CATATAN PENJELASAN
tulisan-tulisan dari imam Yesuit India, Romo Anthony de Mello (1931-1987) telah bersirkulasi secara intensif di banyak negara dunia dan dibanyak orang dari berbagai latar belakang yang berbeda. 1 Dalam karya-karya ini, yang sering berbentk anekdot singkat yang dihadirkan dalam gaya yang mudah dimengerti dan dibaca, Romo de Mello mengumpulkan unsur-unsur dari kebijaksanaan timur yang dapat membantu dalam mencapai kontrol-diri, dalam memecahkan keterikatan-keterikatan dan kesukaan-kesukaan yang menghalangi kita untuk menjadi benar-benar bebas, dalam menghindari egoisme, dalam menghadapi kesulitan-kesulitan hidup dengan ketenangan tanpa membiarkan diri kita sendiri dipengaruhi oleh dunia di sekitar kita, dan dalam saat yang bersamaan sadar akan kekayaan-kekayaan dunia. Adalah penting untuk mengindikasikan bahwa hal-hal positif ini bisa ditemukan di kebanyakan tulisan-tulisan Romo de Mello. Terutama dalam karya-karya yang tertanggal dari tahun-tahun awalnya sebagai direktur retreat, sementara menunjukkan pengaruh arus spiritual Budhisme dan Taoisme, Romo de Mello masih berada, dalam banyak hal, pada batasan spiritualitas Kristen. Dia berbicara mengenai menunggu dalam keheningan dan doa untuk kedatangan Roh, suatu karunia murni dari Bapa (Contact With God: Retreat Conferences, 3-7). Dia memberi presentasi yang sangat bagus dari doa Yesus dan doa yang diajarkan Yesus kepada kita, dengan mengambil Bapa Kami sebagai dasar (ibid., 42-44). Dia juga berbicara mengenai iman, pertobatan dan kontemplasi atas misteri-misteri kehidupan Kristus menurut metode St. Ignatius [dari Loyola]. dalam karyanya Sadhana: A Way to Godyang dipublikasikan pertama kali pada 1978, Yesus menempati tempat yang sentral, terutama di bagian terakhir ("Devotion," 99-134). Dia [Romo de Mello] berbicara mengenai doa petisi dan intersesi sebagaimana diajarkan oleh Yesus di Injil, mengenai doa pemujian dan invokasi [ie. pemanggilan] nama Yesus. Bukunya didedikasikan kepada Perawan Maria yang Terberkati, seorang model [akan hidup yang penuh] kontemplasi (ibid., 4-5)
Namun sudah [terlihat] dalam karyanya dia mengembangkan teori kontemplasi sebagai suatu kesadaran, yang sepertinya tidak kurang dalam ambiguitas. Sudah [terlihat] pada permulaan buku tersebut, konsep wahyu Kristiani disamakan dengan Lao-tse, dengan preferensi lebih terhadap yang akhir [ie. si Lao-tse]: "'Keheningan adalah wahyu yang agung,' kata Lao-tse. Kita terbiasa berpikir akan Kitab Suci sebagai wahyu Alah. Dan begitulah itu. Aku ingin kau sekarang untuk menemukan wahyu yang dibawa oleh keheningan" (9; cf. ibid., 11). [Menurut Romo de Mello] dalam melatih sebuah kesadaran akan sensasi tubuh kita, kita telah berkomunikasi dengan Allah, sebuah komunikasi yang dijelaskan dalam istilah berikut: "Banyak mistik mengatakan kepada kita bahwa, sebagai tambahan pada pikiran dan hati dimana kita berkomunikasi dengan Allah, kita semuanya dianugrahi dengan pikiran mistik dan hati mistik, sebuah sarana yang membuat memungkinkan kita untuk mengetahui Allah dengan langsung, untuk mengerti dan mengethuinya secara intuisi dalam keberadaannya, meskipun secara gelap..." (ibid., 25). Tapi intuisi ini, tanpa gambaran atau bentuk, apakah itu suatu kekosongan: "Tapi apa yang aku pandang ketika aku memandang dengan hening kepada Allah? sebuah realtias tanpa gambaran/bayangan, tanpa bentuk. Sebuah kekosongan!" (ibid., 26). Untuk berkomunikasi dengan yang tak terbatas [menurut Romo de Mello], adalah perlu untuk "menatap pada sebuah kekosongan." Dan karenanya kita tiba pada "kesimpulan yang kurang mengenakkan bahwa berkonsentrasi pada sensasi-sensasi pernafasanmu dan tubuhmu adalah kontemplasi yang sangat bagus dalam artian kata yang kaku" (ibid., 29-30),2 Di karya-karyanya yang terakhir, dia [ie. Romo de Mello] berbicara mengenai "kebangunan," pencerahan interior atau pengetahuan: "Bagaimana untuk bangun? Bagaimana kita akan tahu kalau kita tidur? Para mistik, ketika mereka melihat apa yang mengelilingi mereka, menemukan sebuah kegembiraan ekstra yang mengalir dalam hati tiap hal-hal. Dengan satu suara mereka berbicara mengenai kegembiraan dan cinta mengalir dari mana-mana... Bagaimana mendapatkannya? Melalui pemahaman. Dengan terbebaskan dari ilusi-ilusi dan gagasan-gagasan salah" (Walking on Water, 77-78; cf. Call To Love, 97). [Bagi Romo de Mello] pencerahan interior adalah wahyu yang sejati, lebih penting dari yang datang pada kita melalui Kitab Suci: "Seorang Guru menjanjikan seorang pelajar sebuah wahyu yang punya konsekuensi lebih besar dari apapun yang terdapat di kitab suci... Ketika kau mempunyai pengethuan kau menggunakan obor untuk menunjukkan jalan. Ketika kau tercerahkan kau menjadi sebuah obor" (The Prayer of the Frog I, 86-87).
"Kekudusan bukanlah suatu pencapaian, kekudusan adalah suatu rahmat. Sebuah rahmat yang disebut Kesadaran, sebuah rahmat yang disebut pencarian, pemantauan, pemahaman. Jika saja kau menyalakan lampu kesadaran dan memantau dirimu sendiri dan semua disekelilingmu sepanjang hari, jika kau melihat dirimu sendiri terpantulkan dalam kaca kesadaran seperti kau melihat wajahmu terpantulkan dalam kaca cermin... dan jika kau memantau refleksi ini tanpa penghakiman atau pengutukan, kau akan mengalami banyak sekali perubahan-perubahan yang mengagumkan pada dirimu" (Call To Love, 96).
"Kekudusan bukanlah suatu pencapaian, kekudusan adalah suatu rahmat. Sebuah rahmat yang disebut Kesadaran, sebuah rahmat yang disebut pencarian, pemantauan, pemahaman. Jika saja kau menyalakan lampu kesadaran dan memantau dirimu sendiri dan semua disekelilingmu sepanjang hari, jika kau melihat dirimu sendiri terpantulkan dalam kaca kesadaran seperti kau melihat wajahmu terpantulkan dalam kaca cermin... dan jika kau memantau refleksi ini tanpa penghakiman atau pengutukan, kau akan mengalami banyak sekali perubahan-perubahan yang mengagumkan pada dirimu" (Call To Love, 96).
Dalam tulisan-tulisan terakhir-terakhir ini, Romo de Mello telah secara sedikit demi sedikit tiba pada konsep akan Allah, wahyu, Kristus dan tujuan akhir dari pribadi manusia, etc., yang tidak bisa direkonsiliasikan dengan ajaran Gereja. Karena banyak dari bukunya tidak berbentuk pengajaran, tapi adalah suatu kumpulan cerita-cerita singkat yang kadang-kadang cukup pandai, gagasan-gagasan yang mendasarinya bisa terlewatkan tanpa sepengetahuan dengan mudah. Ini membuat perlu untuk memperhatikan beberapa aspek dari pemikirannya yang, dalam bentuk-betuk yang berbeda, muncul dalam karyanya kalau dipandang secara keseluruhan. Kami [ie. pihak Kongregasi Ajaran Iman] akan menggunakan teks dari pengarang sendiri [ie. Romo de Melo] yang, dengan fitur-fitur tertentunya, jelas-jelas menunjukkan pemikiran yang mendasarinya tersebut.
Dalam berbagai kesempatan, Romo de Mello membuat pernyataan tentang Allah yang mengabaikan sifat personalNya, bahkan mengingkarinya secara eksplisit, dan mereduksi Allah kepada suatu realitas kosmis yang tidak jelas dan serba ada. Menurut si pengarang, tidak ada seorangpun yang bisa membantu kita untuk menemukan Allah seperti seseorang tidak dapat membantu seekor ikan dilaut untuk menemukan samudra (cf. One Minute Wisdom, 67; Awareness, 103). Begitu juga, Allah dan kita masing-masing tidaklah satu ataupun dua, seperti bagaimana matahari dan cahayanya, samudra dan ombak, juga bukanlah satu atau dua (cf. One Minute Wisdom, 34). Dengan kejelasan yang lebih besar masalah Ilah yang personal dihadirkan dalam istilah sebagai berikut: "Dag Hammarskjöld, mantan Sekretaris-umum PBB, mengucapkan secara indah: 'Allah tidak mati ketika kita berhenti meyakini sebuah ilah yang personal...'" (Awareness, 126; gagasan yang sama juga ditemukan dalam "La iluminación es la espiritualidad," 60). "Jika Allah adalah cinta, maka jarak antara Allah dan dirimu adalah sama dengan jarak antara dirimu dan kesadaran akan dirimu sendiri ?" (One Minute Nonsense, 266).
Berlanjut dari sebuah apophatisisme yang unilateral dan dibesar-besarkan yang merupakan konsekuensi dari konsep Allah seperti yang disebut diatas, kritikan dan ironisme ditujukan [oleh Romo de Mello] kepada upaya apapun akan bahasa [mengenai] Allah. Hubungan antara Allah dan ciptaannya sering diekspresikan dalam gambaran Hindu akan penari dan tariannya: "Aku melihat Yesus Kristus dan Yudas, aku melihat korban dan penganiaya, pembunuh dan yang tersalib: satu melodi dalam not-not [lagu] yang berlawanan... satu tarian bergerak melalui berbagai langkah... Akhirnya, aku berdiri dihadapan Tuhan. Aku melihatnya sebagai sang Penari dan semua kegilaan, ketidakmasukakalan, kegembiraan, kesakitan, hal-hal mengagumkan yang kita sebut hidup ini sebagai tariannya..." (Wellsprings: A Book of Spiritual Exercises, 200-201; The Song of the Bird, 16).
Siapa atau apa Allah itu dan apakah manusia itu dalam 'tarian' ini? Dan lagi: "Bila kau ingin melihat Allah, lihatlah secara perhatian kepada ciptaan. Jangan menolaknya; jangan merefleksikannya. Hanya lihatlah" (The Song of the Bird, 27). Tidaklah jelas bagaimana pengantaraan Kristus bagi pengetahuan akan sang Bapa dimasukkan dalam deskripsi tersebut [oleh Romo de Mello]. "Menyadari bahwa Allah tidak berhubungan dengan gagasan yang aku bentuk mengenai Allah... Hanya ada satu cara untuk mengenalnya: dengan tidak mengenalnya!" (Walking on Water, 12; cf. ibid., 13-14; Awareness, 123; The Prayer of the Frog I, 268). Oleh karena itu [menurut Romo de Mello], seseorang tidak dapat berkata apapun mengenai Allah: "Atheis membuat kesalahan dengan mengingkari apa yang tidak bisa dikatakan... dan para theist [ie. orang yang percaya akan adanya Allah] membuat kesalahan dengan meneguhkan [hal-hal yang berkenaan dengan Allah]" (One Minute Nonsense, 21; cf. ibid., 336).
Tidak juga kitab suci, termasuk Alkitab, memampukan kita untuk mengetahui Allah [menurut Romo de Mello]; kitab suci-kitab suci tersebut hanyalah rambu-rambu jalan yang tidak mengatakan apapun berkenaan dengan kota yang aku tuju: "... Aku datang pada sebuah rambu yang berkata 'Bombay.' ... Tanda itu bukan Bombay! Rambu itu bahkan tidak terlihat seperti Bombay. Rambu itu bukan gambar akan Bombay. Rambu itu adalah sebuah rambu. Itulah apa itu kitab suci, sebuah rambu" (Walking on Water, 13). Melanjutkan metafora ini, seseorang dapat berkata bahwa sebuah rambu jalan menjadi tidak berguna ketika aku sudah mencapai tujuanku; inilah apa yang kelihatannya ingin dikatakan Romo de Mello: "Kitab suci adalah bagian yang menakjubkan, jari yang menunjuk kepada cahaya. Kita menggunakan kata-kata [dalam kitab suci] untuk pergi melampaui konsepsi-konsepsi dan mencapai keheningan" (Walking on Water, 16). Secara paradoks [Romo de Mello mengatakan bahwa] wahyu Allah tidak diekspresikan dalam kata-kataNya, tapi dalam keheningan (cf. juga One Minute Wisdom , 118, 157, 191, etc. Awareness, 101). "Di Alkitab hanya jalan yang ditunjukkan kepada kita, begitu juga dalam kitab suci-kitab suci moslem, umat Budha, etc." ("La iluminación es la espiritualidad," 64).
Sehingga, apa yang dinyatakan [dalam tulisan-tulisan Romo de Mello tersebut] adalah sebuah Allah yang tidak berpribadi [ie. impersonal] yang berdiri diatas semua agama, sementara keberatan dinyatakan [dalam tulisan Romo de Mello] akan proklamasi agama Kristen bahwa Alah adalah kasih, [yang tampaknya] tidak sesuai dengan keyakinan akan perlunya Gereja untuk keselamatan:
"Kawanku dan aku pergi ke sebuah pasar malam. PEKAN RAYA DUNIA AKAN AGAMA-AGAMA [ie. dalam terjemahan Indonesia buku Romo de Mello disebut "PASAR MALAM AGAMA-AGAMA"]... Pada stan Yahudi kita diberi selebaran yang mengatakan bahwa Allah itu penuh perhatian dan para Yahudi adalah Orang TerpilihNya. Para Yahudi. Tidak ada orang yang lebih Terpilih daripada orang Yahudi. Di stan Moslem kita mendapati bahwa Allah itu Maha-Rahim dan Mohammad adalah satu-satunya Nabi. Keselamatan datang dari mendengarkan satu-satunya nabi Allah. Di stan Kristen kami menemukan bahwa Allah adalah kasih dan tidak ada keselamatan diluar Gereja. Bergabunglah dengan Gereja atau ber-resiko [menerima] pengutukan abadi. Dalam perjalanan keluar aku bertanya kepada temanku, 'Apa yang kau pikir akan Allah?' dia menjawab, 'Dia adalah orang yang benci yang lain selain kaumnya, fanatik dan kejam.' Kembalinya dari rumah, aku berkata kepada Allah, 'Bagaimana kau tahan akan semua hal ini, Tuhan? Tidakkah kau tahu bahwa mereka memperburuk namaMu selama berabad-abad?' Allah berkata, 'Aku bahkan tidak mengorganisir Pasar Malam itu. Aku bahkan akan terlalu malu untuk mengunjunginya' ("Pekan Raya Dunia akan Agama-Agama" dalam The Song of the Bird, 186-187; cf. ibid., 189-190, 195).
Ajaran Gereja mengenai kehendak keselamatan Allah yang universal dan akan keselamatan non-Kristen tidak dihadirkan secara tepat, tidak juga pesan akan Allah adalah kasih:"'Allah adalah kasih. Dan Dia mencinta dan menghadiahi kita selamanya kalau kita mematuhi perintah-perintahnya.' 'KALAU?' kata sang Guru, 'Kalau begitu kabarnya tidak sebaik yang dikatakan, bukankah begitu?'" (One Minute Nonsense, 198; cf. ibid., 206). Setiap agama konkrit adalah sebuah penghalang untuk tiba pada kebenaran. Terlebih, apa yang dikatakan mengenai Kitab Suci juga dikatakan mengenai agama secara umum: "Semua fanatik ingin mendekap Allah mereka dan membuatnya satu-satunya" ("La iluminación es la espiritualidad," 65; cf. ibid., 28, 30). Apa yang penting itu adalah kebenaran, apakah itu berasal dari Budha atau dari Mohammad, karena "yang paling penting adalah untuk menemukan kebenaran dimana semua kebenaran berpadu, karena kebenaran itu adalah satu" (ibid., 65). "Kebanyakan orang, sayangnya, punya cukup agama untuk membenci tapi tidak untuk mencinta (The Prayer of the Frog I, 104; cf. ibid., 33, 94). Ketika penghalang-penghalang yang mencegah kita untuk melihat realitas didaftar, agama berada di urutan pertama: "Pertama [adalah] keyakinanmu. Jika engkau mengalami hidup sebagai seorang komunis, atau seorang kapitalis, sebagai seorang Moslem atau seorang Yahudi, kau mengalami hidup dalam sebuah cara yang berprasangka dan miring; ada sebuah penghalang, sebuah lapisan lemak diantara Realitas dan dirimu karena kau tidak lagi melihat dan menyentuhnya secara langsung" (Call to Love, 30-31). "Jika semua manusia diberikan sebuah hati seperti itu orang tidak akan lagi memikirkan diri mereka sebagai seorang Komunis atau Kapitalis, sebagai seorang Kristen atau Moslem atau Budha. Keterangan pemikiran mereka akan menunjukkan kepada mereka bahwa semua pemikiran, semua konsep, semua keyakinan adalah lampu-lampu yang penuh kegelapan, tanda-tanda dari ketidaktahuan-acuh mereka" (ibid., 94; cf. juga One Minute Wisdom, 159, 217, mengenai bahaya-bahaya dari agama-agama). Apa yang diyakini mengenai agama [oleh tulisan Romo de Mello], juga dikatakan secara konkrit atas Kitab Suci (cf. The Song of the Bird, 186ff; One Minute Nonsense, 19).
Keperanakan Ilahi Yesus didilusikan [dalam tulisan Romo de Mello] kedalam kepercayan akan keperanakan ilahi atas semua manusia: "Dimana Allah menjawab, 'sebuah hari raya kudus itu kudus karena itu menunjukkan bahwa semua hari dalam satu tahun itu adalah kudus. Dan sebuah tempat kudus itu kudus karena itu menunjukkan bahwa semua tempat telah dikuduskan. Karenanya Kristus dilahirkan untuk menunjukkan bahwa semua manusia adalah putra-putri Allah'" (The Song of the Bird, 189). Romo de Mello memang menunjukkan perwujudan dukungan pribadinya kepada Kristus, kepada siapa dia menyebut diri sebagai murid (Wellsprings, 122), kepada siapa dia beriman (ibid., 113) dan kepada siapa dia berjumpa secara pribadi (ibid., 115ff, 124ff). KehadiranNya [ie. Yesus] men-tranfigurasi-kan (cf. ibid., 92ff). Tapi pernyataan-pernyataan lain [Romo de Mello mengenai Yesus] ada yang kurang mengenakkan. Yesus disebut sebagai salah satu guru diantara banyak [guru lainnya]: "Lao Tzu dan Socrates, Budha dan Yesus, Zarathustra dan Mohammad (One Minute Wisdom, 2). [Menurut Romo de Mello] Yesus pada salib tampak sebagai seorang yang telah membebaskan dirinya secara sempurna dari segalanya:
"Aku melihat sang Tersalib sebagai [yang] tertanggalkan atas semuanya: Tertanggalkan dari kehormatannya... Tertanggalkan dari reputasinya... Tertanggalkan dari dukungan... Tertanggalkan dari Allahnya... Ketika aku memandang pada tubuh tak bernyawa itu aku lambat-lambat mengerti bahwa aku melihat simbol pembebasan tertinggi dan total. Ketika dikencangkan di kayu salib Yesus menjadi hidup dan bebas... Jadi sekarang aku mengkontemplasikan keagungan seorang manusia yang telah membebaskan dirinya sendiri dari semua yang membuat kita sebagai budak-budak, semua yang menghancurkan kebahagiaan kita." (Wellsprings, 95-97).
Yesus di salib adalah seorang manusia yang bebas dari semua ikatan; karenanya Dia menjadi simbol dari pembebasan interior dari semua yang membuat kita terikat. Tapi bukankah Yesus adalah sesuatu yang lebih dari seorang manusia yang bebas? Apakah Yesus adalah penyelamatku atau Dia sekedar mengarahkan aku kepada sebuah realitas misterius yang telah menyelamatkannya? "'Apakah aku akan berhubungan, Tuhan, dengan sumber darimana sabdamu dan kebijaksanaanmu mengalir?... Apakah aku akan menemukan sumber dari keberanianmu?'" (Wellsprings, 123). "'Hal yang paling indah mengenai Yesus adalah Dia begitu nyaman dengan pendosa, karena Dia mengerti bahwa Dia tidaklah lebih baik sedikitpun dari mereka'... Satu-satunya perbedaan antara Yesus dan yang lain itu [ie. para pendosa] adalah bahwa Dia terbangun sementara mereka tidak" (Awareness, 30-31; cf. juga "La iluminación es la espiritualidad," 30, 62). [Bagi Romo de Mello] kehadiran Kristus dalam Ekaristi hanyalah sekedar simbol yang mengacu kepada realitas yang lebih dalam: [yaitu] kehadiranNya dalam ciptaan. "seluruh ciptaan adalah tubuh Kristus, dan kau meyakini bahwa itu hanya ada di ekaristi. Ekaristi mengindikasikan pada ciptaan. Tubuh Kristus itu dimana-mana namun kau hanya mengetahuinya dalam simbolnya yang [hanya] mengindikasikan apa yang esensial, yaitu kehidupan" ("La iluminación es la espiritualidad," 61).
[Menurut Romo de Mello] keberadaan manusia tampaknya menuju untuk dilarutkan [dari kata "dissolve"], seperti garam pada air: "Sebelum bagian terakhir itu larut, boneka [garam] itu menyatakan dalam kekaguman, 'sekarang aku tahu siapa aku ini'" (The Song of the Bird, 125). Pada saat lainnya, pertanyaan mengenai kehidupan sesudah kematian dinyatakan tidak penting [dalam tulisan Romo de Mello]: "'Tapi apakah ada kehidupan setelah kematian atau tidak?' kata sang Guru penuh teka-teki" (One Minute Wisdom, 83; cf. ibid., 26).
"Salah satu tanda bahwa kau terbangun adalah kau tidak mempedulikan mengenai apa yang terjadi di kehidupan selanjutnya. Kau tidak terganggu oleh itu; kau tidak peduli. Kau tidak tertarik, titik"(Awareness, 42-43, 150). Mungkin dengan kejelasan yang lebih [akan pemikiran Romo de Mello yang mengajarkan ketidak pentingan kehidupan setelah mati]: "Kenapa bingung dengan besok? Apakah ada kehidupan setelah mati? Apakah aku akan hidup setelah mati? Mengapa bingung dengan besok? [Alamilah] hari ini" (Awareness, 114). "Gagasan bahwa orang mempunyai keabadian adalah bodoh. Mereka berpikir bahwa itu akan berakhir selamanya karena hal itu berada diluar waktu. Kehidupan abadi adalah sekarang; [kehidupan abadi] sudah disini" ("La iluminación es la espiritualidad," 42).
Pada berbagai pokok dalam bukunya, pendirian Gereja dikritik tanpa penilaian yang adil: "Kehidupan religiusku telah diambil alih dengan penuh oleh para profesional" (The Song of the Bird, 63ff). Fungsi dari Syahadat atau Pernyataan Iman di hakimi [oleh romo de Mello] secara negatif, sebagai sesuatu yang mencegah akses pribadi kepada kebenaran dan pencerahan (seperti itu dengan nuansa yang berbeda, The Song of the Bird, 36, 46-47, 50ff, 215). "Ketika kau tidak perlu lagi memegang kata-kata di Alkitab, pada saat itulah [Alkitab] menjadi sesuatu yang sangat indah bagimu, menyingkapkan hidup dan pesannya. Sedihnya, Gereja resmi telah mendedikasikan dirinya untuk membingkai sang berhala, menyampulnya, membelanya, menegakkannya tanpa mampu mengerti apa sesungguhnya maknanya" ("La iluminación es la espiritualidad," 66). Gagasan yang sama dihadirkan dalam The Prayer of the Frog I, 7, 94, 95, 98-99: "Seorang pendosa publik diekskomunikasikan dan dilarang masuk gereja. Dia menyampaikan keluhannya kepada Allah. 'Mereka tidak mengijinkan aku masuk, tuhan, karena aku adalah pendosa.' 'Apa yang kau keluhkan?' kata Allah. 'Mereka juga tidak mengijinkan aku masuk'" (ibid., 105).
[Menurut Romo de Mello] kejahatan itu adalah ketidaktahuan-acuh, kurangnya pencerahan: "Ketika Yesus melihat kejahatan Dia memanggilnya sesuai namanya dan mengutuknya tanpa keraguan. Hanya saja, dimana aku melihat niat jahat, aku melihat ketidaktahuan-acuh... 'Bapa ampunilah mereka, karena mereka tidak tahu apa yang mereka lakukan'" [Lk 23:34] (Wellsprings, 215). Tentu saja teks-teks ini tidak mencerminkan seluruh ajaran Yesus mengenai kejahatan dunia dan akan dosa; Yesus menyambut pendosa dengan kerahiman yang besar, tapi Dia tidak mengingkari dosa mereka; namun Dia mengajak mereka kepada pertobatan. dalam bagian lain tulisan [Romo de Mello] kita menemukan pernyataan-pernyataan yang lebih radikal: "Tidak ada yang baik atau buruk tapi memikirkannya [sebagai baik dan buruk] membuatnya demikian" (One Minute Wisdom, 104). "Sebenarnya tidak ada kebaikan atau kejahatan dalam sifat manusia. Yang ada hanyalah sebuah penilaian mental yang dikenakan kepada realitas ini atau itu" (Walking on Water, 99). [Romo de Mello mengajukan] bahwa tidak ada alasan untuk bertobat dari dosa-dosa, karena satu-satunya hal yang penting adalah untuk terbangun kepada satu kesadaran akan realitas: "Janganlah menangis untuk dosa-dosamu. Kenapa menangis atas dosa-dosa yang kau lakukan ketika kau tidur?" (Awareness, 26; cf. ibid., 43, 150). Penyebab dari kejahatan adalah ketidaktahuan-acuh (One Minute Nonsense, 239). Dosa itu ada, tapi merupakan sebuah tindakan kegilaan ("La iluminación es la espiritualidad," 63). Pertobatan, karenanya, berarti kembali kepada realitas (cf. ibid., 48). "Pertobatan adalah perubahan pikiran: sebuah visi realitas yang berbeda secara radikal" (One Minute Nonsense, 241).
Jelas, bahwa ada hubungan internal antara berbagai posisi yang berbeda [seperti yang terlihat dari kutipan tulisan Romo de Mello diatas]: jika seseorang mempertanyakan keberadaan satu Allah yang berpribadi [ie. personal], tidaklah masuk akal [bagi orang tesebut untuk berpikiran bahwa] Allah akan menyatakan diriNya dalam sabdaNya. Kitab Suci, karenanya, tidak mempunyai nilai yang definitif. Yesus adalah seorang guru seperti yang lain; hanya pada buku-buku awal penulis [ie. Romo de Mello] Yesus tampak sebagai Putra Allah, sebuah pengakuan yang punya sedikit makna dalam konteks pengertian seperti itu akan Allah [ie. pengertian akan Allah seperti yang telah dipertunjukkan Romo de Mello]. Sebagai konsekuensinya seseorang tidak bisa mengatributkan nilai kepada ajaran Gereja. Keberlangsungan hidup kita pribadi setelah kematian merupakan sesuatu yang problematik kalau Allah tidak berpribadi [seperti yang diungkapkan Romo de Mello]. Karenanya sudah menjadi jelas bahwa konsepsi yang demikian tentang Allah, Kristus dan manusia tidaklah seuai dengan iman Kristen.
Karena alasan ini, mereka yang bertanggungjawab untuk menjaga ajaran iman telah diwajibkan untuk menunjukkan bahaya dari teks-teks yang ditulis oleh Romo Anthony de Mello atau [teks-teks] yang ditartibutkan atas dia, dan untuk memperingatkan umat beriman mengenainya.
Catatan:
1 Tidak semua karya-karya Romo de Mello diotorisasikan untuk dipublikasikan oleh sang pengarang sendiri. Beberapa dipublikasikan setelah kematiannya berdasarkan pada tulisan-tulisannya, atau pada catatan-catatan atau pada rekaman-rekaman konferensinya. Dalam Catatan Penjelasan ini tulisan-tulisannya yang dikutip [berasal dari]: Sadhana: A Way to God (St. Louis, USA: The Institute of Jesuit Sources, 1978); The Song of the Bird (Anand, India: Gujarat Sahitya Prakash, 1982); Wellsprings: A Book of Spiritual Exercises (Anand, India: Gujarat Sahitya Prakash, 1984); One Minute Wisdom (Anand, India: Gujarat Sahitya Prakash, 1985); "La iluminación es la espiritualidad: Curso completo de autoliberación interior" in Vida Nueva (1987) pp. 27/1583 - 66/1622; The Prayer of the Frog, 2 vols. (Anand, India: Gujarat Sahitya Prakash, 1989); Awareness (London: Fount Paperbacks, 1990); Contact with God: Retreat Conferences (Anand, India: Gujarat Sahitya Prakash, 1990); Call to Love: Meditations (Anand, India: Gujarat Sahitya Prakash, 1991); Caminhar sobre as águas: Quebre o ídolo (São Paulo, Brazil: Edições Loyola, 1992), engl. trans. Walking on Water (New York: Crossroad, 1998); One Minute Nonsense (Anand, India: Gujarat Sahitya Prakash, 1992).
2 Surat dari Kongregasi Ajaran Iman mengenai beberapa aspek dari Christianmeditation Orationis formas (15 Oktober 1989) tampaknya mereferensikan gagasan-gagasan seperti itu: "Namun beberapa tidak ragu untuk menempatkan yang absolut itu [sebagai sesuatu yang] tanpa gambaran atau konsep-konsep, [dimana penempatan ini] lebih cocok dengan teori umat Budha, pada tingkatan yang sama dengan keagungan Allah yang diwahyukan Kristus, yang memuncaki diatas realitas terbatas" (n. 12: AAS 82 [1990], 369). Dalam hal ini, adalah perlu untuk mengingat ajaran-ajaran mengenai inkulturasi dan dialog antar-agama dalam ensiklik Yahanes Paulus II Redemptoris missio (cf. nn. 52-57: AAS 83 [1991], 299-305).
Layanan Informasi Vatikan, 22 Agustus 1998
sumber: ekaristi dot org