Sejak tanggal 27
Maret 2013 lalu, saya berada di kampung oppung (kakek) saya di Kampung
Ambarita, Tanah Jawa. Daerah ini menjadi bagian dari wilayah Stasi Negeri Asih,
Paroki St. Antonius Padua Tigadolok, Keuskupan Agung Medan. Pada tanggal 28
Maret 2013 pukul 20.00 WIB diadakan Misa Kamis Putih di Gereja St. Fransiskus
Stasi Negeri Asih ini. Misa dipimpin oleh Pastor Paroki St. Antonius Padua,
Pater Laurentius Sihaloho, OFM. Conv.
Saya dan ibu
saya datang ke Gereja St. Fransiskus setengah jam sebelum Misa Kamis Putih
dimulai. Tidak lama kemudian, pastor paroki datang dan mulai mempersiapkan
Misa. Sebelum pukul 20.00 WIB, pastor paroki memanfaatkan waktu untuk melatih
umat bernyanyi sejumlah lagu yang akan digunakan dalam Misa Kamis Putih. Pastor
Paroki bisa bernyanyi dengan benar sehingga bisa mengarahkan umat untuk
bernyanyi dengan benar pula. Di samping itu, sebelum Misa ini pula Pater
Laurentius membagikan katekese mengenai liturgi yaitu mengenai pembunyian
lonceng. Dikatakan bahwa setelah Kamis Putih, lonceng tidak lagi dibunyikan
hingga nanti pada saat menyanyikan Kemuliaan di Malam Paskah.
Masih sebelum
Misa dimulai, Buku panduan Liturgi Triduum Paskah Keuskupan Agung Medan dibagikan.
Ketika saya membuka buku tersebut, hal yang terlintas di pikiran saya adalah “Say
the black, do the red!”. Apakah ini? Ini adalah ungkapan khas Liturgi
Gereja Katolik. Dalam buku liturgi terdapat 2 warna tulisan, hitam dan merah. Tulisan
berwarna hitam adalah kata-kata yang diucapkan sementara tulisan berwarna merah
adalah tindakan yang dilakukan atau arahan yang harus diperhatikan pada saat
pengucapan kata-kata liturgi. Saya pribadi selama di Pontianak, Bandung dan
Jakarta tidak pernah sekalipun melihat buku liturgi dalam bentuk demikian,
terkecuali saat Misa Latin Tradisional di Bandung. Di buku liturgi yang saya
pernah gunakan semua tulisan berwarna hitam, dan untuk tindakan liturgisnya dicetak
dalam tulisan hitam miring. Mungkin tidak terlalu penting bagi sebagian orang,
tetapi bagi saya pribadi ini menunjukkan keunggulan buku liturgi ini yang
menggemakan lagi ungkapan “Say the black, do the red!”.
Ungkapan ini menegaskan bahwa liturgi hendaknya dirayakan seturut apa yang tertulis, yang harus diucapkan,
yang harus diperhatikan dan yang harus dilakukan. Prinsip ini adalah
salah satu hal mendasar yang wajib ada untuk merayakan liturgi yang setia dan
taat.
Sungguh senang
sekali ketika melihat bahwa tulisan-tulisan berwarna merah tersebut juga
mengandung katekese liturgi yang harus diperhatikan. Sebagai contoh untuk Misa
Kamis Putih ini bisa dibaca pernyataan: “Missale
Romanum tidak menyebut jumlah pria yang dibasuh kakinya. Ini bisa dimengerti
karena simbol utama adalah pembasuhan kaki dan bukan rekonstruksi sejarah.
Tidak juga disebut bisa wanita, anak-anak atau remaja melainkan pria dewasa.
Secara implisit, Missale Romanum mengutamakan pria dewasa. Kesimpulan yang bisa
dipedomani: pria dan tidak harus dua belas orang.”
Sementara untuk
Misa Jumat Agung terdapat katekese: “Dramatisasi
Kisah Sengsara seperti dipraktekkan di beberapa tempat untuk menggantikan Kisah
Sengsara adalah usaha yang pantas dihargai, namun tindakan ini membuat liturgi
sebagai sarana rekonstruksi sejarah. Selain itu, sangat mungkin menjadi
tontonan padahal pembaharuan liturgi menandaskan agar tak seorang pun jemaat
liturgis hadir sebagai penonton. Kemungkinan dramatisasi dapat menolong
meditasi tetapi juga dapat mengganggu kontemplasi. Untuk menghindari kebosanan,
liturgi Romawi telah menganjurkan kisah sengsara dibawakan oleh sekelompok
orang tanpa melakonkan.”
Masih banyak
lagi katekese-katekese liturgi yang bisa ditemukan dalam buku liturgi ini yang
berguna untuk merayakan Liturgi Triduum Paskah dengan benar.
Lalu bagaimana
dengan Misa Kamis Putih ini sendiri? Ok, saya lanjutkan.
Misa Kamis Putih
dimulai tepat pukul 20.00 WIB diawali dengan nyanyian pembukaan. Sungguh
menyejukkan ketika suara yang terdengar begitu lantang dan jelas; hampir semua
umat bernyanyi. Sepertiga umat yang hadir adalah orang muda, anak-anak dan
ibu-ibu dalam jumlah yang banyak sementara bapak-bapak [sayangnya] hanya
belasan orang. Misa berjalan dengan khusuk dan “Say the black, do the red!” bisa terlihat dengan jelas. Pakaian
umat semuanya sopan dan rapi, menunjukkan penghargaan terhadap Kristus yang
hadir dalam Ekaristi. Selain itu, lagu-lagu yang digunakan adalah lagu-lagu liturgi dari Puji Syukur; tidak menggunakan lagu pop rohani atau lagu non-rohani seperti yang terjadi dalam Misa sejumlah kelompok kategorial atau kebanyakan Ekaristi Kaum Muda.
Pater Laurentius
memimpin Misa dengan baik dan benar, Beliau terlihat begitu berwibawa dan
sangat kebapaan. Dalam homilinya (sesuai yang mampu diingat saya), Beliau
menjelaskan bahwa setiap orang baik Islam, Protestan, Hindu dll dapat saja
menghadiri Ekaristi tetapi mereka tidak bisa menerima Komuni Kudus karena
mereka bukan anggota Gereja. Beliau juga menjelaskan bahwa hanya orang Katolik
yang sudah menerima Komuni pertama dan telah mengakukan dosa beratnya yang
boleh dan berhak menerima Komuni Kudus. Ok, terlihat seperti katekese biasa
umumnya tetapi syarat “dan telah mengakukan dosa berat”
jarang sekali diberitahukan dalam Perayaan Ekaristi. Seringkali kita sekadar
mendengar syarat “yang telah menerima Komuni pertama” saja tetapi syarat “telah
mengakukan dosa berat” jarang terdengar atau malah tidak pernah sama
sekali (saya pribadi baru pertama kali mendengar seorang imam menyampaikan hal
seperti ini). Memang benar bahwa seorang Katolik yang berada dalam keadaan
berdosa berat tidak boleh menerima Komuni Kudus sampai ia mengakukan dosanya
kepada imam atau uskup. Pater Laurentius melanjutkan homili dengan menyampaikan
bahwa saling melayani sebagaimana yang Yesus lakukan dapat dilakukan kembali
dalam rupa yang sederhana seperti seorang anak membantu ibunya mempersiapkan
makanan atau membantu ayahnya bekerja di ladang. Pater Laurentius mengarahkan
teladan pelayanan Yesus untuk diterapkan terlebih dahulu di dalam keluarga
melalui hal-hal yang kecil sekalipun. Pater Laurentius menyampaikan
homili-homilinya dengan sesekali menggunakan bahasa batak untuk membantu umat
lebih mengerti (hampir seluruh umat Katolik di stasi ini adalah orang batak).
Misa berjalan
dengan lancar hingga penghujung Misa. Pada bagian pengumuman, setelah
mendengarkan seorang umat membacakan pengumuman, Pater Laurentius melanjutkan
dengan memberikan katekese liturgi. Senang sekali mendengarkan katekese liturgi
dari Beliau. Beliau menyampaikan kembali soal pembunyian lonceng, mengenai
tuguran, menjelaskan bahwa sejak Kamis Putih altar tidak boleh ditutupi taplak
atau kain hingga Malam Paskah dimulai yang menggambarkan Kristus ditelanjangi
karena dosa kita. Beliau juga menjelaskan bahwa Jumat Agung bukan Misa
melainkan ibadah karena tidak adanya konsekrasi serta menjelaskan bahwa umat
harus berlutut menghadap Tabernakel kala ada Sakramen Ekaristi didalamnya.
Semua katekese liturgi ditutupi dengan kalimat “... supaya kita mengenal liturgi
kita yang sesungguhnya.”, sebuah tujuan yang indah dari
katekese-katekese liturgi yang diberikannya. Beliau betul-betul memanfaatkan
bagian pengumuman untuk memberikan katekese. Hal ini kontras sekali dengan
sejumlah imam yang justru membiarkan dan mengizinkan bahkan mengusulkan
improvisasi dan kreativitas yang melanggar liturgi Gereja Katolik dan mencederai
identitasnya. Memang seharusnyalah seorang gembala mengarahkan domba ke arah
yang benar meskipun harus dengan “memukul”. Katekese-katekese adalah alat
pemukulnya, alat pemukul yang tidak menyakitkan tetapi menyelamatkan.
Inilah sharing pengalaman
saya menghadiri Misa Kamis Putih di kampung ini. Semoga sharing ini berguna dan
dapat memberikan inspirasi bagi anda para pembacanya. Selamat menjalankan
Triduum Paskah.
Pax et Bonum
follow Indonesian Papist's
Twitter