Oleh: Shirley
Hadisandjaja
“Benediktus
XVI memiliki devosi yang besar kepada Bunda Maria, terutama kepada Bunda Maria
Lourdes, karena penampakannya yang sejernih kristal. Oleh karena itu, tidaklah mungkin hanya suatu
kebetulan dirinya telah memilih tanggal 11 Februari sebagai hari untuk
mengumumkan pengunduran dirinya”. Vittorio Messori, penulis asal Italia yang
buku-bukunya paling laris diterjemahkan di dunia, telah banyak mempelajari
penampakan Maria di Lourdes yang memiliki sintesis pertama dalam bukunya yang
terakhir “Bernadette non ci ha ingannati” (Bernadette tidak mengelabui kita).
Messori kenal baik dengan Joseph Ratzinger, Paus emeritus BenediktusXVI,
persahabatan diantara keduanya itu lahir dalam kesempatan pembuatan buku
wawancara dengan mantan Kepala Kongregasi Doktrin Iman itu berjudul “Rapporto
sulla Fede” (Ulasan tentang Iman).
Messori dan
Ratzinger sering membicarakan tentang Lourdes, dan kebetulan mereka berdua
berbagi tanggal kelahiran yang sama: 16 April, dies natalis dari Santa
Bernadette.
Menurut Messori,
pemilihan tanggal 11 Februari bukanlah sesuatu yang kasual. “Jawaban yang
kutemukan terletak pada diri pendahulunya, Beato Yohanes Paulus II. Tanggal 11
Februari sejak dari jaman kepausan Leo XIII sudah masuk ke dalam kalender
universal Gereja sebagai Pesta Bunda Maria Lourdes, dan adanya ikatan antara
Santuari ini dengan penyakit tubuh, maka Yohanes Paulus II mengabdikan hari itu
sebagai Hari Orang Sakit Sedunia. Oleh karena itu Paus Benediktus XVI bermaksud
untuk berbicara tentang penyakitnya.”
Namun,
Padre Lombardi, Juru bicara Vatikan tidak mengatakan alasan pengunduran diri
Paus Benediktus adalah karena penyakit. Messori menjelaskan, “Senectus ipsa est morbus”, artinya: masa tua
itu sendiri juga merupakan suatu penyakit. Pada usia 86 tahun, meskipun
nyatanya kau tidak sakit, tetapi ada penyakit yag berkaitan dengan usia. Paus
merasakan sakit karena sudah amat lanjut usia, maka aku yakin bahwa ia telah
memilih hari itu justru untuk mengakui dirinya yang sakit di antara orang-orang
sakit lainnya. Dan juga untuk membaktikan dirinya secara total kepada Bunda
Maria: bukan hanya Bunda Maria Lourdes tetapi kepada diri Bunda Maria sendiri.”
Messori melanjutkan,
“Tentang Lourdes kita telah membicarakan selama 25 tahun dan pastinya
Benediktus XVI telah mengambil kesempatan dalam rangka 150 tahun penampakan
Bunda Maria untuk berkunjung ke sana (September 2008). Untuk memberikan ide
mengapa Lourdes sangat penting baginya, kita cukup berpikir bahwa pada satu
setengah hari itu, diperkirakan ada 3 kotbahnya yang besar. Ternyata, Paus
Benedikus telah berbicara sebanyak 15 kali, hampir setiap kali tanpa teks dan
sering kali ia tampak terharu. Ia selalu terlihat memiliki devosi yang besar
kepada Maria dan kepada sosok Santa Bernadette, kepada penampakan Bunda Maria
di Lourdes yng sejernih kristal: di sana tidak ada rahasia, semuanya jelas,
jernih.”
Kemudian
Messori menjelaskan bahwa kemunduran diri Paus Benediktus yang dipandang oleh
banyak pengamat sebagai suatu sikap menyerah di hadapan kesulitan-kesulitan,
sebaliknya justru pada kenyataannya merupakan sebuah tanda ketegaran dan
kerendahan hati. Kebebasan dalam
agama Katolik itu jauh lebih besar dibandingkan dengan apa yang dipikirkan
orang. Ada bebagai karakter yang berbeda, kisah-kisah berbeda, karisma-karisma
yang berbeda dan kesemuanya itu dihormati karena turut mengambil bagian dalam
kehendak bebas yang suci dari setiap umat beriman. Pada diri Yohanes Paulus II
ada sisi mistik, ia adalah seorang mistik dari Timur. Sementara pada diri
Benediktus XVI ada sisi rasional Barat, dari seorang yang modern. Oleh karena
itu, ada dua kemungkinan pilihan: yang mistik, dari Paus Wojtyla, yang alot dan
bertahan sampai akhir; atau pilihan rasional, seperti Paus Ratzinger: yaitu
mengakui tidak lagi memiliki kekuatan fisik dan bahwa Gereja justru memerlukan
seorang pemimpin dengan tenaga yang besar. Maka, demi kebaikan Gereja lebih
baik mengundurkan diri. Pilihan-pilihan itu keduanya berdasarkan pada Kitab
Suci.
Paus
Benediktus telah selalu menakjubkan kita dengan kerendahan hatinya. Dan memang, pilihan yang diambilnya ditandai dengan
sikap kerendahan hati yang besar, sebuah bakti yang selalu nyata dalam dirinya.
Kata Messori, “Aku ingat kembali akan sebuah episode pada tahun 1985 yang batik
sangat menakjubkan: setelah 3 hari keseluruhan melakukan wawancara untuk buku
“Rapporto sulla Fede”, sebelum ditutup aku bertanya kepadanya: “Yang Mulia,
dengan segala sesuatu yang Anda ceritakan kepada saya tentang situasi Gereja
(pada saat itu banyak pertentangan) ijinkan saya bertanya: apakah Anda masih
bisa tidur di malam hari?” Dan ia menjawab dengan wajah dan mimiknya yang
kekanakan dan mata kerangnya: “Saya tidur nyenyak sekali, karena saya menyadari
bahwa Gereja bukan milik kita, tetapi milik Kristus, kita ini hanya
pelayan-pelayanNya yang bersahaja: setiap malam saya melakukan latihan
kesadaran diri, apabila saya melihat telah melakukan dengan kehendak baik apa
saja yang dapat saya kerjakan, maka saya tidur dengan nyaman”.
Begitulah seorang
Ratzinger yang selalu memiliki keyakinan yang jelas bahwa kita bukan dipanggil
untuk menyelamatkan Gereja, tetapi untuk melayani Gereja, dan apabila tidak
sanggup lagi maka kita melayani Gereja dengan cara lain, yaitu berlutut dan
berdoa. Keselamatan adalah perkara Kristus. Maka, dengan kemunduran dirinya
ini, kita dipanggil untuk “belajar untuk melakukan tugasmu sebaik mungkin dan
ketika kau menyadari tidak mampu lagi mengemban tugas itu, tidak ada lagi
tenaga untuk mengemban tugas, maka kau ingat bahwa Gereja bukanlah milikmu dan
serahkan tugas itu kepada orang lain dan lakukanlah karya bagi Gereja yang di
dalam perspektif iman jauh lebih besar, jauh lebih berharga: karya berdoa dan
menyandarkan penderitaanmu kepada Kristus.” Messori melihat ini sebagai suatu
sikap dari kerendahan hati yang besar, dari kesadaran diri bahwa menjadi tugas
Kristus untuk menyelamatkan Gereja, bukanlah kita manusia-manusia yang hina
untuk menyelamatkannya, meskipun engkau seorang Paus sekalipun.
Ketika
Paus Benediktus XVI berbicara kepada para seminaris Roma ia berkata bahwa saat
orang berpikir bahwa Gereja hampir punah, kenyataannya Gereja justru selalu
membaharui dirinya. Messori
menjelaskan bahwa orang sering kali melupakan bahwa pada awal masa kepausannya,
Benediktus XVI mengatakan: program kerja saya adalah tidak memiliki
program-program. Dalam pemahaman menempatkan diri kembali di hadapan
kejadian-kejadian yang telah ditempatkan di depan oleh Sang Ilahi. Rancangan
strategi yang besar, pada dasarnya, terdapat di sini, mengukuhkan domba-domba
di dalam iman.
Messori
melanjutkan, “Mengenai ini, aku selalu merasakan keselarasan dengannya,
Benediktus XVI selalu telah menjadi seorang Paus yang meyakini perlunya mengangkat
kembali Apologetik dan menemukan kembali rasio-rasio dari iman. Ia juga yakin,
seperti halnya diriku, bahwa banyak masalah Gereja yang disebut parah pada
kenyataannya adalah masalah sekunder: masalah kelembagaan, masalah gerejawi,
administrasi, masalah-masalah moral dan liturgi, tentu saja amat penting;
tetapi di sekelilingnya ada sebuah pertengkaran klerus yang – seperti yang
dikatakannya sendiri di dalam dokumen indikasi Tahun Iman – menerima iman
begitu saja, padahal tidak harus begitu. Untuk apa kita saling bertengkar
tentang bagaimana mengatur lebih baik lembaga-lembaga vatikan, dan bahkan
tentang prinsip-prinsip yang tidak dapat dikompromi, untuk apa kita bertengkar
dan juga mengatur pembelaan diri jika kita sendiri tidak lagi percaya bahwa
Injil itu benar? Jika kita tidak lagi percaya akan Keilahian Yesus Kristus maka
segala sesuatu menjadi omong kosong.
Dan memang
bukan kebetulan, karya Benediktus yang terakhir dan besar adalah menetapkan
Tahun Iman: tetapi dari
iman yang tekun dalam arti apologetik, mencoba menunjukkan bahwa
seorang kristen bukan orang yang bodoh, mencoba menunjukkan bahwa kita tidak
percaya akan sebuah dongeng, mencoba menunjukkan alasan-alasan apa saja untuk
percaya. Jalur-jalur strateginya yang besar hanya terdapat dalam hal ini:
menegaskan kembali alasan-alasan untuk bertaruh pada kebenaran Injil.
Persoalan-persoalan lainnya dihadapi hari demi hari. Dan ini telah dilakukannya
dengan amat baik.”
Dengan
penjelasan dari Messori ini maka benarlah mengatakan bahwa Iman adalah warisan
sejati dari Paus Benediktus, dan warisan ini harus kita ambil dengan serius. Dalam Gereja, di dalam perspektif masa depan,
apologetik harus memiliki sebuah peranan inti, karena jika dasarnya tidak
benar, maka segala sesuatunya tidak masuk akal. Benediktus XVI telah
meninggalkan kepada kita kesadaran bahwa kita harus menemukan kembali
alasan-alasan untuk percaya.
(Sumber: La Nuova
Bussola quotidiana)
Pax et Bonum