DARIMANA ASALNYA ALKITAB?
Saya
pernah membawakan suatu materi pada Bina Rohani siswa-siswi Katolik SMA
se-Sorowako dan materi yang saya bawakan pada waktu itu adalah sejarah
terbentuknya Alkitab. Saat memulai presentasi, saya membawa 2 buah
Alkitab. Yang satu Alkitab Katolik yang lengkap dengan tujuh
Deuterokanoika sedangkan Alkitab satunya lagi adalah Alkitab versi
Protestan yang tidak memiliki kitab-kitab Deuterokanonika. Saya
mengatakan kepada mereka bahwa di tangan saya ada 2 macam Alkitab,
Alkitab Katolik dan Alkitab Protestan. Saya bertanya kepada mereka apa
yang membedakan kedua Alkitab ini dan ternyata mereka mengetahui letak
perbedaannya adalah pada ada tidaknya kitab-kitan Deuterokanonika
tersebut. Lalu saya mengajukan pertanyaan berikutnya, “Jikalau Alkitab
versi Katolik memiliki tujuh kitab Deuterokanonika dan Alktab verso
Protestan tidak, lalu manakah yang benar: Gereja Katolik-lah yang telah
menambah isi Alkitab dengan tujuh kitab Deuterokanonika itu ataukah
Gereja Protestan yang telah mengurangi isi Alkitab dengan membuang ke
tujuh kitab Deuterokanonika tersebut?” Jawaban yang saya dapatkan dari
seluruh siswa itu sungguh-sungguh mengejutkan saya! Semuanya sepakat
bahwa Gereja Katolik-lah yang telah menambah isi Alkitab….. Astaga!!!
SEJARAH TERBENTUKNYA KITAB-KITAB PERJANJIAN LAMA
Alkitab
Gereja Katolik terdiri dari 73 kitab, yaitu Perjanjian Lama terdiri
dari 46 kitab sedangkan Perjanjian Baru terdiri dari 27 kitab.
Bagaimanakah sejarahnya sehingga Alkitab terdiri dari 73 kitab, tidak
lebih dan tidak kurang? Pertama, kita akan mengupas kitab-kitab
Perjanjian Lama yang dibagi dalam tiga bagian utama: Hukum-hukum Taurat,
Kitab nabi-nabi dan Naskah-naskah. Lima buku pertama: Kitab Kejadian,
Kitab Keluaran, Kitab Imamat dan Kitab Bilangan dan Kitab Ulangan adalah
intisari dan cikal-bakal seluruh kitab-kitab Perjanjian Lama. Pada
suatu ketika dalam sejarah, ini adalah Kitab Suci yang dikenal oleh
orang-orang Yahudi dan disebut Kitab Taurat atau Pentateuch.
Selama
lebih dari 2000 tahun, nabi Musa dianggap sebagai penulis dari Kitab
Taurat, oleh karena itu kitab ini sering disebut Kitab Nabi Musa dan
sepanjang Alkitab ada referensi kepada "Hukum Nabi Musa". Tidak ada
seorangpun yang dapat memastikan siapa yang menulis Kitab Taurat, tetapi
tidak disangkal bahwa nabi Musa memegang peran yang unik dan penting
dalam berbagai peristiwa-peristiwa yang terekam dalam kitab-kitab ini.
Sebagai orang Katolik, kita percaya bahwa Alkitab adalah hasil inspirasi
Ilahi dan karenanya identitas para manusia pengarangnya tidaklah
penting.
Nabi
Musa menaruh satu set kitab di dalam Tabut Perjanjian (The Ark of The
Covenant) kira-kira 3300 tahun yang lalu. Lama kemudian Kitab Para Nabi
dan Naskah-naskah ditambahkan kepada Kitab Taurat dan membentuk
Kitab-kitab Perjanjian Lama. Kapan tepatnya isi dari Kitab-kitab
Perjanjian Lama ditentukan dan dianggap sudah lengkap, tidaklah
diketahui secara pasti. Yang jelas, setidaknya sejak lebih dari 100
tahun sebelum kelahiran Kristus, Kitab-kitab Perjanjian Lama sudah ada
seperti umat Katolik mengenalnya sekarang.
Kitab-kitab
Perjanjian Lama pada awalnya ditulis dalam bahasa Ibrani (Hebrew) bagi
Israel, umat pilihan Allah. Tetapi setelah orang-orang Yahudi terusir
dari tanah Palestina dan akhirnya menetap di berbagai tempat, mereka
kehilangan bahasa aslinya dan mulai berbicara dalam bahasa Yunani
(Greek) yang pada waktu itu merupakan bahasa internasional. Oleh karena
itu menjadi penting kiranya untuk menyediakan bagi mereka, terjemahan
seluruh Kitab Perjanjian Lama dalam bahasa Yunani. Pada waktu itu di
Alexandria berdiam sejumlah besar orang Yahudi yang berbahasa Yunani.
Selama pemerintahan Ptolemius II Philadelphus (285 - 246 SM) proyek
penterjemahan dari seluruh Kitab Suci orang Yahudi ke dalam bahasa
Yunani dimulai oleh 70 atau 72 ahli-kitab Yahudi - menurut tradisi - 6
orang dipilih mewakili setiap dari 12 suku bangsa Israel. Terjemahan ini
diselesaikan sekitar tahun 250 - 125 SM dan disebut Septuaginta, yaitu
dari kata Latin yang berarti 70 (LXX), sesuai dengan jumlah penterjemah.
Kitab ini sangat populer dan diakui sebagai Kitab Suci resmi (kanon
Alexandria) kaum Yahudi diaspora (=terbuang), yang tinggal di wilayah
Asia Kecil dan Mesir. Pada waktu itu Ibrani adalah bahasa yang nyaris
mati dan orang-orang Yahudi di Palestina umumnya berbicara dalam bahasa
Aram. Jadi tidak mengherankan kalau Septuagint adalah terjemahan yang
digunakan oleh Yesus, para Rasul dan para penulis kitab-kitab Perjanjian
Baru. Bahkan, 300 kutipan dari Kitab Perjanjian Lama yang ditemukan
dalam Kitab Perjanjian Baru adalah berasal dari Septuagint. Harap
diingat juga bahwa seluruh Kitab Perjanjian Baru ditulis dalam bahasa
Yunani.
Setelah
Yesus disalibkan dan wafat, para pengikut-Nya tidak menjadi punah
tetapi malahan menjadi semakin kuat. Pada sekitar tahun 100 Masehi, para
rabbi (imam Yahudi) berkumpul di Jamnia, Palestina, mungkin sebagai
reaksi terhadap umat Kristen. Dalam konsili Jamnia ini mereka menetapkan
empat kriteria untuk menentukan kanon (=standard) Kitab Suci mereka:
[1] Ditulis dalam bahasa Ibrani; [2] Sesuai dengan Kitab Taurat; [3]
lebih tua dari jaman Ezra (sekitar 400 SM); [4] dan ditulis di
Palestina. Atas kriteria-kriteria diatas mereka mengeluarkan kanon baru
untuk menolak tujuh buku dari kanon Alexandria, yaitu seperti yang
tercantum dalam Septuagint, yaitu: Tobit, Yudit, Kebijaksanaan Salomo,
Sirakh, Barukh, 1 Makabe, 2 Makabe, berikut tambahan-tambahan dari kitab
Ester dan Daniel. (Catatan: Surat Nabi Yeremia dianggap sebagai pasal 6
dari kitab Barukh). Hal ini dilakukan atas alasan bahwa mereka tidak
dapat menemukan versi Ibrani dari kitab-kitab yang ditolak diatas.
Gereja
Kristen tidak menerima hasil keputusan rabbi-rabbi Yahudi ini dan tetap
terus menggunakan Septuagint. Pada konsili di Hippo tahun 393 Masehi
dan konsili Kartago tahun 397 Masehi, Gereja secara resmi menetapkan 46
kitab hasil dari kanon Alexandria sebagai kanon bagi Kitab-kitab
Perjanjian Lama. Selama enam belas abad, kanon Alexandria diterima
secara bulat oleh Gereja. Masing-masing dari tujuh kitab yang ditolak
oleh konsili Jamnia, dikutip oleh para Bapa Gereja perdana (Church
Fathers) sebagai kitab-kitab yang setara dengan kitab-kitab lainnya
dalam Perjanjian Lama. Bapa-bapa Gereja, beberapa diantaranya disebutkan
disini: St. Polycarpus, St. Irenaeus, Paus St. Clement, dan St.
Cyprianus adalah para pemimpin spiritual umat Kristen yang hidup pada
abad-abad pertama dan tulisan-tulisan mereka - meskipun tidak dimasukkan
dalam Perjanjian Baru - menjadi bagian dari Deposit Iman. Tujuh kitab
berikut dua tambahan kitab yang ditolak tersebut dikenal oleh Gereja
Katolik sebagai Deuterokanonika (second-listed), atau kanon kedua.
Disebut demikian karena disertakan dalam kanon Kitab Suci setelah
melalui banyak perdebatan.
GEREJA KATOLIK MENDAHULUI KITAB PERJANJIAN BARU
Seperti
Kitab-kitab Perjanjian Lama, Kitab-kitab Perjanjian Baru juga tidak
ditulis oleh satu orang, tetapi adalah hasil karya setidaknya delapan
orang. Kitab Perjanjian Baru terdiri dari 4 kitab Injil, 14 surat Rasul
Paulus, 2 surat Rasul Petrus, 1 surat Rasul Yakobus, 1 surat Rasul
Yudas, 3 surat Rasul Yohanes dan Wahyu Rasul Yohanes dan Kisah Para
Rasul yang ditulis oleh Santo Lukas, yang juga menulis Kitab Injil yang
ketiga. Sejak kitab Injil yang pertama yaitu Injil Matius sampai kitab
Wahyu Yohanes, ada kira-kira memakan waktu 50 tahun. Tuhan Yesus
sendiri, sejauh yang kita ketahui, tidak pernah menuliskan satu barispun
dari kitab Perjanjian Baru. Dia tidak pernah memerintahkan para Rasul
untuk menuliskan apapun yang diajarkan oleh-Nya. Melainkan Dia berkata:
"Maka pergilah dan ajarlah segala bangsa" (Matius 28:19-20),
"Barangsiapa mendengarkan kamu, ia mendengarkan Aku" (Lukas 10:16).
Apa
yang Yesus perintahkan kepada mereka persis sama seperti apa yang Yesus
sendiri lakukan: menyampaikan Firman Allah kepada orang-orang melalui
kata-kata, meyakinkan, mengajar, dan menpertobatkan mereka dengan
bertemu muka. Jadi bukan melalui sebuah buku yang mungkin bisa rusak dan
hilang, dan disalah tafsirkan dan diubah-ubah isinya, melainkan melalui
cara yang lebih aman dan alami dalam menyampaikan firman yaitu dari
mulut ke mulut. Demikianlah para Rasul mengajar generasi seterusnya
untuk melakukan hal yang serupa setelah mereka meninggal. Oleh karena
itu melalui Tradisi seperti inilah Firman Allah disampaikan kepada
generasi-generasi umat Kristen sebagaimana pertama kali diterima oleh
para Rasul.
Tidak
satu barispun dari kitab-kitab Perjanjian Baru dituliskan sampai
setidaknya 10 tahun setelah wafatnya Kristus. Yesus disalibkan pada
circa tahun 33 dan kitab Perjanjian Baru yang pertama ditulis yaitu
surat 1 Tesalonika baru ditulis sekitar tahun 50 Masehi. Sedangkan kitab
terakhir yang ditulis yaitu kitab Wahyu Yohanes pada sekitar 90-100
Masehi. Jadi anda bisa melihat kesimpulan penting disini: Gereja dan
iman Katolik sudah ada sebelum Alkitab dijadikan. Beribu-ribu orang
bertobat menjadi Kristen melalui khotbah para Rasul dan missionaris di
berbagai wilayah, dan mereka percaya kepada kebenaran Ilahi seperti kita
percaya sekarang, dan bahkan menjadi orang-orang kudus tanpa pernah
melihat ataupun membaca satu kalimatpun dari kitab Perjanjian Baru. Ini
karena alasan yang sederhana yaitu bahwa pada waktu itu Alkitab seperti
yang kita kenal, belum ada. Jadi, bagaimanakah mereka menjadi Kristen
tanpa pernah melihat Alkitab? Yaitu dengan cara yang sama orang
non-Kristen menjadi Kristen pada masa kini, yaitu dengan mendengar
Firman Allah dari mulut para misionaris.
GEREJA KATOLIK MENETAPKAN KITAB PERJANJIAN BARU
Ke-dua
puluh tujuh kitab diterima sebagai Kitab Suci Perjanjian Baru baik oleh
umat Kristen Katolik maupun Kristen lain. Pertanyaannya adalah: Siapa
yang memutuskan kanonisasi Perjanjian Baru sebagai kitab-kitab yang
berasal dari inspirasi Allah? Kita tahu bahwa Alkitab tidak jatuh dari
langit, jadi darimana kita tahu bahwa kita bisa percaya kepada setiap
kita-kitab tersebut?
Berbagai
uskup membuat daftar kitab-kitab yang diakui sebagai inspirasi Ilahi,
diantaranya: [1] Mileto, uskup Sardis pada tahun 175 Masehi; [2] Santo
Irenaeus, uskup Lyons - Perancis pada tahun 185 Masehi; [3] Eusebius,
uskup Caesarea pada tahun 325 Masehi.
Pada
tahun 382 Masehi, didahului oleh Konsili Roma, Paus Damasus menulis
dekrit yang menulis daftar kitab-kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian
Baru yang terdiri dari 73 kitab.
Konsili Hippo di Afrika Utara pada tahun 393 menetapkan ke 73 kitab-kitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru.
Konsili
Kartago di Afrika Utara pada tahun 397 menetapkan kanon yang sama untuk
Alkitab Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Catatan: Ini adalah
konsili yang dianggap oleh banyak pihak non-Katolik sebagai yang
menentukan bagi kanonisasi kitab-kitab dalam Perjanjian Baru.
Paus
Santo Innocentius I (401-417) pada tahun 405 Masehi menyetujui
kanonisasi ke 73 kitab-kitab dalam Alkitab dan menutup kanonisasi
Alkitab.
Jadi
kanonisasi Alkitab telah ditetapkan di abad ke empat oleh
konsili-konsili Gereja Katolik dan para Paus pada masa itu. Sebelum
kanon Alkitab ditetapkan, ada banyak perdebatan. Ada yang beranggapan
bahwa beberapa kitab Perjanjian Baru seperti surat Ibrani, surat Yudas,
kitab Wahyu, dan surat 2 Petrus, adalah bukan hasil inspirasi Allah.
Sementara pihak lain berpendapat bahwa beberapa kitab yang tidak
dikanonisasi seperti: Gembala Hermas, Injil Petrus dan Thomas,
surat-surat Barnabas dan Clement adalah hasil inspirasi Allah. Keputusan
resmi wewenang Gereja Katolik menyelesaikan hal diatas sampai sekitar
1100 tahun kemudian. Hingga jaman Reformasi Protestan, praktis tidak ada
lagi perdebatan akan kitab-kitab dalam Alkitab.
Melihat
sejarah, Gereja Katolik menggunakan wibawa dan kuasanya untuk
menentukan kitab-kitab yang mana yang termasuk dalam Alkitab dan
memastikan bahwa segala yang tertulis dalam Alkitab adalah hasil
inspirasi Allah. Jika bukan karena Gereja Katolik, maka umat Kristen
tidak akan dapat mengetahui yang mana yang benar.
KITAB VULGATA - KARYA SANTO YEREMIA
Ketika
Kabar Gembira telah tersebar luas dan banyak orang menjadi Kristen,
merekapun dibekali dengan terjemahan Kitab Perjanjian Lama dalam bahasa
asli mereka yaitu Armenia, Siria, Koptik, Arab dan Ethiopia bagi umat
Kristen perdana di wilayah-wilayah ini. Bagi umat Kristen di Afrika
dimana bahasa Latin paling luas digunakan, ada terjemahan kedalam bahasa
Latin yang dibuat sekitar tahun 150 Masehi dan juga terjemahan
berikutnya bagi umat di Italia. Akan tetapi semua ini akhirnya
digantikan oleh karya besar yang dibuat oleh Santo Yeremia dalam bahasa
Latin yang disebut "Vulgata" pada abad ke-empat. Pada masa itu ada
kebutuhan besar akan Kitab Suci dan ada bahaya karena variasi terjemahan
yang ada. Oleh karena itu sang biarawan, yang mungkin pada waktu itu
adalah orang yang paling terpelajar, atas perintah Paus Santo Damascus
pada tahun 382, membuat terjemahan Kitab Perjanjian Baru dalam bahasa
Latin dan mengoreksi versi-versi yang ada dalam bahasa Yunani. Lantas di
Bethlehem antara tahun 392-404, dia juga menterjemahkan Kitab-kitab
Perjanjian Lama langsung dari bahasa Ibrani (jadi bukan dari Septuagint)
kedalam bahasa Latin, kecuali kitab Mazmur yang direvisi dari versi
Latin yang sudah ada. Ini adalah Alkitab lengkap yang diakui resmi oleh
wewenang Gereja Katolik, yang nilainya tak terukur menurut para ahli
alkitab masa kini, dan terus mempengaruhi versi-versi lainnya sampai
pada jaman Reformasi Protestan. Dari Vulgata inilah dihasilkan
terjemahan dalam bahasa Inggris yang terkenal yaitu Douai-Rheims Bible.
HILANGNYA KITAB-KITAB ASLI
Hingga
ditemukannya mesin cetak pada tahun 1450, semua Alkitab adalah hasil
salinan tangan yang kita sebut manuskrip. Alkitab lengkap tertua yang
masih ada hingga sekarang berasal dari abad ke-empat, dan isinya sama
dengan Alkitab yang dipegang oleh umat Katolik yaitu terdiri dari 73
kitab. Apa yang terjadi dengan manuskrip-manuskrip asli yang ditulis
oleh para penulis kitab Injil? Ada beberapa alasan akan hilangnya
kitab-kitab asli tersebut:
Beberapa
ratus tahun pertama adalah masa-masa penganiayaan terhadap umat
Kristen. Para penguasa yang menindas Gereja Katolik menghancurkan segala
hal yang menyangkut Kristenitas yang bisa mereka temukan. Selanjutnya,
kaum pagan (non-Kristen) juga secara berulang-ulang menyerang kota-kota
dan perkampungan Kristen dan membakar dan menghancurkan gereja dan
segala benda-benda religius yang dapat mereka temukan disana. Lebih jauh
lagi, mereka bahkan memaksa umat Kristen untuk menyerahkan kitab-kitab
suci dibawah ancaman nyawa, lantas membakar kitab-kitab tersebut.
Alasan
lainnya: media yang dipakai untuk menuliskan ayat-ayat Alkitab, disebut
papirus - sangat mudah hancur dan tidak tahan lama, sedangkan perkamen,
yang terbuat dari kulit binatang dan lebih tahan lama, sulit didapat.
Kedua materi inilah yang disebutkan dalam 2 Yohanes 1:12 dan 2 Timotius
4:13. Umat Kristen perdana, setelah membuat salinan Alkitab, juga tampak
tidak terlalu peduli untuk menjaga kitab aslinya. Mereka tidak
beranggapan penting untuk memelihara tulisan-tulisan asli oleh Santo
Paulus atau Santo Matius oleh karena mereka percaya penuh kepada kuasa
mengajar Gereja Katolik yang mengajarkan iman Kristen melalui para Paus
dan para uskup-uskupnya. Umat Katolik tidak melandaskan ajaran-ajarannya
pada Alkitab semata-mata, tetapi juga kepada Tradisi Hidup, dari Gereja
Katolik yang infallible. ubi Ecclesia, ibi Christus.
ALKITAB PADA ABAD PERTENGAHAN
Segenap
umat Kristen berhutang budi kepada para kaum religius, imam, biarawan
dan biarawati yang menyalin, memperbanyak, memelihara dan
menyebar-luaskan Alkitab selama berabad-abad. Para biarawan adalah kaum
yang paling terpelajar pada jamannya dan salah satu kegiatan utama
mereka adalah menyalin isi Alkitab sedangkan biara-biara menjadi pusat
penyimpanan naskah-naskah Alkitab ini. Umumnya masing-masing biara-biara
di abad pertengahan memiliki perpustakaan tersendiri. Tidak kurang dari
para raja dan kaum bangsawan dan orang-orang terkenal meminjam dari
biara-biara ini. Para raja dan kaum bangsawan itu sendiri, bersama para
Paus, uskup dan kepala-kepala biara, sering menghadiahkan Kitab Suci
yang diberi hiasan yang indah kepada biara-biara dan gereja-gereja di
seluruh Eropa.
Untuk
menyalin satu Alkitab lengkap, diperlukan sekurangnya 10 bulan tenaga
kerja dan sejumlah besar perkamen yang mahal harganya untuk memuat lebih
dari 35000 ayat-ayat dalam Alkitab. Hal ini menjelaskan mengapa orang
banyak tidak mampu memiliki setidaknya satu set Alkitab lengkap di
rumah-rumah mereka. Mereka biasanya hanya memiliki salinan dari sejumlah
pasal dalam Alkitab yang populer. Jadi kebiasaan memiliki bagian
tertentu dari Alkitab secara terpisah adalah kebiasaan yang sepenuhnya
Katolik dan yang hingga kini masih dilakukan.
Alkitab
pada abad pertengahan umumnya ditulis dalam bahasa Latin. Hal ini
dilakukan sama sekali bukan dimaksudkan untuk menyulitkan umat yang
ingin membacanya. Kebanyakan orang pada masa itu buta huruf, sedangkan
mereka yang mampu membaca, juga dapat mengerti bahasa Latin. Latin
adalah bahasa universal pada waktu itu. Mereka yang mampu membaca lebih
menyukai membaca Vulgata, versi Latin dari Alkitab. Oleh karena
kenyataan tersebut, tidak ada alasan kuat untuk menterjemahkan Alkitab
ke dalam bahasa-bahasa setempat secara besar-besaran. Namun meski
demikian harap diingat bahwa sepanjang sejarah Gereja Katolik tetap
menyediakan terjemahan Alkitab dalam bahasa-bahasa setempat.
MARTIN LUTHER DAN ALKITAB PROTESTAN
Pada
tahun 1529, Martin Luther mengajukan kanon Palestina yang menetapkan 39
kitab dalam bahasa Ibrani sebagai kanon Perjanjian Lama. Luther mencari
pembenaran dari keputusan konsili Jamnia (yang adalah konsili imam
Yahudi, jadi bukan sebuah konsili Gereja Kristen!) bahwa tujuh kitab
yang dikeluarkan dari Perjanjian Lama tidak memiliki kitab-kitab aslinya
dalam bahasa Ibrani. Luther melakukan hal tersebut terutama karena
sejumlah ayat-ayat yang terdapat pada kitab-kitab tersebut justru
menguatkan doktrin-doktrin Gereja Katolik dan bertentangan dengan
doktrin-doktrin baru yang dikembangkan oleh Martin Luther sendiri.
Oleh
karena alasan yang serupa, Martin Luther juga nyaris membuang beberapa
kitab-kitab lainnya: surat Yakobus, surat Ibrani, kitab Ester dan kitab
Wahyu. Hanya karena bujukan kuat oleh para pendukung kaum reformasi
Protestan yang lebih konservatif maka kitab-kitab diatas tetap
dipertahankan dalam Alkitab Protestan. Namun demikian, tidak kurang
Martin Luther mengecam bahwa surat Yakobus tidak pantas dimasukkan dalam
Alkitab.
Untuk
mendukung salah satu doktrinnya yang terkenal yaitu Sola Fide (bahwa
kita dibenarkan hanya oleh iman saja), dalam Alkitab terjemahan bahasa
Jerman, Martin Luther menambahkan kata 'saja' pada surat Roma 3:28.
Sehingga ayat tersebut berbunyi: "Karena kami yakin, bahwa manusia
dibenarkan karena iman saja, dan bukan karena ia melakukan hukum
Taurat". Tidak heran kalau Martin Luther meremehkan surat Rasul Yakobus
dan berusaha untuk membuangnya dari Perjanjian Baru, karena justru dalam
surat Yakobus ada banyak ayat yang menjatuhkan doktrin Sola Fide yang
diciptakan oleh Martin Luther tersebut. Antara lain, dalam Yakobus
2:14-15 tertulis: "Apakah gunanya, saudara-saudaraku, jika seorang
mengatakan, bahwa ia mempunyai iman, padahal ia tidak mempunyai
perbuatan? Dapatkah iman itu menyelamatkan dia?" dan Yakobus 2:17
"Demikian juga halnya dengan iman: Jika iman itu tidak disertai
perbuatan, maka iman itu pada hakekatnya adalah mati" dan Yakobus 2:24
"Jadi kamu lihat, bahwa manusia dibenarkan karena perbuatan-perbuatannya
dan bukan hanya karena iman."
Pertanyaannya
sekarang adalah: Kitab Perjanjian Lama manakah yang lebih baik anda
baca? Kitab Perjanjian Lama yang digunakan oleh Yesus, para penulis
kitab-kitab Perjanjian Baru dan Gereja purba? Atau Kitab Perjanjian Lama
yang ditetapkan oleh imam-imam Yahudi yang menolak Yesus Kristus dan
menindas umat Kristen purba?
ALKITAB KATOLIK
Bahkan
sebelum pecahnya Reformasi Protestan, ada banyak versi-versi Alkitab
yang beredar pada masa itu. Banyak diantaranya mengandung
kesalahan-kesalahan yang disengaja - seperti dalam kasus-kasus kaum
bidaah, penyeleweng ajaran gereja yang berusaha mendukung
doktrin-doktrin yang mereka ciptakan sendiri, dengan menuliskan Alkitab
yang sudah diganti-ganti isinya. Ada juga kesalahan-kesalahan yang tidak
disengaja oleh karena faktor manusia (human error), mengingat pekerjaan
menyalin Alkitab dilakukan dengan tulisan tangan, ayat demi ayat, yang
sangat memakan waktu dan tenaga.
Oleh
karena itu pada Konsili di Florence pada abad ke lima belas, para
pemimpin Gereja menguatkan keputusan yang dibuat pada konsili-konsili
sebelumnya mengenai kitab-kitab yang ada dalam Alkitab.
Setelah
meletusnya Reformasi Protestan, pada Konsili Trente oleh Gereja Katolik
pada tahun 1546 dikeluarkanlah dekrit yang mensahkan Vulgata, versi
Latin dari Alkitab sebagai satu-satunya versi resmi yang diakui dan sah
untuk umat Katolik. Alkitab ini direvisi oleh Paus Sixtus V pada tahun
1590 dan juga oleh Paus Clement VIII pada tahun 1593.
Selanjutnya pada konsili Vatikan I, kembali Gereja Katolik menegaskan keputusan
konsili-konsili sebelumnya tentang Alkitab. Oleh karena itu di akhir tulisan ini, kita dapat membuat beberapa kesimpulan:
Berdasarkan
sejarah, Alkitab adalah sebuah kitab Katolik. Perjanjian Baru ditulis,
disalin dan dikoleksi oleh umat Kristen Katolik. Kanon resmi dari
kitab-kitab yang membentuk Alkitab - Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru
- ditentukan secara berwibawa oleh wewenang Gereja Katolik pada abad ke
empat.
Menuruti
akal sehat dan logika, Gereja Katolik yang memiliki kuasa untuk
menentukan Firman Allah yang infallible - bebas dari kesalahan -, pasti
juga memiliki otoritas yang infallible - bebas dari kesalahan - dan juga
bimbingan dari Roh Kudus. Seperti telah anda lihat, terlepas dari
deklarasi oleh Gereja Katolik, kita sama sekali tidak memiliki jaminan
bahwa apa yang tertulis dalam Alkitab adalah Firman Allah yang asli.
Jika anda percaya kepada isi Alkitab maka anda juga harus percaya kepada
wibawa Gereja Katolik yang menjamin keaslian Alkitab. Adalah suatu
kontradiksi bagi seseorang untuk menerima kebenaran Alkitab tetapi
menolak wibawa Gereja Katolik. Logikanya, mereka mestinya tidak mengutip
isi Alkitab sama sekali, karena mereka tidak memiliki pegangan untuk
menentukan kitab-kitab mana saja yang asli, kecuali tentunya kalau
mereka menerima wibawa mengajar Gereja Katolik.
TANYA – JAWAB
Pertanyaan: Mengapa Alkitab umat Katolik terdiri dari 73 kitab sedangkan Alkitab umat Protestan terdiri dari 66 kitab?
Jawaban: Gereja Katolik melandaskan Perjanjian Lama pada Kanon Alexandria - lebih dari satu abad sebelum kelahiran Yesus Kristus - yang menetapkan 43 kitab yang disebut Septuagint sebagai kitab-kitab Perjanjian Lama. Protestan melandaskan Perjanjian Lama pada Kanon Palestina yang diadakan oleh imam-imam Yahudi untuk memerangi umat Kristen, sekitar tahun 100 Masehi. Perlu dicatat bahwa baik Yesus maupun para murid-muridNya menggunakan Septuagint yaitu berdasarkan Kanon Alexandria. Tidakkah anda sebagai umat Kristen, mestinya memakai Kitab Perjanjian Lama yang dipergunakan oleh Yesus dan para murid-muridNya, dan bukan malahan menggunakan versi Perjanjian Lama yang ditetapkan oleh para imam Yahudi yang ditetapkan puluhan tahun setelah wafat dan kebangkitan Yesus?
Pertanyaan: Benarkah bahwa Gereja Katolik pernah melarang umat Kristen untuk membaca Alkitab dan apakah benar bahwa atas berkat jasa Martin Luther maka umat Katolik sekarang boleh membaca Alkitab?
Jawaban: Satu-satunya kejadian dalam sejarah Gereja menyangkut larangan kaum awam membaca/memiliki Alkitab dikeluarkan hanya oleh beberapa uskup di Perancis pada abad ke-13 untuk memerangi kaum bidaah Albigensian di Perancis. Larangan itu dihapuskan 40 tahun kemudian setelah pupusnya pendukung bidaah tersebut. Jadi wewenang Gereja Katolik tidak pernah mengeluarkan larangan kepada umat Katolik untuk membaca Alkitab. Apalagi anggapan bahwa Martin Luther memiliki jasa apapun atas Gereja Katolik. Ada dongeng yang mengisahkan bahwa Martin Luther-lah yang "menemukan" Alkitab. Tapi kalau anda membaca buku-buku sejarah gereja yang berbobot, maka anda akan menemukan bahwa justru Martin Luther-lah yang bertanggung jawab menghapuskan kitab-kitab Deuterokanonika dari Perjanjian Lama, dan bahkan nyaris menghapuskan lebih banyak lagi kitab-kitab dari dalam Alkitab.
Pertanyaan: Benarkah bahwa Gereja Katolik mempersulit umat Kristen untuk membaca Alkitab dengan hanya menyediakan terjemahan dalam bahasa Latin?
Jawaban: Pada waktu itu, orang yang mampu membaca, juga mampu membaca Latin. Karena Latin adalah bahasa internasional pada jaman itu. Lebih jauh lagi, Vulgata, versi Latin dari Alkitab hasil karya Santo Yeremia amat digemari oleh umat Kristen. Jadi tidak ada kebutuhan yang mendesak untuk menyediakan Alkitab dalam berbagai bahasa. Namun demikian ada juga terjemahan Kitab Suci dalam bahasa-bahasa setempat.
Pertanyaan: Benarkah bahwa Gereja Katolik pernah membakar Alkitab?
Jawaban: Selama berabad-abad Gereja dilanda oleh berbagai bidaah (heresy). Para pendukung bidaah menggunakan Alkitab yang sudah diselewengkan isinya untuk mendukung doktrin-doktrin mereka sendiri. Gereja Katolik sebagai penjaga keaslian Alkitab juga berhak dan berwibawa untuk memastikan bahwa umat Kristen memiliki Alkitab yang isinya tidak dikorupsi demi kepentingan sekelompok orang. Oleh karena itu otoritas Gereja Katolik memusnahkan alkitab-alkitab yang isinya mengandung kesalahan ini dan sebagai gantinya menyediakan Alkitab yang murni isinya. Martin Luther bukan satu-satunya orang yang pernah mengubah isi Alkitab.
Pertanyaan: Jika penggunaan Alkitab meluas pada abad-abad pertengahan, mengapa hanya sedikit kitab-kitab kuno ini yang tertinggal?
Jawaban: Ada beberapa alasan. Pertama, ada banyak terjadi peperangan sehingga banyak manuskrip-manuskrip kuno ini ikut musnah. Kedua, media yang dipergunakan mudah rusak dan tidak tahan lama. Ketiga, pengrusakan besar-besaran yang dilakukan dengan sengaja seperti pada masa pecahnya reformasi Protestan. Kaum pendukung reformasi Protestan menghancurkan segala hal yang berbau Katolik. Gereja-gereja, biara-biara, tempat-tempat ziarah beserta penghuni dan semua isinya yang bernilai tinggi menjadi korban pergolakan.
Pertanyaan: Mengapa kitab-kitab yang ditolak dari Perjanjian Lama oleh imam-imam Yahudi itu disebut sebagai Deuterokanonika?
Jawaban: Deuterokanonika artinya kira-kira kanon kedua. Disebut demikian karena disertakan setelah melalui banyak perdebatan. Santo Yeremia sendiri pernah mengutarakan kekhawatirannya akan keaslian kitab-kitab tersebut. Akan tetapi keputusan konsili-konsili Gereja Katolik dan para Paus menghentikan perdebatan dan menghapus kekhawatiran para ahli teologi pada masa itu. Santo Agustinus dari Hippo - salah satu Bapa dan Pujangga Gereja - pernah mengatakan begini: "Aku tidak akan meletakkan imanku pada kitab Injil, jika bukan karena otoritas Gereja Katolik yang mengarahkan aku untuk berbuat demikian." Bahwa keputusan Gereja Katolik untuk tetap mempertahankan kitab-kitab Deuterokanonika dan mengabaikan Kanon Palestina, menunjukkan bimbingan Roh Kudus yang membawa kepada segala kebenaran (Yohanes 16:13). Ketika Gulungan-gulungan Laut Mati (Dead Sea Scrolls) ditemukan di Qumran, tepi barat sungai Yordan pada abad ke-20 ini, diantaranya terdapat sebagian salinan-salinan asli dalam bahasa Ibrani atas sejumlah kitab-kitab Deuterokanonika.
Pertanyaan: Mengapa disebutkan bahwa Deuterokanonika terdiri dari tujuh kitab sedangkan dalam Alkitab bahasa Indonesia yang saya miliki ada sepuluh bagian dalam Deuterokanonika?
Jawaban: Tujuh kitab-kitab tersebut adalah Tobit, Yudit, Kebijaksanaan Salomo, Yesus bin Sirakh, Barukh, 1 Makabe dan 2 Makabe. Tambahan-tambahan pada kitab Ester dan Daniel tentunya dimasukkan kedalam kitab-kitab yang bersangkutan sedangkan Surat Nabi Yeremia dimasukkan sebagai pasal 6 dari kitab Barukh. Dalam Alkitab bahasa Indonesia terbitan Lembaga Alkitab Indonesia, kitab-kitab Deuterokanonika diletakkan ditengah, jadi tidak sesuai urutan yang semestinya. Ini untuk memudahkan penerbit yang sama menerbitkan Alkitab versi Protestan, yaitu tanpa Deuterokanonika. Jika anda membeli Alkitab dalam bahasa Inggris seperti di Amerika contohnya, kitab-kitab Deuterokanonika dimasukkan dalam urutannya yang alami. Perlu juga disebutkan disini bahwa versi-versi Alkitab Protestan pada awalnya - seperti versi asli King James Bible - masih memiliki Deuterokanonika di dalamnya.
Pertanyaan: Ada berapakah versi Alkitab dalam bahasa Inggris?
Jawaban: Dalam bahasa Inggris, ada beberapa versi Alkitab baik bagi umat Katolik maupun Protestan. Bagi umat Katolik ada versi RSVCE (Revised Standard Version Catholic Edition) yang dipakai sebagai terjemahan resmi. Ada NAB (New American Bible) yaitu yang merupakan Alkitab yang populer di kalangan umat Katolik di Amerika Serikat. Ada juga NJB (New Jerusalem Bible) yaitu Alkitab yang diterjemahkan dari bahasa Ibrani dan dipakai oleh sebagian kalangan Gereja Katolik dari ritus-ritus Timur. RSVCE adalah versi yang paling serupa dengan bahasa asli kitab suci karena merupakan terjemahan kata-demi-kata. Sedangkan NAB dan NJB serta beberapa versi lainnya merupakan terjemahan yang sudah disesuaikan dengan pemakaian bahasa Inggris pada masa kini, jadi penekanan pada segi arti dari kata-kata/kalimat yang dipakai pada bahasa asli kitab suci. Beberapa versi Alkitab Protestan, diantaranya adalah: RSV (Revised Standard Version), KJV (King James Version), NIV (New International Version), Tyndale Bible dan Zonderfan Bible. Untuk mengenalinya mudah saja, di dalamnya tidak terdapat kitab-kitab Deuterokanonika. Sebetulnya ada juga yang menyertakan kitab-kitab Deuterokanonika, yaitu yang diterbitkan oleh penerbit-penerbit sekuler seperti Oxford dan lain-lain. Namun mereka menyebut Deuterokanonika dengan sebutan Apokrif (Apocripha). Alkitab-alkitab Katolik juga memiliki Imprimatur dan Nihil-Obstat yang dapat anda temukan pada bagian muka dari Alkitab tersebut. Ini praktisnya adalah tanda bahwa buku yang bersangkutan telah diperiksa oleh Gereja Katolik, apakah itu imam ataupun uskup. Jika anda ingin memiliki Alkitab Katolik bahasa Inggris, silakan membeli salah satu versi Katolik yang telah disebutkan diatas. Alkitab NAB selalu memiliki catatan kaki yang membantu memperjelas ayat-ayat dan perikop-perikop dalam Kitab Suci. NAB study-bible terbitan Oxford juga dilengkapi dengan penjelasan-penjelasan sejarah PL dan PB. Harga Alkitab NAB bahasa Inggris bervariasi sekitar US$7 sampai US$24.
Pertanyaan: Ada sementara orang yang percaya bahwa di dalam Alkitab umat Kristiani telah terjadi salah terjemahan yang sangat fatal: yaitu kata "Lord" dalam bahasa Inggris diterjemahkan sebagai "Tuhan" dalam bahasa Indonesia, padahal kamus Inggris-Indonesia menyebutkan bahwa kata "lord" mestinya diterjemahkan sebagai "tuan", bukan "Tuhan". Dengan demikian hal ini mendukung teori agama mereka yang mengatakan bahwa Yesus jelas bukan Tuhan dan sekedar manusia biasa.
Jawaban: Pertama-tama perlu ditegaskan disini, bahwa Alkitab bahasa Indonesia tidaklah diterjemahkan dari Alkitab bahasa Inggris. Lihatlah pada bagian awal Alkitab dimana tertulis bahwa "Teks Perjanjian Lama diterjemahkan dari Bahasa Ibrani. Teks Perjanjian Baru diterjemahkan dari Bahasa Yunani. Teks Deuterokanonika diterjemahkan dari Bahasa Yunani". Kedua, perlu diketahui bagi orang Indonesia yang jelas bukan native English speaker - bahwa kata "Lord" dalam Alkitab berarti "God" atau "Tuhan". Kata "Lord" bukan hanya digunakan pada Yesus, tetapi juga pada Allah Bapa dalam ayat-ayat Perjanjian Lama.
________________________________________
Penulis : Jeffry Komala
Nara
sumber:[1] Where We Got The Bible: Our Debt to the Catholic Church,
22nd edition, by The Right Rev. Henry G. Graham, published by Tan Books
& Publishers, Inc.;[2] Beginning Apologetics 1: How to Explain and
Defend The Catholic Faith, by Father Frank Chacon and Jim Burnham,
published by San Juan Catholic Seminars;[3] The Catholic Bible (NAB):
Personal Study Edition, published by Oxford University Press;[4]
Berbagai situs web Katolik di Internet.
Rekomendasi bacaan: A History of Christendom (6 volumes), by Warren H. Carroll.
Sumber inspirasi: The Catholic Answer lay apostolate. Website:http://www.catholic.com/
Rekomendasi bacaan: A History of Christendom (6 volumes), by Warren H. Carroll.
Sumber inspirasi: The Catholic Answer lay apostolate. Website:http://www.catholic.com/
Lihat juga: Sejarah Terbentuknya Kitab Suci Bagian II
Pax et Bonum
follow Indonesian Papist's Twitter