Pada 20 September 2000, Paus
Yohanes Paulus II berbicara kepada 40.000 orang yang berkumpul untuk mendengar
audiensi umumnya: “Melalui Roh Kudus,
umat Kristen dibawa ke dalam hubungan pribadi dengan Allah.” Kardinal
Joseph Ratzinger (sekarang Paus Benediktus XVI), berbicara kepada sekelompok
guru agama dan katekis di Vatikan secara lebih eksplisit. Beliau berkata: “Katekese tidak hanya sebatas persoalan
meneruskan pengetahuan melainkan persoalan bagaimana membawa orang-orang kepada
hubungan dengan Yesus.”
Kristianitas lebih dari
sekadar sebuah koleksi fakta-fakta. Allah pengasih yang menciptakan kita ingin
menjalin hubungan dengan kita. Ketika ditanya apa hukum yang terutama, Yesus
berkata: “Kasihilah Tuhan, Allahmu,
dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu.”
(Mat 22:37). Pikirkanlah mengenai ini! Apakah
kamu sungguh-sungguh percaya bahwa kamu dapat mencintai siapapun begitu besar
tanpa mengetahui dan mengenal mereka?
Pada 2 Korintus 11:2, Paulus
menyebut Gereja sebagai “Mempelai Kristus”. Analogi pernikahan yang dinyatakan
Paulus ini sangatlah bagus karena mengillustrasikan bentuk hubungan yang
seharusnya eksis/ada antara Allah dengan kita. Kamu dapat membaca sebuah
biografi seseorang dan mempelajari apapun yang ada dalam buku itu untuk
mengenal orang tersebut, tetapi kamu tetap tidak memiliki relasi apapun dengan
orang itu. Begitu pula, kamu dapat membaca dan memahami Kitab Suci tetapi tidak
serta merta kamu memiliki relasi dengan Allah. Pernikahan yang sejati adalah sebuah
Perjanjian (Covenant). Sebuah
Perjanjian melibatkan pemberian diri sendiri kepada yang lain. Yesus memberikan
diri-Nya secara total kepada kita di kayu salib. Kita membalas cinta itu dengan
rendah hati menyerahkan hidup kita kepada-Nya.
Beberapa orang Katolik yang
mengakui perlunya sebuah relasi pribadi dengan Allah merasa bahwa dogma dan
doktrin Gereja sebagai penghalang bagi relasi tersebut. Mereka mengabaikan dan
meremehkan intelektualitas dan pengetahuan ajaran iman. Pada akhirnya, mereka
secara total dituntun dan dibimbing semata-mata oleh perasaan mereka saja. Jika
mereka merasa sangat yakin akan sesuatu, mereka akan mengatributkan itu kepada
dorongan Roh Kudus, mereka menganggap Roh Kudus-lah yang mendorong mereka untuk
yakin pada sesuatu tersebut. Meskipun
diakui bahwa Roh Kudus sungguh dapat mendorong dan membimbing kita secara
pribadi, tetapi dogma dan doktrin Gereja-lah yang meneguhkan bahwa suatu
dorongan dan bimbingan sungguh berasal dari Roh Kudus dan bukan berasal dari
dia (iblis) yang hendak menipu dan memanipulasi kita. Paulus dengan tepat
memperingati Titus untuk mengajarkan “apa
yang sesuai dengan ajaran yang sehat.” (Tit 2:1). Ketika kita lebih mementingkan perasaan kita daripada dogma dan doktrin
Gereja, kita akan berakhir pada (a)llah yang kita ciptakan sendiri, yaitu allah
yang tunduk pada (subject to) apa
yang kita yakini. Kita kehilangan Allah yang memberitahu kita apa yang harus
kita imani. Pada akhirnya, kita hanya akan memiliki dua pilihan: Kita
mengimani Allah atau kita menolak Allah, tetapi kita tidak akan pernah bisa
memberitahu-Nya bagaimana caranya Ia menjadi Allah.
Dalam
Mazmur 42:1, Daud mengekspresikan kebutuhannya akan Allah, “Seperti rusa yang merindukan sungai yang berair, demikianlah jiwaku
merindukan Engkau, ya Allah.” Adalah sungguh alami bagi seseorang yang
memiliki relasi pribadi dengan Allah untuk memiliki kerinduan yang begitu
mendalam kepada Allah. Tetapi darimana kerinduan itu berasal? Paulus
memberitahu kita jawabannya dalam Filipi 4:13 di mana ia berkata: “Segala perkara dapat kutanggung di dalam
Dia yang memberi kekuatan kepadaku.” Segala kebaikan dapat kita lakukan
tentu karena rahmat Allah yang bekerja dalam diri kita. Kita tidak melakukan
segala kebaikan semata-mata karena kemampuan diri kita sendiri. Yesus sendiri
berkata: “Akulah pokok anggur dan kamulah
ranting-rantingnya. Barangsiapa tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia, ia
berbuah banyak, sebab di luar Aku kamu
tidak dapat berbuat apa-apa.”
(Yoh 15:5)
Rahmat Allah diberikan
kepada siapapun yang memintanya: “Oleh
karena itu Aku berkata kepadamu: Mintalah, maka akan diberikan kepadamu; carilah,
maka kamu akan mendapat; ketoklah, maka pintu akan dibukakan bagimu. Karena
setiap orang yang meminta, menerima dan setiap orang yang mencari, mendapat dan
setiap orang yang mengetok, baginya pintu dibukakan. Bapa manakah di antara
kamu, jika anaknya minta ikan dari padanya, akan memberikan ular kepada anaknya
itu ganti ikan? Atau, jika ia minta telur, akan memberikan kepadanya
kalajengking? Jadi jika kamu yang jahat tahu memberi pemberian yang baik kepada
anak-anakmu, apalagi Bapamu yang di sorga! Ia
akan memberikan Roh Kudus kepada mereka yang meminta kepada-Nya."
Sekarang, adalah sungguh
benar bahwa kita menerima karunia dari Roh Kudus pada saat Pembaptisan. Tetapi,
seperti sebuah kado hadiah (gift),
karunia itu akan tidak berguna bila tetap berada dalam kotaknya. Banyak orang
mengklaim memiliki iman sebagai karunia dari Allah, tetapi tampaknya iman itu
hanya memiliki sedikit pengaruh atau bahkan tidak ada pengaruh sama sekali pada
hidup mereka. Rahmat dari Allah membutuhkan sebuah tanggapan dari kita. Lalu,
bagaimana cara kita menanggapi rahmat Allah? Kita dapat meminta Yesus hadir
dalam hidup dengan sebuah doa komitmen sederhana seperti yang tertulis di bawah
ini. Harap diperhatikan bahwa kata-kata berikut bukanlah mantra. Bila kita
benar-benar menginginkan Allah, kita akan menemukan Dia. Dan ketika kita
menemukan dia, kita akan tahu bahwa Damai sejahtera Allah, yang melampaui
segala akal, akan memelihara hati dan pikiran kita dalam Kristus Yesus (bdk Fil
4:7).
Yesus Yang Tersayang, terimakasih karena mengasihiku. Aku menyadari bahwa aku adalah seorang pendosa. Yesus, ampunilah aku atas segala kesalahan yang telah kuperbuat. Aku menyadari bahwa aku tidak dapat menghidupi hidupku tanpa diri-Mu. Hadirlah dalam hidupku dan bantulah aku untuk menjadi pribadi seturut yang Engkau kehendaki. Amin
Pax et bonum