Suatu tengah malam pada
waktu retret, saya masuk ke kapel. Ketika saya mencari tombol untuk menyalakan
lampu di bagian belakang ruangan, secara tidak sengaja saya melihat salib yang
besar tergantung di dinding. Karena alasan yang aneh saya berjalan mendekati
salib dan memandang wajah Kristus secara langsung. Saya tidak tahu pasti apa
yang saya harapkan, tetapi saya terkejut oleh apa yang saya temukan. Mata patung
Kristus mempunyai bulu mata yang terbuat dari rambut manusia. Tatapan ke wajah
Kristus pada malam itu sangat mengesankan – tidak ada yang lebih mengesankan
saya, yaitu kemanusiaan Yesus yang sederhana dan dapat disakiti. Ia menyelesaikan
misi-Nya dengan mengalami bermacam rasa sakit seperti misalnya merasakan lapar,
tidak bisa tidur, lelah dan sakit.
Dampak langsung dari
penemuan saya itu ialah kesadaran yang tak akan pernah hilang bahwa Kristus
juga menangis karena sukacita dan bahagia. Seperti kita, Ia juga mencium
wanginya bebungaan, menikmati keindahan mentari terbenam. Ia mengenal nyamannya
pelukan hangat serta pandangan yang tidak berperasaaan dan menolak-Nya. Ketik saya
membaca dua bab pertama dari Injil Lukas sebagai tugas yang diberikan oleh
pembimbing retret, penjelasan Lukas tentang hal-hal khusus seperti waktu dan
tempat mempunyai makna baru. Yesus dilahirkan “pada zaman Herodes, raja Yudea”
(Luk 1:5). “Dalam bulan keenam Allah menyuruh malaikat Gabriel pergi ke sebuah
kota di Galilea bernama Nazaret” (Luk 1:26). Maria, bergegas berangkat berjalan
“ke pegunungan menuju sebuah kota di Yehuda” (Luk 1:39). Dan Kaisar Agustus
mengeluarkan suatu perintah “menyuruh mendaftarkan semua orang di seluruh dunia”
(Luk 2:1). Di masa lalu detil-detil ini tidak banyak berarti, bukankah penulis
Injil lain tidak seteliti itu mengenai hal-hal ini. Tetapi dengan kesadaran
yang lebih tinggi tentang kemanusiaan Kristus, keterangan Lukas tentang
tempat-tempat dan waktu-waktu bersejarah ini membuat saya menjumpai Yesus
dengan cara yang baru. Penyelamat kita, sama seperti kita, dihubungkan dengan
waktu dan ruang. Ia membangun jalan keselamatan di tengah-tengah suatu tempat
tertentu, dan dalam sebuah keluarga dan rutinitas. Ia tidak dibebaskan dari
kehidupan sehari-hari.
Misalnya, dalam Lukas
5, Yesus melihat “dua perahu di tepi pantai. Nelayan-nelayannya sedang turun
dan membasuh jalanya” (Luk 5:2), itu adalah pemandangan yang biasa, tidak ada
yang ilahi ataupun luar biasa. Orang-orang ini bisa saja sedang mengisi bensin
ke mobil, atau bekerja di ladang, atau sibuk dengan komputer mereka. Hidup-Nya
sehari-hari sangat biasa, normal. Karena bagian yang terberat dalam perjalanan
hidup ini adalah menghayati kehidupan yang begitu-begitu dan biasa saja, maka
perlulah kita mengingat bahwa Yesus juga mengalami rutinitas yang membosankan
itu.
Karya klasik Thornton Wilder
“Our Town” mengagungkan sifat universal, cinta dan kematian. Untuk melakukan
hal itu sang penulis drama mendasarkan dramanya pada suatu tempat tertentu. Maka
kita diberi tahu bahwa “Nama kota itu adalah Grover’s Corners, New Hampshire –
dekat perbatasan Massachusetts; garis lintang 42 derajat 40 menit, garis bujur
70 derajat 32 menit. Babak pertama
memperlihatkan kegiatan sehari-hari di kota kami. Hari ini adalah tanggal 7 Mei
1901.” Kisahnya mempunyai implikasi universal tentang kehidupan dan kematian,
tetapi kotanya sudah tertentu dan waktunya tertentu. Hidup bagi kita semua,
termasuk bagi Yesus, harus dijalani secara khusus.
Tetapi memikirkan
tentang Yesus yang merasakan ketegangan otot-otot serta merasakan lapar, dan
bahkan mempunyai akar-akar geografis-Nya, hanya menghantar kita sampai di situ
saja. Yang penting adalah perubahan-perubahan yang terjadi karena digerakkan
oleh inkarnasi. Yesus sebagai manusia yang mempunyai bulu mata, dapat melihat
kemungkinan-kemungkinan yang ilahi. Ia tidak terikat oleh realita-realita hidup
yang sesaat dan tertentu. Ia dapat melihat melampaui batas-batas duniawi itu.
Kisah Yohanes tentang
perkawinan di Kana mengabadikan bagi kita saat transformasi semacam itu. “ Di
situ ada enam tempayan yang disediakan untuk pembasuhan menurut adat orang
Yahudi, masing-masing isinya dua tiga buyung”. (Yoh 2:6). Tempayan-tempayan ini
digunakan untuk pembasuhan, tetapi Yesus melihat kemungkinan lain. Ia mengetahui
bahwa tempayan-tempayan itu dapat diisi dengan anggur. Ciri itu, kemampuan
untuk melihat adanya kemungkinan luar biasa dalam situasi yang rutin, merupakan
ciri khas Yesus. Perkawinan merupakan norma umum dalam kehidupan Yahudi; Yesus
dan Ibu-Nya pasti telah menghadiri banyak pesta kawin. Ia mengambil saat,
dengan dorongan ibu-Nya, untuk membuat mujizat. Dalam semua Injil dilukiskan
kemampuan Kristus tanpa batas untuk melihat kemungkinan-kemungkinan, untuk
melihat pertobatan hati setiap orang berdosa, untuk membayangkan kesehatan
meskipun yang dihadapi adalah penyakit.
Karena pengertian saya
tentang kemanusiaan Yesus menjaid pusat perhatian dalam retret saya, maka saya
masih meneruskan berdoa dan membaca bacaan-bacaan yang serupa setelah retret
berakhir. Saya mulai membaca Injil dengan membuka peta Palestina. Seperti nama-nama
tempat dalam awal Injil Lukas, petunjuk-petunjuk geografis lain yang sudah
sangat kita kenal mungkin kita abaikan. Membaca Injil sambil melihat peta
Palestina mengajarkan hal yang penting tentang daya tahan Yesus. Perjalanan kaki
bermil-mil melalui daerah berbukit-bukit - ditambah dengan pekerjaan-Nya
sebagai tukang kayu dan tukang batu di bengkel Yosef – membuat Yesus menjadi
seorang yang kuat perkasa. Dalam Injil Lukas banyak disebut tentang perjalanan
Yesus. “Kemudian Yesus pergi ke Kapernaum” (Luk 4:31). “Ketika hari siang,
Yesus berangkat dan pergi ke suatu tempat yang sunyi” (4:42). “Pada waktu itu
pergilah Yesus ke bukit untuk berdoa” (Luk 6:12). “Ketika Yesus pergi ke suatu
kota yang bernama Naim” (Luk 7:11). Ia selalu dalam perjalanan – dan melalui
daerah yang berbatu-batu dan berbukit-bukit. Pasti Ia sangat sehat.
Gambar-gambar dari
negeri yang didiami Yesus meskipun melukiskan keindahan juga menunjukkan daerah
perbukitan batu. Orang yang tersandung batu di daerah perbukitan Yudea dapat
mati karena terjatuh. Hanya dengan daya tahan yang tinggi Yesus dapat berjalan
pulang balik melalui daerah yang keras ini.
Sebagaimana realita
eksternal dari bulu mata Yesus membuat saya memahami penglihatan-Nya ke dalam
batin manusia, demikian pula pemahaman tentang kekuatan fisik-Nya membuat saya
menyadari kedisiplinan-Nya, kekerasan-Nya. Ada beberapa contoh dari tuntutan
Yesus mengenai hal-hal rohani yang tidak dapat ditawar, suatu ketetapan hati
yang sepadan dengan kekuatan fisik-Nya.
Misalnya di dalam Lukas
kita membaca tentang seorang perempuan yang bertobat, mengurapi kaki Yesus
dengan minyak ketika Ia sedang makan di rumah seorang Farisi (Luk 7:36:50).
Orang Farisi itu tidak mengatakan apa-apa tetapi berpikir, “Jika Ia nabi, tentu
Ia tahu, siapakah dan apakah perempuan yang menjamah-Nya ini, bahwa ia adalah
seorang berdosa.” Meskipun si Farisi tidak mengatakan apa-apa, Yesus berkisah
untuk menjawab “apa yang dipikirkan orang itu”. Injil menganjurkan agar
pikiran-pikiran kita yang berlawanan dengan ajaran Yesus tidak dibiarkan. Yesus
berkata kepada tuan rumah-Nya, “Engkau tidak memberikan Aku air untuk memasih
kaki-Ku. “Engkau tidak mencium Aku.” “Engkau tidak mengurapi kepala-Ku dengan
minyak.” Ia kemudian menunjukkan kemurahan hati yang dimiliki oleh perempuan
yang bertobat itu. Meskipun orang Farisi itu menjadi tuan rumah serta menjamu
Yesus, tetapi itu saja belumlah cukup. Yesus menegurnya karena ia tidak
melakukan lebih banyak. Pesan yang dikatakan Yesus, seorang laki-laki yang
mempunyai kekuatan jasmani dan rohani, merupakan pesan yang keras.
Lalu, ketika Yesus
mengutus murid-murid-Nya, Ia berpesan, “Jangan membawa apa-apa dalam
perjalanan, jangan membawa tongkat atau bekal, roti atau uang, atau dua helai
baju.” (Luk 9:3). Tugas yang dihadapi Para Rasul itu berat, mungkin merupakan
tugas yang paling menakutkan dan membutuhkan keberanian yang luar biasa yang
pernah mereka lakukan. Tetapi Yesus mengatakan, “Tegarlah. Jangan melindungi
diri dengan membawa terlalu banyak barang-barang.” Dan tentu saja dengan
mengikuti nasihat-Nya, Para Rasul mampu menyebarkan kabar baik.
Dan bagaimana dengan
nasihat yang keras dalam Markus 9:38-50? Daripada menyesatkan seseorang “lebih
baik jika sebuah batu kilangan diikatkan” pada leher kita “lalu dibuang ke
dalam laut”. Jika tanganmu menyesatkan engkau, penggallah”. “Jika kakimu
menyesatkan engkau, penggallah”. “Jika matamu menyesatkan engkau, cungkillah”.
Betapa keras kata-kata itu. Kita tidak dapat menghindar dari pesan yang
disampaikan: mengikuti kehendak Allah menuntut segala yang kita miliki; mungkin
kita tidak kuatir tentang mata atau tangan atau kaki kita. Tetapi barangkali
sifat kita, kekerasan kepala, kerasukan atau keserakahan kitalah yang
mengganggu kita. Apa pun halangan bagi keselamatan kita harus “dipenggal”.
Setelah beberapa bulan bertumbuh dalam permahaman
tentang Yesus Kristus, manusia yang dapat disakiti dan kuat ini, saya ingin
melihat negeri di mana Yesus pernah hidup. Saya ingin berjalan di daerah yang
telah saya lihat dalam peta. Saya ingin melihat apa yang dilhat oleh mata-Nya.
Maka saya berziarah ke tanah suci.
Gurun Yudea
meninggalkan kesan mendalam bagi saya. Dengan melihat tebing-tebing batu,
gua-gua kosong, dan gunung-gunung batu, membuat saya memahami secara baru
betapa kuat dan berdisiplinnya Yesus. Ketika iblis mencobai-Nya di padang
gurun, seperti yang kita baca dalam Lukas 4:1, Yesus “dipenuhi Roh Kudus”
setelah dibaptis. Tetapi hidup dalam Roh tidak membebaskan-Nya dari cobaan. Saat
saya berdiri di tengah padang gurun, saya mencoba membayangkan Yesus berjuang
melawan iblis. Seorang diri di padang gurun, jauh dari pekerjaan dan sahabat-sahabat,
Yesus dapat dengan mudah menyerah pada dorongan-dorongan mental dari raja
kegelapan yang licik: “Jika Engkau Anak Allah, suruhlah batu ini menjadi roti”
(Luk 4:3). “Segala kuasa itu serta kemuliaannya akan kuberikan kepada-Mu” (Luk
4:6). “Jika Engkau Anak Allah, jatuhkanlah diri-Mu dari sini ke bawah” (Luk
4:9). Dalam keadaan lapar di daerah berbatu-batu dan gersang itu, roti dapat
menjadi godaan yang nyata. Istana Herodes yang terletak di sebelah selatan,
tampak dari bukit batu, dan menjadi godaan yang kuat untuk memiliki kekuasaan
duniawi. Dan tebing-tebing batu yang tak berkesudahan, penuh dengan bahaya,
dapat menjadi dorongan untuk berspekulasi tentang janji Allah mengirim
malaikat-malaikat penolong. Sebelum saya mengunjungi padang gurun, jawaban
Yesus kepada Iblis terdengar terus terang, “Jangan engkau mencobai Tuhan
Allahmu!” (Luk 4:12). Yesus dengan jelas mengatakan kepada Iblis bahwa mencobai
Tuhan itu merupakan perbuatan yang tidak dapat diterima.
Ketika saya berdiri di
padang gurun dan menyadari betapa kuat Yesus menghadapi godaan-godaan, saya
teringat pada penemuan saya waktu retret, yaitu bulu mata dan kemanusiaan-Nya
yang dapat disakiti. Dengan semakin menyadari kemanusiaan-Nya saya semakin
bersyukur atas karunia iman Kristiani yang saya dapatkan. Dan rasa syukur itu
menambah keinginan saya untuk meneladan Dia, yang keilahian-Nya memancar terang
melalui kemanusiaan-Nya.
ditulis oleh Anne Marie Drew dalam Sabda Allah Bagi Anda ed. April 1997