Kisah si anak hilang yang kembali ke pangkuan bapanya. Luk 15:1-3,11-32.
Judul topik di atas adalah hendak kami sampaikan untuk membahas bacaan injil kita hari ini, yang menurut kami adalah memberikan gambaran tentang dosa, pertobatan dan pengampunan.
Saya mulai dengan seputar dosa dan pengampunan dosa.
Dalam dosa, manusia menolak panggilan Allah, sehingga manusia mengalami maut atau kebinasaan. (...Melalui korban salib oleh Yesus Kristus, manusia mengalami penebusan dosa. Melalui kebangkitan Yesus, manusia dibukakan pintu Kerajaan Allah);
Dosa adalah penghalang bagi manusia menuju Kerajaan Allah. Akibat dosa, manusia menjadi terpisah dengan Allah [ini sesungguhnya keadaan yang sagat menyakitkan itu], karena itu dosa harus dihapuskan dari kehidupan manusia (....“Beberapa hari kemudian anak bungsu itu menjual seluruh bagiannya itu lalu pergi ke negeri yang jauh. Di sana ia memboroskan harta miliknya itu dengan hidup berfoya-foya. Setelah dihabiskannya semuanya, timbullah bencana kelaparan di dalam negeri itu dan ia pun mulai melarat. Lalu ia pergi dan bekerja pada seorang majikan di negeri itu. Orang itu menyuruhnya ke ladang untuk menjaga babinya. Lalu ia ingin mengisi perutnya dengan ampas yang menjadi makanan babi itu, tetapi tidak seorang pun yang memberikannya kepadanya. Luk 15:13-16);
Untuk mendapatkan penghapusan dosa, manusia harus memperoleh pengampunan (..”Tetapi ayah itu berkata kepada hamba-hambanya: Lekaslah bawa ke mari jubah yang terbaik, pakaikanlah itu kepadanya dan kenakanlah cincin pada jarinya dan sepatu pada kakinya”..- Luk 15:22);
Untuk memperoleh pengampunan, manusia harus mengakukan dosanya ( ...”Aku akan bangkit dan pergi kepada bapaku dan berkata kepadanya: Bapa, aku telah berdosa terhadap sorga dan terhadap bapa”- Luk 15:18);
Untuk mengakukan dosanya, manusia harus melakukan sesal/pertobatan (...”aku tidak layak lagi disebutkan anak bapa; jadikanlah aku sebagai salah seorang upahan bapa..” - Luk 15:19);
Pertobatan menjadi sah (terbenarkan), bila si pendosa menyadari kesalahannya (“Lalu ia menyadari keadaannya, katanya: Betapa banyaknya orang upahan bapaku yang berlimpah-limpah makanannya, tetapi aku di sini mati kelaparan” Luk 15:17);
Lalu kenapa mengaku dosa harus dilakukan dihadapan manusia ?
Dosa adalah keadaan “najis” dihadapan Allah (sebab Allah adalah Kudus). Agar layak dihadapan Allah, maka manusia juga harus dikuduskan. Pengudusan ini diperoleh melalui rahmat pengampunan. Dan pengampunan ini hanya dapat diperoleh jika manusia menyadari kesalahannya [baca: dosanya], kemudian menyesali perbuatannya [dosanya], selanjutnya memintakan pengampunan [atas dosa yang telah dilakukannya].
Harus disadari [melalui terang Kebenaran sehingga kita menjadi yakin dan mengimaninya] bahwa pengampunan adalah rahmat Allah. Dan sesungguhnya, pengampunan diperoleh bukan karena jasa (perbuatan) baik manusia, melainkan semata-mata karena kerahiman Allah.
Kerahiman Allah adalah perbuatan Roh Kudus, dengan kata lain bahwa kerahiman Allah bisa diterimakan manusia melalui [dengan perantaraan] Roh Kudus (dalam ajaran Gereja, bahwa Roh Kudus adalah salah satu pribadi Allah, selain Allah Bapa dan Allah Putra).
Seperti dalam perumpamaan oleh Yesus dalam Lukas 15: 21 bahwa “Kata anak itu kepadanya: Bapa, aku telah berdosa terhadap sorga dan terhadap bapa, aku tidak layak lagi disebutkan anak bapa”. Perikop ini hendak mengajarkan kepada kita bahwa perbuatan [dosa], penyesalan dan pengampunan itu selalu melibatkan sisi manusia dan sisi Allah. Dan kedua sisi ini tidak bisa dipisahkan sebagai satu kesatuan, sebagai kehendak Bapa pada awal penciptaan.
Jika kita mengimani Yesus sebagai Allah [ baik atas dasar Yoh 14:9 "Barang siapa telah melihat Aku, ia telah melihat Bapa" atau Yoh 10:30 “Aku dan Bapa adalah satu”], maka adalah berdosa bila kita menolak perkataanNya (sebab ada tertulis “ ....Inilah Anak yang Kukasihi, dengarkanlah Dia' Mar 9:7 atau “Jikalau Aku tidak melakukan pekerjaan-pekerjaan Bapa-Ku, janganlah percaya kepada-Ku” Yoh 10:37 atau setidaknya di Yoh 10:38 “.....jikalau Aku melakukannya dan kamu tidak mau percaya kepada-Ku, percayalah akan pekerjaan-pekerjaan itu, supaya kamu boleh mengetahui dan mengerti, bahwa Bapa di dalam Aku dan Aku di dalam Bapa).
Nah jika Injil memberikan petunjuk bahwa mengimani Yesus, berarti mutlak harus percaya pada apa yang dikatakanNya [setidaknya perbuatan yang dilakukanNya], maka perkataan Yesus dalam Mat 16:19 – yang berbunyi “Kepadamu akan Kuberikan kunci Kerajaan Sorga. Apa yang kauikat di dunia ini akan terikat di sorga dan apa yang kaulepaskan di dunia ini akan terlepas di sorga” adalah tolok ukur kebenaran yang penuh [untuk menyatakan saya mengimani Yesus].
Gereja Katolik adalah satu-satunya gereja yang mempunyai kesinambungan mandat kuasa apostolik [sebagaimana tertulis di Mat 16:18, yang berbunyi “Dan Aku pun berkata kepadamu: Engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan jemaat-Ku [seharusnya “gereja-Ku”] dan alam maut tidak akan menguasainya”], maka konsekuensinya, kita juga terikat pada apa yang dikatakan oleh orang yang diberi mandat (kuasa mengajar berdasarkan tahbisan yang sah).
Tradisi kekristenan mengajarkan bahwa pengampunan diberikan oleh seorang ayah (bapa) kepada anaknya. Bila seorang anak bersalah kepada orang lain, maka orang lain meminta supaya bapa si anak [karena anak masih menjadi tangggungjawab orang tuanya] untuk bertanggungjawab terhadap kesalahan anaknya (bdk. perumpamaan anak hilang yang kembali lagi ke pangkuan bapanya). Salah satu bentuk pertanggung-jawaban bapak adalah memintakan maaf atas kesalahan anaknya [dan berharap orang lain memaafkannya]. Ini adalah pengampunan dari sisi manusia (oleh manusia kepada manusia).
Bagaimana dengan pengampunan yang datang dari “Sorga” dan dari “bapak” bisa berlangsung sebagai kesatuan tak terpisah seperti perumpamaan oleh Yesus tadi ? Dapatkah seorang “bapa” memberikan pengampunan [atas dosa seseorang] ? Jawabnya : Tidak ! Kenapa ? Karena pengampunan adalah rahmat Allah. Kalau demikian kenapa orang katolik memintakan pengampunan dosa kepada imam (yang adalah manusia juga) ?
Kembali kepada pengakuan iman bahwa Yesus adalah Allah. Dan perkataan Yesus adalah perkataan Roh Kudus [sekaligus apa yang dikehendaki Bapa]. Jika Yesus sudah memberikan mandat kuasa “apa yang kauikat di dunia ini akan terikat di sorga dan apa yang kaulepaskan di dunia ini akan terlepas di sorga” kepada Petrus, maka kuasa mengampuni ini hanya bisa dilakukan secara sakramental. Artinya memerlukan keterlibatan manusia, yang secara sah [karena mandat oleh Yesus, Mat 16:18-19], dapat bertindak atas nama Allah dan sekaligus tidak meninggalkan sisi manusianya.
Nah, siapa orang yang secara khusus dan sah mempunyai kuasa menyelenggarakan sakramen itu ? Hanya imam tertakbislah yang bisa melakukannya. Orang awam tidak bisa !, pendetapun juga tidak bisa !. Sama dengan setiap penyelenggaraan sakramen pengudusan yang lain, begitu pula dengan sakramen pengakuan dosa, bahwa posisi imam tidak menjadikan dirinya sebagai Allah yang mengampuni, melainkan "menghadirkan rahmat pengampunan", sehingga pengampunan itu menjadi nyata dan apa yang dinyatakannya [oleh imam itu] mengikat secara "dunia" dan "akhirat".
Karena itu, barang siapa [yang mengaku kristen] meminta pengampunan dosanya, secara langsung, kepada Allah, maka sikap iman yang demikian adalah tidak lebih dari sebuah doa pengharapan, yang bisa dilakukan oleh siapa saja, kapan saja dan dimana saja. Sedangkan sakramen adalah bukan doa pengharapan.
Kalau demikian, masihkah kita memandang bahwa sakramen pengakuan dosa tidak diperlukan [dengan alasan meminta pengampunan langsung kepada Allah juga tidak dilarang] ???
====
Tambahan:
Sebagai pelayan (hamba Allah), seorang imam [dalam menyelenggarakan sakramen tobat atau pengakuan atau pengampunan atau perdamaian] HANYALAH memerankan sebagai Kristus (in persona Christe) dan BUKAN menjadi Kristus (to be Christe).
Meskipun demikian, seorang peniten [setelah melakukan contritio, confessio, satisfactio dan menerimakan absolutio dari imam ybs] yang dengan sadar, menolak memandang imam sebagai Allah yang berkarya melalui dirinya (imam), maka si penitent telah berbuat dosa. Absolusinya sendiri tidak batal. Ini sama dengan seorang katolik yang sudah dibaptis dan berhak menerima sakramen ekaristi, kemudian ia menerima komuni, tetapi ia menolak bahwa roti yang dia makan bukanlah tubuh Kristus sendiri, melainkan roti biasa atau menganggapnya sekedar simbol saja. Ia telah berdosa, tetapi roti yang yang ia makan tetap tubuh Kristus itu sendiri (bukan lalu menjadi roti biasa).
Perlu diketahui bahwa sakramen mengandung kuasa yang mencapai kedalaman jiwa seseorang, dan hanya Allah yang mampu melakukan hal itu. Jadi walaupun disampaikan oleh para imam, sakramen-sakramen Gereja tersebut merupakan karya Kristus. Kardinal Ratzinger (sekarang Paus Benedict XVI) menyatakan, dari sisi pandang imam sebagai penerus para rasul, sakramen berarti, “Aku memberikan apa yang tidak dapat kuberikan sendiri; aku melakukan apa yang bukan pekerjaanku sendiri… aku (hanyalah) membawakan sesuatu yang dipercayakan kepadaku.”
NB :
- Contritio adalah sesal sempurna atas dosa-dosa dan niat untuk tidak berdosa lagi;
- Confessio adalah pengakuan dosa secara utuh di depan seorang imam;
- Satisfactio adalah perbuatan-perbuatan silih yang sesuai dengan beratnya dosa, seperti disarankan imam (pelayan sakramen) ini dan biasanya terdiri dari doa, puasa dan derma;
Diarsipkan dari fb group Katolik, tulisan oleh De Santo Roberto