Catholic Wedding (sumber: Situs Keuskupan Agung Baltimore) |
Saya membaca sebuah artikel mengenai pernikahan beda agama dalam sebuah edisi Buletin Lentera Iman yang ditulis oleh seorang awam bernama Donny Verdian. Opini dari si penulis menarik sekali dan bagus serta mencerahkan. Oleh karena itu, saya memutuskan untuk mempublikasikan ulang tersebut di blog saya dengan seizin pemimpin redaksi Buletin Lentera Iman. Setelah membaca artikel ini, mungkin ada pembaca Katolik yang kurang atau tidak setuju dengan opini dan argumen dari si penulis. Tetapi, saya sangat menganjurkan anda untuk memperhatikan opini dan argumen tersebut sebagai bahan pertimbangan kelak bila seandainya anda akan memilih menikah beda agama.
Menikah Beda Agama? Nanti dulu!
Oleh Donny Verdian
Apa yang barusan terjadi pada seorang teman dekat ketika kuliah dulu, sebut saja namanya Yoga, masih kerap membuatku tak percaya, kenapa hal itu bisa terjadi dan kenapa ia memilih untuk melakukan hal itu. Ah, kalian tentu bingung kenapa tiba-tiba aku bicara soal sesuatu yang tak kalian ketahui sejak awal tulisan ini. Baiklah, sebelum membahas “ini” dan “itu” nya, kuperkenalkan dulu, Yoga temanku tadi. Aku pertama kali mengenal Yoga tepat di hari pertama kuliahku di sebuah universitas Kristen di Yogyakarta, 15 tahun silam. Dan sejak saat itu, ia jadi teman dekat karena selain berasal dari satu kota asal, Klaten, aku dan dia di kemudian hari sama-sama aktif terjun di komunitas mahasiwa Katolik kampus. Sejak saat itu sebenarnya aku tak bisa menyembunyikan rasa hormatku padanya dalam totalitasnya menjaga iman Katolik. Sedikit banyak, ia ikut membangun pondasi imanku karena ketaatannya, idealismenya terhadap iman dan sikap hidup yang selalu dibawakan yang boleh dibilang lumayan ‘lurus’ itu.
Nasib lalu memisahkan kami. Selepas kuliah ia pindah ke Kalimantan sementara aku tetap berada di Jogja hingga akhirnya pada 2008 silam aku memutuskan untuk menikah lalu pindah domisili ke Sydney, Australia hingga sekarang. Melalui Facebook, akhirnya aku dan Yoga ‘bertemu’ lagi tahun lalu dan aku bersyukur karena melalui teknologi itu aku dipertemukan lagi dengan sahabatku itu. Namun melalui Facebook pula aku dibuatnya terkejut ketika kutahu kabar bahwa ia, saat itu, memutuskan hendak menikah dengan seorang gadis yang berbeda keyakinan daripadanya. Yang lantas membuat keterkejutanku memuncak adalah ketika ia dengan bangga menyiarkan kabar bahwa ia telah menikah dengan tata cara agama yang dianut istri, lengkap dengan pengumuman bahwa ia telah resmi pindah agama.
Terus terang sulit untuk dipercaya, orang se- ‘kuat’ Yoga pada akhirnya membuat keputusan radikal dalam hidupnya, meninggalkan iman Katoliknya ‘hanya’ demi sebuah pernikahan yang ia langsungkan.
Hidup Dalam Masyarakat Majemuk
Teman-teman, kisah tentang Yoga di atas bukanlah karangan belaka meski ada beberapa bagian ku-edit demi sebuah pemaparan kasus yang kalian harus juga akui semakin lama semakin kerap terjadi di sekitar kita. Kita hidup dalam masyarakat majemuk yang tak hanya memuat perbedaan suku dan ras namun juga agama yang pada akhirnya membuat kita harus pandai-pandai beradaptasi menerima perbedaan yang ada.
Namun bagiku, sepandai-pandai dan sefleksibel apapun kita menyikapi perbedaan, tetap harus ada hal-hal yang dijadikan pakem untuk dipertahankan, justru demi menjaga supaya kita tetap berbeda dari yang lain. Pakem itu salah satunya adalah agama. Kita boleh memiliki banyak kawan berlainan agama dan kita boleh begitu menikmati pergaulan dengan mereka, namun identitas kita sebagai seorang pemeluk Katolik adalah sesuatu yang tetap harus dipegang teguh. Memang tak mudah, terutama kalau sudah menyangkut perasaan mengasihi lawan jenis, di usia kita yang muda, harus membatasi diri untuk berpikir bahwa sebagai orang Katolik kita harus mencari pasangan hidup yang juga berasal dari seorang dari iman yang sama.
Aku pernah mengutarakan hal ini ke seorang kawan yang mulai mencoba pacaran dengan orang yang berbeda iman dan jawaban mereka cukup spontan, “Tapi kan di kitab suci tidak ditulis bahwa kita tak boleh menikah dengan orang yang beda agama, Don!” Terkadang mereka memang selalu menggunakan dalih demikian.
Mau dengar yang lain lagi? Biasanya begini, “Bukankah ada dibilang bahwa kasih itu lemah lembut, murah hati, sabar dan sederhana… jadi tak perlu dibatasi agama kan?” Setiap aku mendengar alasan-alasan demikian, jawabanku selalu seragam, “Katolik tak hanya didasarkan pada kitab suci. Kalau semua harus tertulis dalam kitab suci, bahkan Tuhan tak menuliskan larangan kalau kita menggunakan narkoba, lho!”
Lalu untuk alasan yang kedua, aku selalu menjawab demikian “Memang benar, itulah sifat-sifat kasih… tapi kamu tak bisa mencomot ayat itu hanya begitu saja...... kamu harus memahaminya dalam rangka karya penyelamatan Kristus yang utuh… dan itu hanya bisa dihayati melalui iman Katolik!”
Setelah mendengar jawabku biasanya mereka hanya manggut-manggut lalu pergi. Keputusan untuk tetap ‘nekat’ melanjutkan hubungan atau tidak tentu bukan urusanku lagi, setidaknya aku sudah merasa melakukan apa yang harus kuutarakan yang mungkin tak mereka ketahui, kan?
Lalu kenapa pernikahan seiman itu penting setidaknya menurutku dan menurut mereka dan kita yang menikah seiman?
Alasan paling mudahnya adalah, jangankan beda keyakinan, menikah dengan sesama pemeluk Katolik pun kadang tak jadi jaminan bahwa keluarganya akan damai dan sentosa sepanjang hidup.
Alasan kedua, pernikahan adalah sesuatu yang suci. Bukannya aku berpendapat bahwa pasangan beragama lain itu tak suci, tapi justru karena batasan suci itu sangat sulit untuk didefinisikan oleh karena kemanusiawian kita, maka untuk apa kita ambil resiko yang ‘tidak-tidak’?
Lalu yang ketiga, pernikahan beda agama tak jarang ujung-ujungnya membuat salah satu dari pasangan itu mengalah untuk ikut memeluk agama yang dipeluk pasangannya. Belum lagi kalau pasangan itu lalu dikaruniai anak, peluang orang tua untuk mendidik anak dalam ajaran Katolik pun tak lagi 100% namun setidaknya fifty-fifty antara Katolik atau agama yang dipeluk pasangan kita. Nah, bayangkan kalau ada orang Katolik menikah dengan orang dari agama lain lantas ke depannya, si Katolik memutuskan untuk memeluk agama yang sama. Kalau ada sepuluh kasus seperti itu dalam setiap paroki dalam setahun, maka bisa dibayangkan akan ada berapa banyak orang Katolik yang pindah agama gara-gara pernikahan?
Kita memang sering terjebak pada pendapat umum “Yang penting kualitas bukan kuantitas” namun bagiku, keduanya penting, kualitas dan kuantitas harus dimajukan bersama selagi bisa! Sebagus-bagusnya kualitas orang Katolik, kalau jumlah kian menyusut, tentu tak lantas menjadi baik lagi adanya.
Iman Proaktif
Kupikir, kunci untuk meredam naiknya angka pernikahan beda agama yang berujung dengan berpalingnya seseorang dari gereja Katolik lalu ikut agama yang dianut pasangannya, adalah perlunya menanamkan sikap iman yang proaktif dari pihak kaum muda Katolik.
Iman proaktif yang kumaksud adalah iman yang tak hanya sebatas ‘berangkat misa mingguan’ tapi lebih dari itu, bagaimana kaum muda harus membawa iman dalam kehidupan sehari-hari dalam pergaulannya, di studi maupun pekerjaannya.
Logikanya, orang muda yang mau membawa identitas Katolik, setidaknya ia memiliki niat untuk lebih dalam lagi mendalami iman bukan sebagai suatu pajangan semata tapi sesuatu yang patut didalami melalui keseharian hidup.
Sikap proaktif juga perlu diwujudkan dalam membuat dan berperan aktif dalam komunitas muda-mudi Katolik di lingkungan gereja/paroki kita. Peran aktif komunitas tak jarang membuat kita memiliki ‘rumah’ yang menyenangkan ketika komunitas tersebut bertumbuh tak hanya jadi tempat ‘doa’ dan ngurus event ‘Natal’ dan ‘Paskah’ tapi menjadi komunitas yang peduli pada pertumbuhan anggota-anggotanya. Sehingga, meski tidak wajib dijadikan aras dasar komunitas, namun siapa yang tak senang kalau akhirnya banyak jiwa muda Katolik yang menemukan ‘jodoh’ dari komunitas itu pula?
Ketika kita sudah terkondisikan demikian, memiliki identitas dan bergaul dengan muda-mudi Katolik lainnya, dalam pemeliharaan Roh Kudus, kita percaya bahwa kita akan semakin dikuatkan ketika kita harus mengambil sikap untuk menikah termasuk berani mengatakan “Tidak” ketika dihadapkan pilihan menikah beda agama terlebih ketika kita tahu bahwa ke depannya ada kecenderungan bahwa kita yang harus pindah agama dan bukannya pasangan kita ke Gereja Katolik.
Orang boleh bilang menikah berlandaskan cinta, namun untuk apa kita berani ngomong cinta kalau kita harus meninggalkan iman kepercayaan kita terhadap Sang Maha Raja Cinta, Yesus Kristus yang kita permuliakan dalam Gereja yang Satu, Kudus, Katolik dan Apostolik?
Sumber:
Buletin Lentera Iman edisi 32.
Dipublikasikan dengan izin Pemimpin Redaksi Buletin Lentera Iman. Buletin Lentera Iman adalah Buletin Katolik milik Komisi Sosial Keuskupan Agung Makassar. Indonesian Papist menjadi salah seorang anggota redaksinya. Pax et Bonum
Artikel terkait: