Sebuah Injil yang Sulit dan
Kontroversial
Hari minggu ini kita mendapati sebuah Injil yang sulit dan
kontroversial. Yesus menyatakan keutuhan seumur hidup perkawinan. Dia
menyatakan itu dengan bahasa yang mungkin membuat kita tersentak, “Barangsiapa menceraikan isterinya lalu
kawin dengan perempuan lain, ia hidup dalam perzinahan terhadap isterinya itu.”
Kata-kata ini mengecewakan para pendengar Kristus dan kata-kata itu juga
mengecewakan orang-orang sekarang.
Sebelum berbicara mengenai pengajaran Yesus tentang
pernikahan, saya akan melakukan kilas balik dan mempertimbangkan konteksnya.
Pengajaran dramatis ini mengalir dari apa yang Yesus telah katakan kepada kita
beberapa minggu terakhir:
Pertama, Yesus memberitahukan penderitaan, kematian dan
kebangkitannya, lalu Ia memberitahu kita bahwa setiap
orang harus memikul salibnya sendiri dan mengikuti-Nya. Petrus mencoba
untuk menghalangi Yesus dan Yesus berkata “Enyahlah
kau Iblis.” Para Rasul lain juga salah memahami Kristus. Mereka mulai
berdebat mengenai siapa yang terbesar di antara mereka. Yesus lalu menempatkan
seorang anak kecil di depan mereka dan memberitahu mereka bahwa mereka harus
menjadi seperti anak kecil.
Tidak ada anak kecil yang mengklaim kemandiriannya. Anak
kecil selalu menjadi milik seseorang, normalnya orang tuanya atau seseorang
yang mewakili orang tuanya. Karena alasan itu kita memiliki sebuah perintah
yang berkata, “Hormatilah Ibu-Bapamu!”.
Bagi seorang manusia muda, pribadi yang terpenting hendaknya adalah ayah dan
ibunya.
Pernikahan, bagaimanapun juga, mengubah hal tersebut. Yesus
mengutip kitab Kejadian: “Sebab pada awal
dunia, Allah menjadikan mereka laki-laki dan perempuan, sebab itu laki-laki
akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya
itu menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu.”
(Mrk 10:6-8)
Ketika seorang menikah, istrinya mendapatkan tempat pertama.
Tidak semua orang memahami ini. Saya mengenal seorang pria yang istrinya
mempersiapkan sebuah jamuan makan spesial baginya. “Rasanya Ok”, dia berkata, “tetapi
ibu saya bisa membuat yang lebih baik.” Pria itu belum meninggalkan ibunya.
Sekarang, kita memang harus tetap menghormati ibu dan ayah. Tetapi, ketika
seorang pria menikah, ia tidak lagi menjadi milik orang tuanya. Ia menjadi
milik istrinya. Dan istrinya menjadi milik dia. Keduanya menjadi satu daging. *
Keduanya menjadi satu daging karena Allah menciptakan kita
laki-laki dan perempuan. Seperti yang Beato Yohanes Paulus II jelaskan, tubuh
kita memiliki sebuah bahasa. Bentuk tubuh kita sebagai pria dan wanita
berbicara mengenai pemberian diri dan penerimaan. Menjadi satu daging begitu
nyata bahwa hal itu dapat menghasilkan penciptaan seorang pribadi manusia yang
baru.
Dalam pernikahan, pria dan wanita sepenuhnya menjadi milik
pasangannya masing-masing. Menghidupi realitas ini adalah sulit. Saya pernah
memberitahu anda mengenai seorang wanita yang berkata, “Bapa, saya ingin menjadi seorang istri yang rendah hati, tetapi hal
ini sulit karena suami saya selalu salah dan saya selalu benar.”
“Saya tahu,” kata saya, “tetapi
tetaplah mencoba menjadi seorang istri yang rendah hati.”
Dan tidaklah mudah bagi seorang suami untuk mempraktekkan
kerendahan hati Kristus. Kristus memberikan diri-Nya sendiri sepenuhnya kepada
mempelai-Nya, Gereja. Kristus melakukan hal itu sampai titik darah
terakhir-Nya. Demikian juga seorang suami harus memberikan hidupnya untuk
melindungi, membela dan menjaga istrinya dan keluarganya.
Banyak orang berkata sekarang ini bahwa pernikahan telah
berakhir. Orang-orang muda lebih memilih untuk tinggal bersama saja dan ketika
mereka menikah, pernikahan tersebut terlihat sangat rapuh. Dan, seiring dengan
hal itu, sejumlah orang yang semakin banyak menginginkan untuk mendefinisikan
ulang pernikahan sehingga pernikahan tidak lagi mensyaratkan pria dan wanita,
tetapi setiap dua orang dewasa (entah berbeda jenis atau sejenis) yang memiliki
ketertarikan bersama dan kuat.
Haruskah kita hanya mengibarkan bendera putih, mengakui
kekalahan dan memfokuskan energi kita di tempat lain?? Hal ini sulit, tetapi
kita perlu melihat pada teladan Yesus. Pernikahan sungguh berada dalam bentuk
yang buruk pada masa Yesus. Seperti yang kita dengar, Musa mengizinkan seorang
pria untuk menceraikan istrinya. Dan di Kekaisaran Romawi, pernikahan berada
dalam kemunduran. Kaisar Agustus mencoba untuk memperkuat pernikahan
tradisional, tetapi hanya memberikan efek kecil.
Tetapi Yesus tidak menyerah pada keputusasaan. Ia melihat
melampaui masalah mendesak tersebut dan kembali ke masa permulaan. Pemilihan
Umum adalah penting tetapi kita tidak akan memenangkan pertempuran ini pada polling booth. Peperangan
Rohani – seperti yang kita lihat minggu lalu – sedang berlangsung di dalam
hati manusia. Secara khusus di dalam hati orang-orang muda kita – dan jika saya
dapat berbicara blak-blakan – di dalam hati para pemuda kita.
Mengapa para pemuda menghabiskan begitu banyak waktu bermain
video game? Yang pasti, video game itu menghibur, tetapi video game juga dapat menarik
ke pada sesuatu yang lain (selama tidak berlebihan), yaitu insting pemuda untuk
berangkat ke medan pertempuran, bertarung dan melindungi. Allah menempatkan
insting itu di dalam seorang pemuda untuk melindungi dan menjaga istri dan
anak-anaknya.
Yesus berkata, “Allah
menjadikan mereka laki-laki dan perempuan, sebab itu laki-laki akan
meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya
itu menjadi satu daging.” Ini adalah sebuah pengajaran yang sulit dan
menantang. Hal ini memerlukan keberanian dan kerendahan hati, tetapi memberi nilai
kepada pengorbanan apapun. Taruhannya tidak bisa lebih tinggi lagi: seperti
yang Yesus katakan, Kerajaan Allah. Amin.
*. Hal
ini pernah pula dijelaskan oleh Pater Frank Mihalic, SVD. “Seandainya kamu menikah, kemudian kamu dan istrimu serta ibu kamu
sedang naik perahu. Perahu terbalik sedangkan baik ibu maupun istri kamu tidak
bisa berenang. Kamu hanya bisa menyelamatkan satu orang saja. Menurut teologi
moral (Katolik) siapa yang harus kamu selamatkan? Istri kamu. Sebab hidupnya tergantung pada kamu; kamu menikahinya.
Dia menjadi bagian dari hidup kamu. Setelah kamu menikah maka semua kewajiban
kamu berpindah dari ibu kepada istri.”
Pater Phil Bloom adalah Pastor Paroki St. Mary of the
Valley, Monroe
Homili di atas diterjemahkan dari situs resmi
paroki tersebut.
Pax et Bonum
follow Indonesian
Papist's Twitter