Sekarang ini kita
hidup dalam sebuah dunia yang dipenuhi banyak orang yang tidak percaya, dunia
modern yang skeptis, yang meragukan segala-galanya. Kaum muda sekarang ini
mempertanyakan iman, mempertanyakan prinsip-prinsip dan segala tabu yang dianut
orangtuanya. Para mahasiswa mendiskusikan dan kadang-kadang menyangkal ajaran
para professornya. Dunia kita semakin menjadi dunia yang menganut skeptisisme.
Tetapi,
bagaimanapun juga adalah baik untuk bersikap ragu. Ragu dalam bahasa Inggris
berarti “doubt”. “Doubt” berasal dari kata Latin “duo”,
yang artinya: dua. Ragu adalah suatu keadaan di mana budi kita mengambang
antara dua pendapat yang saling bertentangan, dan budi kita tidak memilih salah
satu di antara keduanya. Ragu adalah keadaan budi yang bimbang antara pendapat
yang saling bertentangan, dan kita tidak sanggup mempercayai salah satu di
antaranya sebagai hal yang benar.
Bersikap ragu-ragu
untuk sementara waktu sebenarnya bisa mejadi sangat berguna, kalau kita dengan
hati yang jujur mau mencari kebenaran. Karena Columbus meragukan teori lama
yang mengatakan bahwa dunia itu rata, akhirnya ia menemukan dunia baru, yakni
Amerika. Karena ada keragu-raguan, akhirnya banyak prinsip pengetahuan yang
baru akhirnya ditemukan. Karena ada keragu-raguan, kaum intellek tak
henti-hentinya belajar dan belajar lagi. Karena meragukan keotentikan dan
pondasi Gereja Protestan, akhirnya Kardinal Newman menjadi Katolik. Dan
karena Thomas meragukan kebangkitan Kristus, akhirnya ia mendapat keistimewaan
untuk bisa menyentuh luka-luka Kristus yang kudus.
Karena itu
bersikap ragu-ragu sebenarnya adalah baik, sejauh kita dengan jujur dan dengan
hati murni mencari terang. Tetapi tinggal selamanya dalam kegelapan adalah
fatal dan akan membawa kita ke dalam malapetaka. Cara yang paling berhasil
untuk menaklukkan seseorang ialah dengan menguasai budinya, dengan membuat dia
selalu tinggal dalam keragu-raguan. Akan tetapi, cara yang terbaik untuk
berjaya dan menang ialah dengan memiliki budi yang kritis, budi yang haus
mencari kebenaran.
Kalau kita mau
menerapkan prinsip keraguan tadi terhadap iman kristiani kita, akan sangat
menolonglah sebenarnya bila kita meragukan iman kita, dengan maksud untuk lebih
beriman atau sekurang-kurangnya menjadi beriman. Kadang-kadang dalam Sakramen
Pengakuan Dosa ada orang mengatakan kepada saya: “Pastor, saya ragu-ragu apakah
Allah itu sungguh ada” atau terkadang ada yang mengatakan: “Saya ragu apakah
Gereja Katolik itu adalah Gereja yang benar.” Lalu saya berkata: “Bagus. Dan
apa yang anda lakukan untuk menjernihkan keragu-raguanmu?” Dan biasanya jawaban
adalah: “Tidak ada”. Keraguan seperti itu adalah salah, dan lebih buruk lagi
bila akhirnya orang berkata: “Saya ragu, dan karena itu saya tidak percaya”.
Bila kita dalam
keadaan ragu, kita memang tidak mendapat kepastian untuk percaya atau tidak
percaya. Maka hal pertama yang harus kita lakukan ialah mencari kebenaran. Kita
harus belajar, melakukan penelitian, mengadakan survey, mencari tahu
kebenaran dari sumber-sumber yang utama dan asli. Dan kemudian, sesuai
dengan apa yang kita temukan, membuat kesimpulan.
Seringkali kita
adalah orang-orang yang percaya akan iman kita, tetapi pada saat yang
bersamaan, kita adalah orang-orang yang tidak mengetahui iman kita dengan baik.
Dan karena tidak mengetahuinya dengan baik, kadang-kadang kita bersikap
fanatik atau bertakhyul terhadap iman kita itu. Yang kita butuhkan adalah
mempelajari iman kristiani kita secara mendalam. Kita harus mempelajari iman
kita agar bisa menghidupinya dengan cara yang murni. Tidak apa-apa, kalau
seandainya sikap ragu-ragu menjadi awal untuk itu. Sering terjadi, bahwa
hanyalah bila kita meragukan sesuatu, kita lalu mencari kebenaran dengan tulus.
Karena itu, tidaklah salah untuk ragu-ragu, sejauh hal itu tidak membuat kita
lupa untuk keluar dari keragu-raguan itu dengan mencari dan mempelajari
kebenaran dengan hati yang jujur.
Seringlah kita
tidak menyukai Rasul Thomas karena sikapnya yang tidak percaya. Namun di pihak
lain marilah kita meniru dan meneladan Thomas yang secara mendalam menyatakan
imannya ketika ia berkata: “Ya Tuhanku dan Allahku”. Sejak pernyataan
iman itu Thomas mengabdikan hidupnya untuk melayani Kristus, Tuhan dan
Allahnya. Kita seharusnya belajar dari Rasul Thomas, menyatakan hal yang sama
“Ya Tuhanku dan Allahku” dan mengabdikan hidup kita untuk melayani Kristus.
----
renungan oleh Pater Leo Sipahutar, OFM.Cap.
dipublikasi oleh Indonesian Papist
pax et bonum