Respon Terhadap Artikel Media non-Katolik Mengenai Isu Pajak Gereja di Jerman
Seorang rekan mengirimkan link
kepada saya dari situs berita Kompas
yang berjudul “Ancaman
Kematian Terkait ‘Pajak Gereja’” (silahkan klik). Sayangnya, artikel ini
tidak mencerminkan apa yang sebenarnya yang terjadi di Jerman dan apa maksud
dari Konferensi Para Uskup Jerman mengeluarkan dekrit mengenai hal ini.
Sama seperti berita-berita di media
liberal barat, berita-berita dari media-media Indonesia mengenai Pajak Gereja di
Jerman seringkali dimis-karakterisasi atau digambarkan secara salah. Artikel
dari media Kompas di atas contohnya. Dari judulnya “Ancaman Kematian Terkait ‘Pajak Gereja’” dan juga isi beritanya,
Gereja Katolik Jerman digambarkan sedang mengancam umat Katolik supaya membayar
Pajak Gereja. Sementara media lain seperti The
International Business Time membuat berita dengan judul “Para
Uskup Jerman kepada umat Katolik: Bayar Pajak atau Meninggal tanpa Absolusi”.
(silahkan klik)
Harus kita akui, pemberitaan seperti
ini adalah pemberitaan yang tidak jujur dan menggiring opini publik ke arah
pandangan bahwa Gereja Katolik Jerman itu serakah dan materialistis tanpa
menghadirkan konteks mengapa Konferensi Para Uskup Jerman mengeluarkan dekrit
tersebut.
Oleh karena itu, Indonesian Papist
akan membuat tulisan untuk merespon pemberitaan-pemberitaan negatif seperti
ini.
Apa itu Pajak Gereja?
Secara umum, Pajak Gereja adalah
pajak yang dibebankan kepada anggota dari suatu gereja atau komunitas religius.
Pajak Gereja ini dapat kita temukan di Austria, Denmark, Finlandia, Jerman,
Islandia, Italia, Swedia dan beberapa negara lainnya.
Di Jerman, dasar hukum penerapan Pajak
Gereja adalah Konstitusi Weimar tahun 1919 artikel 137 dan Hukum Dasar Jerman tahun
1949 artikel 140. Isi Artikel 140 dari Hukum Dasar Jerman: “The provisions of Articles 136, 137, 138,
139 and 141 of the German Constitution of August 11, 1919, are an integral part
of this Basic Law.”
Dan beberapa isi artikel 137 dari Konstitusi Weimar adalah
bahwa:
1. Tidak ada gereja negara.
2. Asosiasi-asosiasi religius adalah korporasi publik dan
memiliki hak untuk membebankan pajak kepada anggotanya.
Desakan perlunya Pajak Gereja muncul pada pertengahan abad
ke-19. Sebelum masa itu, terdapat konsep “Eigenkirchen” di mana gereja-gereja
dikuasai oleh penguasa setempat / tuan tanah tempat gereja-gereja tersebut berada.
Hal ini berarti perawatan dan pendanaan gereja-gereja menjadi tanggungjawab
tuan tanah sementara tuan tanah tentu dapat memiliki privilese atau
keuntungan-keuntungan tertentu dari kepemilikannya terhadap gereja-gereja
tersebut. Pada era Reformasi Protestan, pangeran-pangeran lokal di Jerman
secara resmi menjadi kepala-kepala gereja di area-area Protestan. Hal ini
membuat gereja-gereja secara finansial tergantung kepada pemerintah / penguasa
setempat dan seringkali penguasa setempat ini, berdasarkan otoritas yang
dimilikinya, turut campur dalam urusan gerejawi. Tentu prinsip-prinsip seperti
ini membuat gereja-gereja tidak bebas, melainkan terikat pada penguasa
setempat. Sejak pertengahan abad ke-19, gereja-gereja menjadi independen dari
negara secara finansial untuk menghindari intervensi negara. Pengelolaan, perawatan
dan pendanaan gereja menjadi tanggungjawab gereja-gereja tersebut dan
umat-umatnya. Pajak Gereja pada tahun 1803 diperkenalkan sebagai salah satu
bentuk tanggungjawab umat-umat gereja untuk mendukung pengelolaan dan perawatan
gereja-gereja sekaligus menjadi bentuk kompensasi terhadap usaha negara pada
masa itu untuk menasionalisasikan properti-properti komunitas beragama.
Para pembayar pajak - baik umat Katolik, Protestan
Evangelikal atau anggota komunitas religius lainnya (termasuk Yahudi) –
membayar pajak 8% (Di Bavaria dan Baden-Württemberg) dan 9% (di area Jerman
lainnya) dari Pajak Penghasilan mereka kepada gereja atau komunitas religius
tempat mereka menjadi anggota. Bila anda memiliki penghasilan 10.000 Euro dan persen
Pajak Penghasilan anda 10%, maka Pajak Penghasilan
yang harus anda bayar adalah 1.000 Euro. Persen Pajak Gereja sebesar 8% akan
dikalikan dengan besarnya pajak penghasilan sehingga didapati Pajak Gereja sebesar 80 Euro. Pajak
Gereja ini kemudian ditambahkan kepada pajak penghasilan, sehingga total pajak
yang dibayar sebesar 1080 Euro (Ket: Penghitungan ini mengasumsikan pajak-pajak
lain diabaikan). Bila anda seorang yang sangat miskin (menurut standar negara Jerman), maka anda akan dibebaskan dari Pajak Penghasilan dan bila Pajak Penghasilan anda 0 Euro, maka anda tidak akan dibebankan Pajak Gereja. Anda tetap Katolik dan bisa tetap mendapatkan pelayanan sakramen Gereja Katolik tanpa harus membayar Pajak Gereja. Pajak Gereja ini akan
dikumpulkan oleh negara bersama dengan pajak-pajak lain dan kemudian diserahkan
kembali ke komunitas religius yang terkait.
Seperti konsep pajak pada umumnya, pajak ini akan dikembalikan
dalam bentuk pengadaan dan perawatan sarana dan prasarana gereja, pengadaan dan
pengelolaan sekolah dan universitas dan aktivitas dan pelayanan gereja lainnya.
Penyangkalan terhadap Iman Katolik
Pajak Gereja ini sudah berlaku sejak lama dan banyak orang
Kristen (baik Katolik maupun Protestan) memandang bahwa Pajak Gereja adalah
bagian integral dari identitas religius mereka. Mereka memandang Pajak Gereja
sebagai bentuk partisipasi mereka dalam mendukung eksistensi dan pelayanan komunitas
religius mereka. Namun, di tengah krisis ekonomi yang melanda Eropa, banyak
orang di Jerman termasuk orang Katolik berusaha untuk menghindari pajak yang
dibebankan kepadanya, termasuk Pajak Gereja.
Para Wajib Pajak yang ingin berhenti membayar Pajak Gereja harus
mendeklarasikan dalam tulisan atau surat di pengadilan setempat atau kantor
pendaftaran bahwa mereka telah meninggalkan gereja atau komunitas religius
mereka. Dengan kata lain, seorang Katolik yang ingin berhenti membayar Pajak
Gereja harus menyangkal iman Katolik-nya di hadapan negara. Deklarasi para Wajib Pajak - yang menyatakan bahwa mereka bukan lagi Katolik - diteruskan oleh negara kepada paroki tempat mereka terdaftar dan dicatat di dalam surat baptis mereka masing-masing. Berdasarkan dekrit
Konferensi Para Uskup Jerman yang dikeluarkan 20 September 2012, pastor paroki
kemudian akan mengunjungi orang Katolik yang menyangkal iman Katolik-nya ini
dan menjelaskan kepadanya konsekuensi dari tindakannya tersebut dan
menyarankannya untuk mempertimbangkan keputusannya.
“Setiap orang
yang mengakui Aku di depan manusia, Aku juga akan mengakuinya di depan Bapa-Ku
yang di sorga. Tetapi barangsiapa menyangkal Aku di depan manusia, Aku juga
akan menyangkalnya di depan Bapa-Ku yang di sorga.” (Mat 10:32-33)
Injil sangat
jelas menunjukkan bahwa seorang Kristen harus mengakui imannya di hadapan
manusia. Oleh karena itu, tindakan menyangkal Iman Katolik di hadapan negara
adalah sebuah dosa berat.
Narasi Media non-Katolik vs Narasi Media
Katolik
Setelah googling
tentang berita Dekrit Konferensi Para Uskup Jerman ini, saya menemukan bahwa hampir
semua media non-Katolik menggiring dekrit ini ke arah narasi “membayar untuk berdoa” atau “membayar untuk mendapatkan pelayanan Gereja”
ataupun “membayar untuk mendapatkan
Sakramen”. Ini adalah sebuah narasi yang tidak jujur, yang menggiring opini
publik ke arah yang salah seolah-olah Gereja Katolik Jerman memperjualbelikan
sakramen-sakramen dan pelayanan gerejawi lainnya. Setiap tahun, ada sekitar
150rb-180rb umat Katolik menyatakan kepada negara bahwa mereka tidak lagi
seorang Katolik (hal yang sama terjadi pula kepada Protestan walau dalam jumlah
yang berbeda). Sedangkan ada 25 juta umat Katolik di Jerman yang tetap Katolik
sekalipun harus membayar Pajak Gereja. Bila dibandingkan, maka ada sekitar 0,6%
umat Katolik meninggalkan Gereja Katolik terkait masalah Pajak Gereja dan
secara presentasi ini adalah jumlah yang kecil. Tetapi, narasi-narasi negatif
dari media akan membuat isu ini semakin memburuk. Narasi seperti ini membuat orang-orang
Katolik menjadi marah dan meninggalkan Gereja. Di samping itu, narasi seperti
ini akan semakin membuat yakin banyak orang yang peragu menjadi mantap
meninggalkan Gereja Katolik. Tingkat kepercayaan umat Katolik terhadap Gereja
tentu juga akan menurun.
Sedangkan media Katolik (Catholic News
Service) menjelaskan bahwa para uskup Katolik di Jerman menanggapi isu Pajak
Gereja ini tidak dalam frame uang tetapi kepada identitas Katolik. “Pasti ada
konsekuensi bagi orang-orang yang menjauhkan diri mereka dari Gereja dengan
sebuah tindakan publik” kata Uskup Agung Robert Zollitsch dari Freiburg,
Presiden Konferensi Para Uskup Jerman. Tambahnya, “Jelas bahwa seseorang yang mengundurkan diri dari Gereja tidak dapat
lagi mengambil keuntungan dari sistem [Gereja] seperti seseorang yang tetap
menjadi anggota [Gereja].”
Terlihat bahwa Para Uskup Jerman dihadapkan pada
permasalahan yang nyata yaitu bagaimana menanggapi penyangkalan iman Katolik
karena isu Pajak Gereja. Para Uskup Jerman menghadapi orang-orang yang
menyangkal imannya di hadapan negara sehingga mereka terhindar dari pajak. Bila
dipahami dalam konteks ini, kita tentu bisa melihat bahwa tindakan Para Uskup
Jerman mengeluarkan dekrit ini (dan dekrit ini, syukur kepada Allah, disetujui
Paus Benediktus XVI) memiliki dasar yang jelas. Seseorang yang menyangkal iman
Katoliknya jelas tidak bisa mendapatkan pelayanan sakramen dan pelayanan
gerejawi lainnya sebagaimana dulu bisa mereka dapatkan saat masih mengakui iman
Katolik-nya.
Kesimpulan
1. Penetapan dekrit 20 September 2012 oleh Konferensi Para
Uskup Jerman tidaklah bertujuan negatif seperti yang digambarkan oleh
media-media non-Katolik. Penetapan dekrit ini dapat dilihat sebagai bentuk
usaha pastoral Gereja Katolik Jerman untuk mengusahakan agar umat Katolik tidak
menyangkal imannya di hadapan negara.
2. Pemberitaan banyak media non-Katolik yang kerapkali
mengabaikan atau tidak tahu konteks akan suatu masalah Katolik telah membawa
opini publik ke arah yang salah mengenai Gereja Katolik. Hal ini patut
disayangkan karena efek yang ditimbulkan dari pemberitaan ini begitu besar dan
negatif terutama bagi Gereja Katolik sendiri. Sebagai umat Katolik, kita
hendaknya jangan langsung menelan mentah-mentah pemberitaan yang tendensius dan
kurang benar mengenai Gereja Katolik, melainkan lebih kritis untuk mencari tahu
lebih jauh mengenai isu-isu terkait Gereja Katolik.
Referensi:
1. Jimmy
Akin. Are the German Bishops Just
Greedy?. 26 September 2012. National Catholic Register
2. Stephanie Hoffer. Caesar
As God’s Banker: Using Germany’s
Church Tax As an Example of Non-Geographically Bounded Taxing Jurisdiction.
2010. Washington University Global Studies Law Review.
3. Dr.
Jens Petersen. The Church Tax in Germany – A Short Information.
6. Basic
Law for Federal Republic of Germany
Pax et Bonum
follow Indonesian Papist's Twitter