Horn sedang berlutut di hadapan Salib Yesus Kristus. "One man found salvation in a place he never thought he would." Photo by Stephanie Pellicano |
Bayangkan
keterkejutan masyarakat bila Hillary Clinton bergabung dengan National Rifle
Association, bila anggota Gereja Baptis Westboro ditemukan sedang bermain di
sebuah bar gay atau bila Quentin Tarantino mengumumkan rencana untuk membuat film
dokumenter Justin Bieber.
Sahabatnya Josh
Horn terpukul dengan gelombang kejut dari magnitudo tersebut ketika kemudian Josh
Horn, seorang ateis yang bersemangat, mengumumkan pengunduran dirinya sebagai
Presiden Secular Free Thought Society
(Serikat Pemikiran Bebas Sekuler), sebuah klub ASU (Arizona State University) yang
terkenal akan skeptisisme terhadap agama. Horn telah melakukan hal tabu yang
utama dan menandai pengucilan dirinya sendiri dari klub tersebut dengan satu
tindakan: dia memutuskan untuk menjadi
seorang Katolik.
Menabur Benih Pengabdian dan
Pemberontakan
Joshua Horn |
Ini bukan
pertama kalinya Horn secara radikal mengubah pandangannya. Horn, seorang junior
sejarah, dibesarkan di Tempe oleh orang tua Southern Baptist (sebuah denominasi
Protestan di AS) dengan begitu tegas sehingga sebagai seorang anak ia harus
menjalankan percakapan “multi-jam” dengan orang tuanya memohon izin untuk dapat
menonton Pokemon (Pokemon dilarang “karena
mereka berevolusi”, kata Horn). Sejak umur 3 sampai 13 tahun, Horn
menghadiri sekolah swasta Kristen yang Horn gambarkan sebagai fundamentalis, dan
mengikuti ibadah gereja hingga tiga kali seminggu. Dia adalah anak teladan yang
mengesankan guru-gurunya dan pendetanya dengan kecerdasan preternaturalnya,
kemampuan logikanya dan pengabdian agamanya yang kuat.
Semangat Horn
mulai redup ketika ia mulai masuk sekolah menengah negeri. Untuk pertama
kalinya, dia tidak hanya terpaparkan/terekspos dengan orang-orang non-Baptis,
tetapi juga spektrum yang luas dari dunia yang sekuler. Keingintahuannya dan
rasa hausnya akan pengetahuan terusik dan dia mulai membaca-baca teks-teks
akademik – agama, filosofi, matematika, sains – seperti seorang yang kelaparan
berdiri di depan prasmanan.
“Orang tua saya berpikir saya akan dicuci otak oleh
sekolah saya,” kata
Horn. “Semua yang mereka beritahukan
kepada saya supaya jangan dilihat, saya putuskan untuk saya lihat sendiri ...
Saya mulai memeriksa bukti dan menemukan bahwa tidak ada konspirasi besar
(terhadap denominasi Baptis) terjadi.”
Dalam sebulan ia
menjadi seorang deis (percaya Tuhan saja, tapi tidak mau beragama) dan tak lama
kemudian beralih menjadi seorang ateis.
“Saya memiliki banyak kemarahan dan saya seperti
mengambil pola pikir korban,” kata Horn. “Pada umumnya, Saya cukup antagonis terhadap agama ... saya memberikan
diri saya sendiri sebuah misi pribadi untuk membuktikan kepada semua orang
bahwa setiap agama itu salah.”
Sebuah Pertobatan Yang Kontroversial
Horn mulai
berkuliah di ASU (Arizona State
University) dan dengan cepat melangkah ke posisi tertinggi dalam Secular
Free Thought Society, didorong oleh semangat barunya untuk menyingkap kebenaran
dan akal terhadap agama dan spiritualitas yang dimanipulasi. Dia bersiap dengan
argumen dan kontra-argumen yang ia dapatkan dari bacaan yang luas; siap untuk
secara lisan berdebat dengan siapapun yang cukup bodoh untuk masuk dalam garis
api logikanya.
“Dia sungguh terbiasa hidup untuk berdebat dan
mengubah pola pikir orang-orang,” kata Ryan Jungbluth, sahabat dekat Horn
dan sesama orang yang berpindah ke Katolik. “Dia
memiliki ambang yang rendah untuk kebodohan tetapi jarang sekali tidak kenal
belas kasihan. Banyak orang yang logis dan retoris berbakat dengan cara yang
sama.”
Memang,
kecerdasan Horn “dapat hampir membahayakan,” kata Fahad Alam,
yang menjadi sahabat Horn sejak sekolah menengah dan telah melihat Horn melalui
transformasi ideologinya. Alam dibesarkan sebagai seorang Muslim tetapi juga
telah berpindah menjadi seorang Katolik. (Pengaruh Horn memainkan peran yang
tidak kecil dalam perjalanan Jungbluth dan Alam, dan para pria ini telah
membentuk sebuah grup yang kuat untuk mendukung satu sama lain.)
Tiga bulan
memasuki kepresidenannya, pada Maret 2012, Horn – seorang ateis yang gencar dan
diakui – merasakan sebuah pengalaman religius ketika sedang membaca Litani Hati
Kudus, sebuah doa Katolik.
“Cara terbaik yang saya bisa jelaskan adalah itu bukanlah
sesuatu yang hanya mengamati atau mengalami suatu hal. Hal itu adalah mengalami
beberapa sesuatu yang khusus dalam cara yang sepenuhnya baru dalam
mengalaminya.”,
kata Horn. “Dan adalah fakta bahwa hal
baru itu aneh, lebih dari sekadar interaksi dengan hal yang baru ... Kata-kata
satu-satunya yang bisa saya gunakan untuk hal itu adalah sebuah “mystical sense”. Saya belum pernah mengalaminya. Saya belum
pernah merasakan sesuatu dengan cara itu sebelumnya dan saya akan menegaskan bahwa apa yang saya rasakan secara mistis adalah Yesus Kristus.”
Horn, biasanya
demikian mengartikulasikannya, berada dalam keadaan kehilangan kata-kata untuk
menggambarkan pengalamannya.
“Dan ya, itu aneh, tapi itu lebih kepada bahwa ini
adalah hal mistis yang aneh, bahkan lebih dari apa yang dulu saya rasakan.” Kata Horn. “Ini adalah cara yang sepenuhnya baru dalam
mengalami realitas, karena tidak ada analogi dalam hal apapun yang saya pernah alami,
dan karena hal ini sulit untuk dijelaskan.”
Bertentangan
dengan kebanyakan kisah-kisah perjumpaan ilahi dan peristiwa mistis, peristiwa
satu ini tidak memiliki sebuah puncak emosional secara terang-terangan – tidak ada
tangan diangkat ke atas dalam kegembiraan, tidak ada memuji Allah dengan paduan
suara injili, tidak ada cahaya emas yang muncul dari awan. Sebaliknya, secara
rasional benar-benar Horn merasa jengkel.
“Saya sesungguhnya merasa kesal bahwa hal itu
terjadi dan merasa takut – setidaknya merasa tidak nyaman,” kata Horn. “Saya tidak menginginkannya, saya tidak
berpikir hal itu mungkin terjadi. Hal itu hanya terjadi dan engkau keluar
menyadari bahwa hal ini menuntut engkau untuk mengubah hidup dan seluruh hal
yang engkau pikirkan dengan segera.”
Horn kemudian
mengundurkan diri dari kepresidenannya pada hari berikutnya.
Reaksi dan Kebingungan: “Apa sih hal yang
baru saja terjadi?”
“Saya pikir itu adalah sebuah candaan April Mop,” kata Jungbluth,
seorang senior yang sedang belajar Jerman.
Beberapa teman
dan kenalannya di Secular Free Thought Society mengambil posisi yang berbeda.
“Ada anggapan-anggapan bahwa saya sakit secara
mental,”
kata Horn. “Saya mengharapkan itu. Saya
sedang menggambarkan pengalaman pribadi yang intens ... dan grup tersebut sepenuhnya
berdasarkan pada penolakan terhadap hal-hal ( yang dialami oleh Horn) ini. Saya
hanya memutuskan untuk melanjutkan hidup saya.”
Averroes
Paracha, mantan presiden Secular Free Thought Society lainnya dan teman dekat
Horn selama hari-hari ateis Horn, mengenang keterkejutan kolektif grupnya
ketika mereka mendengar berita ini.
“Ada banyak pertanyaan dan keraguan,” kata Paracha. “Hal ini terasa seperti, “What the hell just
happened?” Cara termudah bagi kebanyakan orang untuk mengatasi keraguan
adalah dengan memarahi pribadi Horn. Horn mengalami penganiayaan yang sama,
meskipun lebih ringan, sama seperti hal yang kaum ateis rasakan ketika mereka
meninggalkan iman mereka.
Juga ada
implikasi terhadap klub. “Hal ini menjadi
sebuah skandal dalam sense tertentu”, kata Paracha. “Sebagian besar sikap kami telah menjadi anti agama, nyaris melecehkan
orang-orang beragama. Klub ini terkenal akan hal itu.” Pertobatan Horn ke
Katolik menjadi semacam validasi bagi grup-grup Kristen lainnya di kampus.
Pada Akhirnya Damai
Horn sekarang aktif di Newman Center. Photo by Stephanie Pellicano |
Dua setengah
tahun kemudian, debu kosmik telah teratasi dan Horn telah sepenuhnya
menenggalamkan dirinya dalam Katolisisme. Dia belum kehilangan semangatnya. Dia
hanya menyalurkannya ke tempat yang baru dalam cara yang baru, seperti melakukan
karya sukarela intensif di ASU’s All
Saints Newman Center, sebuah surga bagi orang Katolik di kampus utama dan
di masyarakat sekitarnya. Dia membantu
mengajar kelas, melayani sebagai seorang mentor/sounding-board bagi orang-orang
yang baru berpindah menjadi Katolik atau potensial menjadi Katolik, membaca
tulisan-tulisan Para Bapa Gereja (St. Thomas Aquinas adalah favoritnya – Horn mempelajari
karya St. Thomas Aquinas setiap hari), dan melanjutkan untuk mengekplorasi
dirinya sendiri dan agama yang telah mengubah hidupnya.
“Apapun pandangan saya, saya bergairah dengan itu
dan implikasinya, terutama karena saya bukan seorang relativis.” Kata Horn. “Saya tidak pernah menjadi seorang
relativis.” (Ket: Relativisme adalah paham/pandangan bahwa tidak ada
sesuatu yang mutlak benar atau definitif atau absolut di dunia ini.)
Horn berkata dia
paling bahagia yang pernah dia rasakan dan telah melepaskan kemarahan berkarat
yang dia rasakan selama masa kanak-kanak Southern Baptis dan masa dewasa muda
ateis. Dia tetap bukan seorang Pollyanna
– yaitu seorang yang kering akan rasa humor, tidak sabar terhadap
irasionalitas, dan intelektualisme datar yang utuh dan tampaknya akan selalu
utuh. Ryan Ponce, seorang teman dekat Horn yang juga terlibat dalam Newman
Center berkata, “Setiap semester dia (Horn)
mendapatkan lebih banyak dan lebih efektif, memahami bahwa orang-orang berpikir
secara berbeda dan bahwa dunia tidak segelap yang dia pikirkan.”
Pada akhirnya,
Horn berharap perjalanannya dapat digunakan dalam pelayanan iman Katolik-nya
dan digunakan untuk menolong orang-orang lain yang sedang mencari kebenaran dan
arti hidup mereka.
“Aristoteles berkata bahwa tujuan dari seruling yang
bagus adalah untuk dimainkan dengan baik,” kata Horn. “Saya pikir tujuan dari sebuah kisah yang bagus adalah untuk
diceritakan.”
Horn can be
reached at joshua.horn@asu.edu
Artikel ini
diterjemahkan oleh Indonesian Papist
dari situs State
Press, sebuah majalah kampus Arizona State University.
Pax et Bonum
follow Indonesian Papist's Twitter