Memikul Salib
Minggu ini Yesus bertanya, “Tetapi apa katamu, siapakah Aku
ini?”
Semua dari kita telah mendengar tentang Yesus dan setiap
dari kita memiliki beberapa gagasan tentang Dia. Anda mungkin mengingat
pernyataan-Nya “Aku Ada” (“I Am”). “AKU ADAlah Roti Hidup”. “AKU ADAlah Jalan.” Dan mungkin yang paling
dramatis, “Sebelum Abraham jadi, AKU ADA”.
Pernyataan-pernyataan ini menegaskan siapa itu Yesus, yaitu
bahwa Ia sangat lebih dari sekadar seorang manusia biasa. Tetapi pertanyaan
yang Yesus tanyakan adalah personal: “Tetapi
apa katamu, siapakah Aku ini?”. Ketika anda mendekati Yesus dalam doa, di
Tabernakel atau saat Misa: Yesus bertanya, “Tetapi
apa katamu, siapakah Aku ini?”
Simon Petrus menjawab, “Engkau
adalah Kristus”.
Yesus menerima jawaban itu. Jawaban itu tidak penuh, tetapi
akurat. Yesus menerima jawaban Petrus karena hal ini mengarah kepada misi-Nya,
alasan mengapa Ia datang. Ia adalah Kristus, yaitu “yang diurapi”, atau
dalam Ibrani, “Mesias”. Ia telah
diurapi oleh Roh Kudus untuk sebuah tujuan.
Tujuan Yesus mungkin mengejutkan anda. Tujuan ini tentu
mengejutkan Petrus dan Para Rasul lain. Mereka berpikir mengenai Mesias sebagai
tokoh kemenangan, seseorang yang akan mempertahankan mereka dalam perjuangan
mereka melawan dominasi Romawi. Tetapi Yesus tidak melihat peran-Nya seperti
itu. Iya, Yesus adalah Kristus, tetapi misinya adalah ini: “... menanggung
banyak penderitaan dan ditolak oleh tua-tua, imam-imam kepala dan ahli-ahli
Taurat, lalu dibunuh ...”
Ketika Petrus mendengar ini, ia mencoba
untuk menghalangi Yesus. Tetapi Yesus memarahi Petrus dan menyebutnya, “Iblis”. Kata yang sangat keras. Bacaan
pertama bercerita tentang seorang pria yang berkata “Aku memberi
punggungku kepada orang-orang yang memukul aku, dan pipiku kepada orang-orang
yang mencabut janggutku. Aku tidak menyembunyikan mukaku ketika aku dinodai dan
diludahi.” Orang itu adalah Yesus: Ia memalingkan
wajah-Nya kepada Yerusalem meskipun hal ini berarti penderitaan yang sangat
berat.
Sengsara, penolakan dan kematian – bukanlah misi yang
menarik. Meskipun demikian, misi ini berisi sebuah harapan – untuk “bangkit setelah tiga hari.” Yesus
menawarkan misi itu dengan janjinya tidak hanya kepada Para Rasul tetapi juga
kepada anda dan saya. Pikullah salib-Mu dan ikutilah Aku.
Saya berpikir mengenai C.S. Lewis. Dia dulunya nyaman
sebagai seorang ateis. Dia tidak ingin Allah ada. Tetapi dia merasa dirinya
dikejar. Dia mencoba untuk melarikan diri dari keyakinan kepada Allah dan
Yesus, tetapi dia selalu menemukan bahwa dirinya diawasi. Akhirnya saat itu pun
tiba – skakmat. C.S. Lewis berlutut di kamarnya. Dia berkata bahwa dia adalah “pentobat yang paling menyedihkan dan enggan
di seluruh Inggris.”
Tetapi kemudian datang bagian yang sungguh berat. Lewis
mengetahui bahwa tidak ada yang namanya “Kristen
pribadi” (Private Christian). Dia mengetahui bahwa dia harus pergi ke
Gereja, sesuatu yang seorang Kristen harus jalankan. Untuk seorang professor
universitas yang sangat berbudaya dan dikelilingi oleh mereka yang tidak
percaya, hal ini tidaklah mudah. Dia harus memikul salibnya untuk mengikuti
Yesus.
Sekarang, penderitaan Lewis mungkin terlihat kecil
dibandingkan dengan penyaliban atau penderitaan yang dialami martir-martir
Kristen. Lewis akan menjadi orang pertama yang mengakui hal itu. Tetapi apa
yang Kristus minta adalah kita memikul salib kita saat ini dan mengikuti Dia.
Saya beberapa kali membaca tentang martir-martir Kristen dan
bertanya pada diri saya sendiri apakah saya bisa melakukan apa yang mereka
lakukan bagi Kristus. Sebagai contoh, Romo Ragheed Ganni,
imam berusia 35 tahun di Mosul, Irak. Ia baru saja menyelesaikan Misa ketika
sejumlah orang membawa senjata mesin menghadang ia dan tiga orang subdiakon
yang bersama dia. Orang-orang bersenjata itu meminta mereka untuk menyangkal
Kristus. Romo Ganni melihat kepada senjata mesin itu dan meragu. Mungkin ia
berpikir mengenai masa mudanya, kehidupan yang terbentang di depannya dan semua
yang ia impikan untuk dilakukan. Tetapi dia tidak dapat menolak Kristus.
Bersama dengan subdiakonnya, ia mengakukan imannya. Orang-orang bersenjata itu
lalu mengangkat senjata dan menyembur mereka dengan timah panas.
Mungkin yang lebih dramatis adalah martirium Beato Jose Luis
Sanchez del Rio. Bila anda pernah menonton film “For Greater Glory”, anda
mengingat bahwa kaum federal menyiksa seorang laki-laki dengan menguliti
telapak kakinya dan memaksa ia berjalan di batu. Penyiksaan baru berakhir, kata
kaum federal, bila laki-laki itu mau berkata, “Long live the Government”. Dengan tangisnya, Beato Jose Luis
berkata, “Viva Cristo Reyo - Long live
Christ the King.”
Darimanakah keberanian seperti itu berasal? Yang pasti, Romo
Ganni dan Beato Jose Luis menerima infusi rahmat Allah yang luar biasa. Tetapi
mereka telah bersiap-siap untuk kemartiran mereka dengan pengakuan iman yang
berulang kali, dan dengan salib yang dilibatkan dalam penghinaan kecil dan
perampasan kecil.
Adalah sama bagi anda dan saya. Kehidupan Kristen, seperti yang
Yesus perjelas, bukanlah soal bermimpi tentang perbuatan besar. Ini adalah
tentang memikul salib kita dan mengikuti Yesus hari ini. Amin.
Pater Phil Bloom adalah Pastor Paroki St. Mary of
the Valley, Monroe
Pax
et Bonum
follow
Indonesian
Papist's Twitter