatkan
atau didisiplinkan, maka para uskup mereka tidak diserang oleh pers liberal dan
difitnah sebagai reaksioner.
Kegagalan para
uskup untuk menggunakan otoritas mereka yang diberikan Allah mungkin adalah,
dalam konsekuensi praktis, kekacauan terburuk dalam Gereja saat ini. Karena
kegagalan ini tidak hanya tidak menghentikan penyakit-penyakit spiritual,
ajaran-ajaran sesat dan kehancuran kebun anggur Tuhan yang nyata dan berbahaya;
kegagalan ini bahkan memberikan kendali kebebasan bagi kejahatan-kejahatan ini.
Kegagalan menggunakan otoritas suci untuk melindungi iman yang kudus secara
jelas membawa kepada disintegrasi Gereja.
Di sini,
sebagaimana dengan kemunculan seluruh bahaya, kita harus berkata. “principiis obsta” (“hentikan kejahatan
pada sumbernya”). Semakin lama seseorang membiarkan sebuah kejahatan berkembang,
akan semakin sulit kejahatan itu dicabut lagi. Hal ini berlaku untuk
membesarkan anak-anak, untuk kehidupan bernegara dan dalam sebuah cara yang
spesial untuk kehidupan moral individu. Tapi adalah sungguh benar dalam cara
yang sama sekali baru untuk intervensi dari otoritas gerejawi demi kebaikan
umat beriman. Sebagaimana Plato katakan, “ketika kejahatan telah maju jauh, ...
tidak pernah menyenangkan untuk menghilangkannya.”{3}
Tidak ada yang
lebih salah daripada membayangkan bahwa banyak hal harus dibiarkan membabi buta
dan melakukan yang paling buruk, dan bahwa seseorang harus menunggu dengan
sabar sampai hal-hal itu mereda dengan sendirinya. Teori ini terkadang mungkin benar berkaitan
dengan pemuda yang sedang melalui masa pubertas, tetapi teori ini sepenuhnya
salah dalam pertanyaan-pertanyaan mengenai bonum
commune (kebaikan bersama). Teori palsu ini terutama berbahaya ketika
diterapkan kepada bonum commune Gereja
yang kudus, melibatkan hujatan-hujatan dalam ibadah umum (Liturgi) dan
ajaran-ajaran sesat yang bila tidak dikutuk akan meracuni jiwa-jiwa yang tak
terhitung jumlahnya. Di sini, adalah
keliru untuk menerapkan perumpamaan tentang gandum dan ilalang.
Catatan:
1. Istilah “ortodoks”
berarti keyakinan pada ajaran resmi Gereja Katolik yang kudus yang menyatakan
kebenaran yang otentik dan diwahyukan serta dijamin dan dibimbing oleh Roh
Kudus. Ekspresi “ortodoks” tidak merujuk kepada keanggotaan dalam Gereja
Ortodoks yang belum bersatu dengan Katolik.
2. Istilah “pluralisme”
adalah paham bahwa seseorang dapat memiliki pendapat dan pandangan yang berbeda
terkait dengan kebenaran iman yang sudah didefinisikan dan dideklarasikan secara
tak dapat salah atau bahwa setiap filosofi memiliki tempat dalam Gereja yang
kudus – menjadi sebuah relativisme yang absolut. Tentu saja selama tidak ada
pendefinisian dan pendeklarasian ajaran yang diberikan mengenai pertanyaan akan
iman, pendapat berbeda boleh diajukan oleh umat yang ortodoks. Sebagai contoh,
mengenai Dogma Santa Perawan Maria Dikandung Tanpa Noda, Santo Thomas Aquinas
dan Beato Duns Scotus memiliki pandangan yang berbeda. Ini terjadi pada abad
pertengahan. Tetapi setelah pendeklarasian dogma ini secara definitif pada
tahun 1854, umat Katolik tidak lagi dapat memegang pandangan yang berbeda atau
kontra dogma ini.
3. Plato, Laws, no. 660.
pax et bonum