Liturgi Bukan Entertainment |
a,
masa liturgi, dan bacaan-bacaan yang telah ditetapkan. “Kekuatan itu juga tergantung pada kesatuan artistik sebagai hasil
pilihan yang cermat dan tepat atas bahan-bahan liturgi yang ditawarkan, musik,
dan kesenian yang terkait” (Musik dalam Ibadat Katolik, Komisi Liturgi KWI,
2003, No 11).
Sayangnya,
begitu antusiasnya beberapa petugas liturgi membuat liturgi menyentuh umat,
justru menurunkan mutu liturgi itu sendiri. Dengan mengikuti mode dan selera
umat, justru liturgi tidak mampu mengungkapkan iman sejati. Yang terjadi adalah
pentas kesenian dan bukan perayaan liturgi.
Nyanyian
dan musik populer dimasukkan dalam perayaan liturgi. Orang lupa bahwa musik
populer lebih ditujukan untuk mengabdi kegemaran publik. Demikian pula nilai
artistiknya memang terasa kurang bermutu dibandingkan dengan lagu Gregorian
yang sudah mentradisi dalam sejarah Gereja. Lagu Gregorian mengungkapkan isi
kata bahasa Latin tanpa irama tetap (hitungan). Irama Gregorian berpangkal dari
aksen dan arti kata dengan irama bebas, sehingga lagunya merupakan ungkapan
syair. Dan ketahuilah, syair-syair Gregorian pada umumnya diambil dari Kitab
Suci. Sedangkan lagu-lagu populer lebih menekankan birama dan hitungan yang
cenderung mekanis.
Paus
Benediktus XVI mengingatkan bahwa musik Gereja pada tempat pertama, merupakan
umat Allah yang bernyanyi menyatakan identitasnya. Tidak mudah memang mencari
keseimbangan musik Gereja di tengah tarikan antara elitisme estetika seni dan
arus budaya massa industrial. “Jika pop
diartikan sebagai suatu produk dari masyarakat massa, lewat reproduksi dan
standarisasi pengalaman sehingga menjadi bagian dari kultur massa, musik pop
yang dihasilkan tidak tumbuh dari pengalaman autentik dan pengalaman reflektif
mendalam atas kehidupan” (Krispurwana Cahyadi SJ, Benediktus XVI, Kanisius:
Yogyakarta, 2010, hal 176).
Jelaslah,
liturgi adalah perayaan iman, bukan pementasan dan bukan pula sekadar upacara. Maka,
aneh, ketika persiapan persembahan, diadakan tarian mengantar persembahan
selama lebih kurang 30 menit. Sementara Doa Syukur Agung hanya sekitar tujuh
menit. Dengan tarian yang lama, maka Doa Syukur Agung kehilangan makna
puncaknya. Perhatian umat masih terpaku pada penari-penari cantik dengan
pakaian dan hiasan gemerlap, serta senyum yang menawan. Aspek keheningan pun
terasa menghilang. Liturgi dirayakan secara dangkal. Liturgi tidak lagi
merupakan pertumbuhan iman yang hidup, tetapi merupakan produk kerja dari
segelintir umat dan hobi dari beberapa pastor yang hanya sekadar mencari
popularitas.
Memang
tidak mudah mencari keseimbangan antara konservatisme dan kebaruan; antara
karakter kebaktian liturgis dan tugas kateketis dan pastoral. Namun, perlu
ditegaskan lagi, liturgi bukanlah entertainment. Kalau ingin mencoba sesuatu
yang baru, maka laksanakan itu dalam kelompok terbatas dan bukan pada Misa hari
Minggu. Setiap eksperimen perlu dinilai secara kritis oleh ahli liturgi dan
direstui oleh pimpinan Gereja. Di lain pihak, umat pun terus-menerus dididik
agar semakin menghayati perayaan liturgi yang telah berkembang dalam sejarah
Gereja. Janganlah
liturgi terjebak dalam upaya modernisme dan inkulturasi yang dangkal. Dalam hal
ini, penting diperhatikan keheningan, keindahan, kedalaman, dan misteri. Bukan
demi kepentingan estetika seni, bukan demi pragmatisme pastoral, tetapi justru
demi pujian terhadap Tuhan.
RD.
Jacobus Tarigan
disalin dari http://
*. Reverendus Dominus artinya adalah "Tuan Yang Terhormat", merupakan gelar resmi atau sapaan resmi Gereja Katolik untuk imam-imam diosesan. Sedangkan gelar untuk imam-imam dari ordo/tarekat/kongregasi religius adalah Reverendus Pater yang berarti "Bapa Yang Terhormat".
Pax et Bonum
follow Indonesian Papist's
Twitter