Bapa Suci Benediktus XVI |
Ateis Praktis
haruslah dibedakan dari Ateis Aktual atau Ateis Teoritis. Ateis Praktis adalah
orang-orang beragama yang mengakui bahwa mereka beragama tetapi mereka hidup
seolah-olah Tuhan itu tidak ada. Sedangkan Ateis Teoritis adalah Ateis yang
secara terang-terangan menolak eksistensi Tuhan dan mereka berusaha membuat
argumen-argumen untuk menyangkal keberadaan Tuhan. Setiap orang Katolik yang
mengakui bahwa ia percaya kepada Allah dapat saja menjadi seorang Ateis Praktis
dan dengan demikian menjadi ancaman yang lebih besar daripada Ateis Teoritis.
Dalam
Audiensi-nya tanggal 14 November 2012, Paus Benediktus XVI berkata bahwa “pada waktu kita sekarang terdapat fenomena
yang berbahaya bagi iman; ada fakta sebuah bentuk ateisme yang kita definisikan
sebagai “praktis” yang tidak menolak kebenaran-kebenaran iman atau
ibadah-ibadah religius tetapi dengan mudah menganggap itu semua tidak relevan
dengan kehidupan sehari-hari, terlepas dari hidup, tidak berguna. Seringkali,
kemudian, orang-orang percaya kepada Allah dengan cara yang mudah, tetapi hidup
“seolah-olah Allah tidak ada” (etsi Deus non daretur). Pada akhirnya, cara
hidup seperti ini lebih menghancurkan karena membawa kepada sikap acuh tak acuh
terhadap iman dan pertanyaan mengenai Allah.”
Paus juga
menambahkan “Dengan mengaburkan acuan
kepada Allah, cakrawala etika juga dikaburkan [dan] memberikan ruang bagi
relativisme dan konsep kebebasan yang ambigu yang bukannya malah membebaskan
tetapi justru mengikat manusia kepada berhala.”
Contoh sederhana
dari Ateisme Praktis adalah ketika mengakui bahwa Tuhan itu ada dan melihat
segala yang kita lakukan tetapi kita malah berbohong untuk kepentingan kita dan
kemudian mengabaikan kebenaran bahwa Allah itu ada dan melihat kebohongan kita
itu. Pada saat kita secara sukarela dan sadar melakukan dosa bohong itu, kita
telah mengabaikan Allah yang jelas menolak dosa bohong itu.
Contoh lain yang
lebih kompleks adalah mengenai ajaran-ajaran moral Gereja yang berasal dari wahyu
Ilahi. Tidak sedikit kita lihat bahwa ada banyak wanita melakukan aborsi demi
kebebasan entah itu kebebasan dari malu (misalnya bila anak yang ia kandung
adalah akibat dari hubungan di luar nikah) maupun kebebasan dari beban
mengurusi anak. Dalam hal Alat Kontrasepsi Buatan, banyak orang Katolik,
meskipun tahu bahwa penggunaan Alat Kontrasepsi Buatan adalah dosa, tetap
menggunakan alat tersebut demi menghindari “kesusahan” dari mengurus anak yang
lebih banyak.
Kita bisa
melihat lebih jelas bahwa demi keuntungan pribadi, banyak dari kita menyangkal
keberadaan Allah dan ajaran-Nya secara praktis dalam perbuatan-perbuatan kita. Malah
tidak jarang lagi, banyak dari kita sudah kehilangan “perasaan berdosa” dan
dengan enteng kemudian melakukan dosa yang sama berkali-kali. Ketika seorang
teman menegur kita karena dosa kita itu, kita kemudian malah balik berkata dan
menyerang, “Kamu itu jangan menghakimi saya. Suka-suka saya dong untuk
melakukan ini.” Ya, ketika kita juga mulai membela diri kita sekalipun kita
berdosa dengan kata-kata seperti “Suka-suka saya”, “Terserah saya dong”, “Masa
bodoh dengan itu” dan sebagainya, kita semakin menarik diri kita menjauh dari
Allah dan semakin jelas kita akan menjadi Ateis Praktis. Kita mengakui dan
mengimani Tuhan di mulut dan pikiran kita, tetapi di saat yang bersamaan kita
juga terikat kuat kepada dosa dan berhala. Perlu diulang kembali pernyataan
Paus Pius XII yang masih relevan sampai sekarang: “The greatest sin of our modern generation is that it has lost all
sense of sin.” – “Dosa terbesar generasi modern kita adalah generasi modern
kita telah kehilangan semua rasa berdosa.”
Lalu apa efek
dari “Seorang Katolik Menjadi Ateis Praktis” ini? Yang pasti adalah kebenaran
Allah dan Gereja menjadi tersamarkan dan terkaburkan. Orang Katolik yang
harusnya menjadi injil yang hidup dan menghidupi injil, justru menjadi batu
sandungan bagi mereka yang berada di luar Kristus dan Gereja. Kita tidak bisa
mengatur cara berpikir dan menilai orang lain. Banyak dari mereka yang berada
di luar Kristus dan Gereja menilai apa yang tampak dari mata mereka. Tidak
jarang nama Kristus dan Gereja akhirnya yang harus menanggung penghinaan atau
pandangan negatif karena kita yang menjadi Ateis Praktis ini.
Apa yang kita
lakukan untuk berbalik dari Ateis Praktis ini? Paduan pesan St. Yohanes
Krisostomos dan St. Yosef Leonessa ini bisa
menjadi pesan yang bagus buat kita.
“Tetapi dapatkah tulisan yang satu ditulis di atas tulisan yang lain? Jika tulisan yang duluan tidak dihapus, maka tulisan yang baru tidak dapat ditulis di atasnya. Di dalam hatimu ada tertulis kelobaan, kesombongan, pemborosan dan cacat-cacat lainnya. Bagaimana kita dapat menulis kerendahan hati, kesusilaan dan keutamaan-keutamaan lainnya, jika cacat-cacat yang terdahulu tidak dihapus?” – St. Yosef Leonessa.
“Oleh karena itu, saudara-saudara, hendaklah kita pun mengambil obat yang mengerjakan keselamatan kita, yakni melakukan pertobatan, yang melenyapkan dosa-dosa kita. Akan tetapi pertobatan itu bukan yang dinyatakan dengan melenyapkan noda-noda kejahatan dari dalam hati. Sebab sang nabi berkata: “Basuhlah, bersihkanlah dirimu, jauhkanlah perbuatan-perbuatanmu yang jahat dari depan mata-Ku.” (Yes 1:1-16). Mengapa kelimpahan kata-kata ini? tidak cukupkah mengatakan saja: “Jauhkanlah perbuatan-perbuatanmu yang jahat dari hatimu” untuk menerangkan selurh maksud? Mengapa masih ditambahkan: “Dari depan mata-Ku?” Sebab lainlah cara mata manusia memandang, lain pula Tuhan memandang, yakni: “manusia memandang muka, sedangkan Tuhan memandang ke dalam hati.” Ia berkata: “Janganlah menjalankan pertobatan secara lahiriah saja, tetapi tunjukkanlah hasil pertobatan itu di depan mata-Ku, yang melihat apa yang tersembunyi.” – St. Yohanes Krisostomos.
“Tetapi dapatkah tulisan yang satu ditulis di atas tulisan yang lain? Jika tulisan yang duluan tidak dihapus, maka tulisan yang baru tidak dapat ditulis di atasnya. Di dalam hatimu ada tertulis kelobaan, kesombongan, pemborosan dan cacat-cacat lainnya. Bagaimana kita dapat menulis kerendahan hati, kesusilaan dan keutamaan-keutamaan lainnya, jika cacat-cacat yang terdahulu tidak dihapus?” – St. Yosef Leonessa.
“Oleh karena itu, saudara-saudara, hendaklah kita pun mengambil obat yang mengerjakan keselamatan kita, yakni melakukan pertobatan, yang melenyapkan dosa-dosa kita. Akan tetapi pertobatan itu bukan yang dinyatakan dengan melenyapkan noda-noda kejahatan dari dalam hati. Sebab sang nabi berkata: “Basuhlah, bersihkanlah dirimu, jauhkanlah perbuatan-perbuatanmu yang jahat dari depan mata-Ku.” (Yes 1:1-16). Mengapa kelimpahan kata-kata ini? tidak cukupkah mengatakan saja: “Jauhkanlah perbuatan-perbuatanmu yang jahat dari hatimu” untuk menerangkan selurh maksud? Mengapa masih ditambahkan: “Dari depan mata-Ku?” Sebab lainlah cara mata manusia memandang, lain pula Tuhan memandang, yakni: “manusia memandang muka, sedangkan Tuhan memandang ke dalam hati.” Ia berkata: “Janganlah menjalankan pertobatan secara lahiriah saja, tetapi tunjukkanlah hasil pertobatan itu di depan mata-Ku, yang melihat apa yang tersembunyi.” – St. Yohanes Krisostomos.
Tidak lupa juga, di Tahun Iman ini, mari kita kenali ajaran
Allah melalui Gereja-Nya, Gereja Katolik. Kekatolikan sekarang dipandang semata-mata
sebagai sistem kepercayaan dan sistem nilai tetapi tidak dipandang sebagai ajaran-ajaran
yang berasal dari wahyu Ilahi. Mari kita ubah cara pandang kita mengenai
Kekatolikan dan mulailah mengetahui, menghidupi dan mewartakan ajaran iman kita
yang berasal dari Kristus Sang Jalan, Kebenaran dan Hidup.
Pax et Bonum
follow Indonesian Papist's Twitter