AUDIENSI UMUM, 13 SEPTEMBER
Dalam audiensi umum pada hari Rabu 13 September, Bapa Suci Yohanes Paulus I menyampaikan pesan berikut:
Pertama-tama saya menyampaikan salam kepada para rekan Uskup saya, saya melihat mereka cukup banyak disini.Paus Yohanes (XXIII), dalam catatannya yang juga telah dipublikasikan, mengatakan: “Suatu waktu saya memberikan retret mengenai tujuh lentera dari pengudusan”. Tujuh karunia, maksudnya, yaitu iman, harapan, kasih, ketabahan, keadilan, kekuatan, dan pengendalian diri. Dan siapa tahu kalau hari ini Roh Kudus akan menerangi Paus bodoh ini untuk menerangkan paling tidak satu dari lentera-lentera ini, yang pertama, yaitu iman.
Disini, di Roma, ada seorang penyair, namanya Trilussa, yang juga berbicara tentang iman. Dalam salah satu puisinya dia berkata: “Ada satu wanita buta yang aku temui/ dimalam saat aku tersesat di tengah hutan/ wanita buta itu berkata: -Jika kamu tidak tahu jalan/ Aku akan menuntunmu, karena aku tahu jalan/Jika kamu memiliki kekuatan untuk mengikuti aku/dari waktu ke waktu aku memanggilmu, tepat dari bawah sini, dimana ada cypress/tepat ke atas sana dimana ada salib. Aku menjawab: Mungkinkah….tapi ini terasa aneh/ bagaimana aku akan dibimbing oleh orang yang tidak melihat/ wanita buta itu memegang tanganku/ dan berkata: Ayo…inilah iman.” Sebagai puisi ini sangat indah tapi sebagai teologi kacau.
Kacau karena jika kita berbicara tentang iman, maka pemandu kita yang agung adalah Allah. Karena Yesus berkata, “Tidak ada yang datang kepada-Ku kecuali jika Bapa menariknya. (Yohanes 6:65)” St. Paulus tidak memiliki iman, dan malahan dia membantai orang beriman. Tuhan menantikannya dalam jalan menunju ke Damaskus, “Saulus”, Dia memanggilnya, “Jangan mengeraskan kepalamu, jangan menendang, seperti kuda binal. Akulah Yesus yang kau aniaya. Aku membutuhkanmu. Kamu harus berubah!”. Saulus menyerah, dia berubah, dan memulai hidup yang sepenuhnya baru. Beberapa tahun kemudian, dia menulis kepada umat Filipi; “ Saat itu, dijalan menuju Damaskus. Tuhan menangkapku, sejak itu, aku tidak melakukan apapun selain mengejar-Nya, kalau-kalau aku juga dapat menangkap-Nya (Filipi 2: 12), menjadi seupa dengan Dia, dan mencintai-Nya, lebih dan lebih lagi (Filipi 2: 10).”
Itulah iman sebenarnya; penyerahan diri kepada Allah yang juga mengubah hidup seseorang. Sesuatu yang tidak selalu mudah! Agustinus telah menceritakan kepada kita perjalanannya menuju iman; terutama pada beberapa pekan terakhir sebelum ia bertobat ketika semuanya tampak buruk; kita membaca bagaimana dia merasa jiwanya begitu tertekan dan tersiksa oleh konflik dalam batinnya. Di satu sisi Tuhan memanggilnya dan panggilan itu semakin kuat, tapi disisi lain, kebiasaan lama, “kawan lamanya” dia menulis,….” Dan mereka menarik ku dengan lembut menggunakan kedaginganku dan berkata: “Agustinus kenapa?” Kamu mau meninggalkan kami? Lihatlah, kau tidak akan bisa melakukan hal-hal ini lagi, dan kau tidak mau kehilangan semua ini.” Sungguh suatu yang sulit! “Aku rasa”, dia menulis, “seperti seorang yang di tempat tidurnya. Dia berkata:” Keluar Agustinus, bangun!” Akhirnya Tuhan memberiku sebuah sentakan, dan aku bangun. Kalian lihat, seorang tidak bisa berkata: “Ya, tapi nanti yah”. Orang harus menjawab “Ya, Tuhan!” Dan itulah! Itulah iman. Jawaban kepada Allah dengan sepenuhnya. Tapi siapa yang akan mengatakan ‘ya’? Hanya dia yang rendah hati dan mempercayai Tuhan sepenuhnya.
Ibu saya berkata pada saya sewaktu saya masih anak-anak, “Sewaktu kamu kecil, kamu pernah sakit keras. Aku membawamu dari dokter yang satu ke yang lain dan menjagamu sepanjang malam; apakah kamu percaya apa yang aku katakan?” Bagaimana aku dapat berkata: “Aku tidak percaya pada ceritamu, Mama.” ? “Tentu saja aku percaya, bukan hanya percaya pada apa yang kau ceritakan, tetapi lebih lagi, aku percaya padamu.”
Dan itulah iman. Ini bukan hanya soal mempercayai apa yang Tuhan wahyukan kepada kita, tapi juga percaya kepada Dia yang menginginkan iman kita, yang mencintai kita dengan sehabisnya dan yang melakukan begitu banyak hal untuk kebaikan kita.
Memang ada juga sejumlah kebenaran yang sulit diterima, karena kebenaran iman ada dua macam; beberapa menyenangkan, dan yang lainnya menyesakkan hati kita. Sebagai contoh, adalah sangat menyenangkan mengetahui bahwa Tuhan begitu mencintai kita, bahkan melebihi kasih sayang seorang ibu kepada anaknya, seperti dikatakan Nabi Yesaya. Betapa indah dan menenangkan hati hal ini! Ada Uskup Perancis yang terkenal Dupanloup, yang mengatakan kepada Rektor seminarinya: “Para Imam dimasa depan harus bisa menjadi ayah dan sekaligus menjadi ibu”. Ini bisa diterima. Sementara itu kebenaran lain tampak sulit diterima. Allah harus menghukum jika aku melawan kepada-Nya. Dia mencariku, memintaku untuk bertobat dan aku berkata; “Tidak!” Aku telah memaksa Allah menghukum diriku sendiri. Mendengar bahwa Allah menghukum, tidak menyenangkan bagi banyak orang. Tapi ini kebenaran iman. Dan ada kesulitan lain yaitu Gereja. St. Paulus bertanya: “Siapakah Engkau Tuhan?”-“Akulah Yesus yang kau aniaya itu”. Sejenak muncullah ini dipikirannya,” Aku tidak menganiaya Yesus, Aku tidak berurusan dengan Dia, yang ku aniaya pengikut-Nya”. Jelas bahwa Yesus dan orang kristen, Yesus dan Gereja adalah hal yang sama; tidak terceraikan, tidak terpisahkan.
Bacalah surat Santo Paulus: “Corpus Christi quod est Ecclesia (Kol:18)”. Kristus dan Gereja adalah hal yang satu. Kristus lah kepala, Gereja lah Tubuh-Nya. Tidak lah mungkin memiliki iman dan berkata, “Aku percaya pada Yesus tetapi aku tidak menerima Gereja.” Kita harus menerima Gereja seperti apa adanya. Dan seperti apakah Gereja ini? Paus Yohanes menyebutnya “Mater et Magistra”. Ibu dan Guru kita. Seperti St. Paulus juga mengatakan: “Biarlah semua menerima kami sebagai utusan Kristus dan pembagi dari misteri-Nya (cfr. 2 Kor 5:19-20).”
Ketika Paus yang malang ini, ketika para Uskup, dan Imam-Imam menyampaikan suatu ajaran, mereka sedang membantu Kristus. Itu bukan ajaran kami, tetapi Kristus.; kami hanya menjaga dan menyampaikannya. Aku hadir ketika Paus Yohanes membuka Konsili pada 11 Oktober 1962. Dan dia mengatakan! “Kami harap agar Konsili ini akan mendorong Gereja melangkah depan.” Kami juga berharap begitu; tetapi melangkah ke depan, di jalan yang mana? Dia mengatakan saat itu: pada kebenaran yang pasti dan tidak berubah. Tidak pernah terpikir sedikitpun oleh Paus Yohanes bahwa kebenaran harus melangkah ke depan, dan kemudian secara bertahap berubah. Sebaliknya yang benar ialah: kita harus selalu berjalan dalam kebenaran itu (yang pasti dan tidak berubah), membuat diri kita lebih up-to-date, dan menyampaikan kebenaran itu dengan cara yang sesuai perkembangan zaman. Paus Paulus juga menekankan hal yang sama. Hal pertama yang saya lakukan, ketika saya terpilih sebagai Paus, adalah masuk ke Kapel pribadi rumah tanggah kePausan. Di belakang saya ada dua mosaik yang dipajang oleh Paus Paulus satu adalah gambar St. Petrus sedang menghadapi ajal dan satunya lagi gambar St. Paulus menghadapi ajal. Tapi di bahwa gambar St. Petrus tertulis kata-kata Yesus: Aku berdoa untukmu, Petrus, agar imanmu jangan gugur (Luk 22:32).” Dan dibawah gambar St. Paulus yang hendak ditebas pedang tertulis, “ Aku telah mengakhiri perlombaanku. Aku telah menjaga imanku (2 Tim 4:7)” Tahukah kalian pada pembicaraan terakhirnya tanggal 29 Juni Paus Paulus berkata, “ Setelah 15 tahun menjadi Paus, aku bisa bersyukur kepada Allah bahwa aku telah mempertahankan iman. Bahwa aku telah menjaga iman.”
Gereja juga adalah ibu. Jika ia merupakan perpanjangan Kristus, dan Kristus itu baik, maka Gereja harus baik, baik kepada semua orang. Tapi bukankah dalam Gereja juga kadang ada orang-orang jahat? Kita semua punya ibu. Dan jika ibu kita sakit, atau jika ibuku lumpuh, aku akan semakin mencintainya. Begitu juga dengan Gereja. Jika ada, dan memang ada, kekacauan dan masalah dalam Gereja, maka cinta kita terhadap Gereja tidak dapat berkurang. Kemarin, saya dikirimi artikel “Citta Nuova” dan di akhir artikel itu ada tertulis satu cerita dan akan saya gunakan untuk mengakhiri audiensi ini, saya hanya ingat sedikit saja, ada sebuah kisah. Seorang pengkhotbah Inggris MacNabb, berkhotbah di Hyde Park tentang Gereja. Setelah ia selesai berkhotbah, seseorang berkata kepadanya: “Khotbahmu bagus. Tapi aku kenal beberapa Imam Katolik yang hidupnya tidak perduli pada orang miskin dan mereka itu kaya raya. Aku juga kenal seorang Katolik yang suka memukuli istrinya. Aku tidak suka dengan Gereja yang dipenuhi pendosa seperti itu.” Imam itu berkata: “ Dari apa yang kau katakan bolehkah aku membuat perbandingan?”-“Marilah kita dengar”- Imam itu berkata:” Permisi, tapi apakah aku salah melihat kerahmu sedikit kotor?”- dia mengatakan:” Ya memang sedikit kotor”-“ Apakah ini kotor karena belum dicuci dengan sabun. Atau sudah dicuci tapi sabunnya tidak mampu membersihkan?”- “Tidak” katanya, “Aku belum mencuci noda ini dengan sabun.”
Kalian lihatlah. Gereja Katolik memiliki sabun yang luarbiasa: Injil, Sakramen, dan doa. Injil dibaca dan dihidupi, Sakramen dirayakan dengan cara yang benar, berdoa dengan baik, itu akan menjadi sabun yang luar biasa yang mejadikan kita semua dapat menerima kekudusan. Kita semua tidak kudus, karena belum menggunakan sabun ini dengan baik. Mari kita bertemu dengan harapan para Paus yang mengadakan dan melaksanakan Konsili, Paus Yohanes dan Paus Paulus. Mari kita memperbarui Gereja dengan menjadikan diri kita lebih baik. Setiap kita dan seluruh Gereja hendaknya membiasakan diri mendoakan ini; “Tuhan, ini aku, kuserahkan pada-Mu diriku apa adanya, dengan segala kekurangan dan ketidaksempurnaanku, tapi jadikanlah aku seperti yang Engkau inginkan.”
Aku juga harus menyapa kalian yang sakit, yang aku lihat ada disini. Kalian tahu, Yesus berkata: “Aku ada tersembunyi dalam mereka, apa yang kau lakukan untuk mereka, kau melakukannya untuk-Ku.” Jadi kami menghormati Tuhan sendiri yang hadir dalam pribadi kalian, dan kami berharap kalian akan semakin dekat dengan Tuhan, dan Dia akan menolong dan menguatkan kalian.
Dan di kanan kami, ada sejumlah pengantin baru. Mereka telah menerima Sakramen yang agung. Mari kita berharap bahwa sakramen yang telah mereka terima tidak hanya mendatangkan kebaikan dalam hal-hal duniawi tapi juga lebih banyak rahmat rohani. Abad yang lalu ada professor yang hebat, Frederik Ozanam. Dia mengajar di Sorbonne, dan sangat kompeten dan mengagumkan! Temannya Lacordaire berkata: “Dia sangat berbakat, dia juga baik, dia akan menjadi Imam, dan akan menjadi Uskup, yah Uskup yang hebat!”. Apakah begitu? Tidak!.Ozanam bertemu gadis cantik dan kemudian menikah. Lacordaire kecewa dan berkata. “Ozanam malang! Dia jatuh masuk perangkap”. Tapi dua tahun kemudian, Lacordaire pergi ke Roma dan diterima oleh Paus Pius IX, dia menceritakan kepada Paus kisah tentang Ozanam dan kemudian Paus berkata, “ datanglah ke sini Pater”, lanjut Paus, “Sejak dulu saya diajar bahwa Yesus mendirikan tujuh Sakramen. Dan sekarang kau datang kemari dan mengubah segalanya. Kau mengatakan kepadaku bahwa Dia mendirikan enam Sakramen dan satu perangkap! Tidak Pater, perkawinan bukan perangkap, tapi sebuah Sakramen yang agung!”.
Jadi kami sekali lagi menyampaikan selamat untuk para pengantin baru ini: Tuhan memberkati kalian!
Disini, di Roma, ada seorang penyair, namanya Trilussa, yang juga berbicara tentang iman. Dalam salah satu puisinya dia berkata: “Ada satu wanita buta yang aku temui/ dimalam saat aku tersesat di tengah hutan/ wanita buta itu berkata: -Jika kamu tidak tahu jalan/ Aku akan menuntunmu, karena aku tahu jalan/Jika kamu memiliki kekuatan untuk mengikuti aku/dari waktu ke waktu aku memanggilmu, tepat dari bawah sini, dimana ada cypress/tepat ke atas sana dimana ada salib. Aku menjawab: Mungkinkah….tapi ini terasa aneh/ bagaimana aku akan dibimbing oleh orang yang tidak melihat/ wanita buta itu memegang tanganku/ dan berkata: Ayo…inilah iman.” Sebagai puisi ini sangat indah tapi sebagai teologi kacau.
Kacau karena jika kita berbicara tentang iman, maka pemandu kita yang agung adalah Allah. Karena Yesus berkata, “Tidak ada yang datang kepada-Ku kecuali jika Bapa menariknya. (Yohanes 6:65)” St. Paulus tidak memiliki iman, dan malahan dia membantai orang beriman. Tuhan menantikannya dalam jalan menunju ke Damaskus, “Saulus”, Dia memanggilnya, “Jangan mengeraskan kepalamu, jangan menendang, seperti kuda binal. Akulah Yesus yang kau aniaya. Aku membutuhkanmu. Kamu harus berubah!”. Saulus menyerah, dia berubah, dan memulai hidup yang sepenuhnya baru. Beberapa tahun kemudian, dia menulis kepada umat Filipi; “ Saat itu, dijalan menuju Damaskus. Tuhan menangkapku, sejak itu, aku tidak melakukan apapun selain mengejar-Nya, kalau-kalau aku juga dapat menangkap-Nya (Filipi 2: 12), menjadi seupa dengan Dia, dan mencintai-Nya, lebih dan lebih lagi (Filipi 2: 10).”
Itulah iman sebenarnya; penyerahan diri kepada Allah yang juga mengubah hidup seseorang. Sesuatu yang tidak selalu mudah! Agustinus telah menceritakan kepada kita perjalanannya menuju iman; terutama pada beberapa pekan terakhir sebelum ia bertobat ketika semuanya tampak buruk; kita membaca bagaimana dia merasa jiwanya begitu tertekan dan tersiksa oleh konflik dalam batinnya. Di satu sisi Tuhan memanggilnya dan panggilan itu semakin kuat, tapi disisi lain, kebiasaan lama, “kawan lamanya” dia menulis,….” Dan mereka menarik ku dengan lembut menggunakan kedaginganku dan berkata: “Agustinus kenapa?” Kamu mau meninggalkan kami? Lihatlah, kau tidak akan bisa melakukan hal-hal ini lagi, dan kau tidak mau kehilangan semua ini.” Sungguh suatu yang sulit! “Aku rasa”, dia menulis, “seperti seorang yang di tempat tidurnya. Dia berkata:” Keluar Agustinus, bangun!” Akhirnya Tuhan memberiku sebuah sentakan, dan aku bangun. Kalian lihat, seorang tidak bisa berkata: “Ya, tapi nanti yah”. Orang harus menjawab “Ya, Tuhan!” Dan itulah! Itulah iman. Jawaban kepada Allah dengan sepenuhnya. Tapi siapa yang akan mengatakan ‘ya’? Hanya dia yang rendah hati dan mempercayai Tuhan sepenuhnya.
Ibu saya berkata pada saya sewaktu saya masih anak-anak, “Sewaktu kamu kecil, kamu pernah sakit keras. Aku membawamu dari dokter yang satu ke yang lain dan menjagamu sepanjang malam; apakah kamu percaya apa yang aku katakan?” Bagaimana aku dapat berkata: “Aku tidak percaya pada ceritamu, Mama.” ? “Tentu saja aku percaya, bukan hanya percaya pada apa yang kau ceritakan, tetapi lebih lagi, aku percaya padamu.”
Dan itulah iman. Ini bukan hanya soal mempercayai apa yang Tuhan wahyukan kepada kita, tapi juga percaya kepada Dia yang menginginkan iman kita, yang mencintai kita dengan sehabisnya dan yang melakukan begitu banyak hal untuk kebaikan kita.
Memang ada juga sejumlah kebenaran yang sulit diterima, karena kebenaran iman ada dua macam; beberapa menyenangkan, dan yang lainnya menyesakkan hati kita. Sebagai contoh, adalah sangat menyenangkan mengetahui bahwa Tuhan begitu mencintai kita, bahkan melebihi kasih sayang seorang ibu kepada anaknya, seperti dikatakan Nabi Yesaya. Betapa indah dan menenangkan hati hal ini! Ada Uskup Perancis yang terkenal Dupanloup, yang mengatakan kepada Rektor seminarinya: “Para Imam dimasa depan harus bisa menjadi ayah dan sekaligus menjadi ibu”. Ini bisa diterima. Sementara itu kebenaran lain tampak sulit diterima. Allah harus menghukum jika aku melawan kepada-Nya. Dia mencariku, memintaku untuk bertobat dan aku berkata; “Tidak!” Aku telah memaksa Allah menghukum diriku sendiri. Mendengar bahwa Allah menghukum, tidak menyenangkan bagi banyak orang. Tapi ini kebenaran iman. Dan ada kesulitan lain yaitu Gereja. St. Paulus bertanya: “Siapakah Engkau Tuhan?”-“Akulah Yesus yang kau aniaya itu”. Sejenak muncullah ini dipikirannya,” Aku tidak menganiaya Yesus, Aku tidak berurusan dengan Dia, yang ku aniaya pengikut-Nya”. Jelas bahwa Yesus dan orang kristen, Yesus dan Gereja adalah hal yang sama; tidak terceraikan, tidak terpisahkan.
Bacalah surat Santo Paulus: “Corpus Christi quod est Ecclesia (Kol:18)”. Kristus dan Gereja adalah hal yang satu. Kristus lah kepala, Gereja lah Tubuh-Nya. Tidak lah mungkin memiliki iman dan berkata, “Aku percaya pada Yesus tetapi aku tidak menerima Gereja.” Kita harus menerima Gereja seperti apa adanya. Dan seperti apakah Gereja ini? Paus Yohanes menyebutnya “Mater et Magistra”. Ibu dan Guru kita. Seperti St. Paulus juga mengatakan: “Biarlah semua menerima kami sebagai utusan Kristus dan pembagi dari misteri-Nya (cfr. 2 Kor 5:19-20).”
Ketika Paus yang malang ini, ketika para Uskup, dan Imam-Imam menyampaikan suatu ajaran, mereka sedang membantu Kristus. Itu bukan ajaran kami, tetapi Kristus.; kami hanya menjaga dan menyampaikannya. Aku hadir ketika Paus Yohanes membuka Konsili pada 11 Oktober 1962. Dan dia mengatakan! “Kami harap agar Konsili ini akan mendorong Gereja melangkah depan.” Kami juga berharap begitu; tetapi melangkah ke depan, di jalan yang mana? Dia mengatakan saat itu: pada kebenaran yang pasti dan tidak berubah. Tidak pernah terpikir sedikitpun oleh Paus Yohanes bahwa kebenaran harus melangkah ke depan, dan kemudian secara bertahap berubah. Sebaliknya yang benar ialah: kita harus selalu berjalan dalam kebenaran itu (yang pasti dan tidak berubah), membuat diri kita lebih up-to-date, dan menyampaikan kebenaran itu dengan cara yang sesuai perkembangan zaman. Paus Paulus juga menekankan hal yang sama. Hal pertama yang saya lakukan, ketika saya terpilih sebagai Paus, adalah masuk ke Kapel pribadi rumah tanggah kePausan. Di belakang saya ada dua mosaik yang dipajang oleh Paus Paulus satu adalah gambar St. Petrus sedang menghadapi ajal dan satunya lagi gambar St. Paulus menghadapi ajal. Tapi di bahwa gambar St. Petrus tertulis kata-kata Yesus: Aku berdoa untukmu, Petrus, agar imanmu jangan gugur (Luk 22:32).” Dan dibawah gambar St. Paulus yang hendak ditebas pedang tertulis, “ Aku telah mengakhiri perlombaanku. Aku telah menjaga imanku (2 Tim 4:7)” Tahukah kalian pada pembicaraan terakhirnya tanggal 29 Juni Paus Paulus berkata, “ Setelah 15 tahun menjadi Paus, aku bisa bersyukur kepada Allah bahwa aku telah mempertahankan iman. Bahwa aku telah menjaga iman.”
Gereja juga adalah ibu. Jika ia merupakan perpanjangan Kristus, dan Kristus itu baik, maka Gereja harus baik, baik kepada semua orang. Tapi bukankah dalam Gereja juga kadang ada orang-orang jahat? Kita semua punya ibu. Dan jika ibu kita sakit, atau jika ibuku lumpuh, aku akan semakin mencintainya. Begitu juga dengan Gereja. Jika ada, dan memang ada, kekacauan dan masalah dalam Gereja, maka cinta kita terhadap Gereja tidak dapat berkurang. Kemarin, saya dikirimi artikel “Citta Nuova” dan di akhir artikel itu ada tertulis satu cerita dan akan saya gunakan untuk mengakhiri audiensi ini, saya hanya ingat sedikit saja, ada sebuah kisah. Seorang pengkhotbah Inggris MacNabb, berkhotbah di Hyde Park tentang Gereja. Setelah ia selesai berkhotbah, seseorang berkata kepadanya: “Khotbahmu bagus. Tapi aku kenal beberapa Imam Katolik yang hidupnya tidak perduli pada orang miskin dan mereka itu kaya raya. Aku juga kenal seorang Katolik yang suka memukuli istrinya. Aku tidak suka dengan Gereja yang dipenuhi pendosa seperti itu.” Imam itu berkata: “ Dari apa yang kau katakan bolehkah aku membuat perbandingan?”-“Marilah kita dengar”- Imam itu berkata:” Permisi, tapi apakah aku salah melihat kerahmu sedikit kotor?”- dia mengatakan:” Ya memang sedikit kotor”-“ Apakah ini kotor karena belum dicuci dengan sabun. Atau sudah dicuci tapi sabunnya tidak mampu membersihkan?”- “Tidak” katanya, “Aku belum mencuci noda ini dengan sabun.”
Kalian lihatlah. Gereja Katolik memiliki sabun yang luarbiasa: Injil, Sakramen, dan doa. Injil dibaca dan dihidupi, Sakramen dirayakan dengan cara yang benar, berdoa dengan baik, itu akan menjadi sabun yang luar biasa yang mejadikan kita semua dapat menerima kekudusan. Kita semua tidak kudus, karena belum menggunakan sabun ini dengan baik. Mari kita bertemu dengan harapan para Paus yang mengadakan dan melaksanakan Konsili, Paus Yohanes dan Paus Paulus. Mari kita memperbarui Gereja dengan menjadikan diri kita lebih baik. Setiap kita dan seluruh Gereja hendaknya membiasakan diri mendoakan ini; “Tuhan, ini aku, kuserahkan pada-Mu diriku apa adanya, dengan segala kekurangan dan ketidaksempurnaanku, tapi jadikanlah aku seperti yang Engkau inginkan.”
Aku juga harus menyapa kalian yang sakit, yang aku lihat ada disini. Kalian tahu, Yesus berkata: “Aku ada tersembunyi dalam mereka, apa yang kau lakukan untuk mereka, kau melakukannya untuk-Ku.” Jadi kami menghormati Tuhan sendiri yang hadir dalam pribadi kalian, dan kami berharap kalian akan semakin dekat dengan Tuhan, dan Dia akan menolong dan menguatkan kalian.
Dan di kanan kami, ada sejumlah pengantin baru. Mereka telah menerima Sakramen yang agung. Mari kita berharap bahwa sakramen yang telah mereka terima tidak hanya mendatangkan kebaikan dalam hal-hal duniawi tapi juga lebih banyak rahmat rohani. Abad yang lalu ada professor yang hebat, Frederik Ozanam. Dia mengajar di Sorbonne, dan sangat kompeten dan mengagumkan! Temannya Lacordaire berkata: “Dia sangat berbakat, dia juga baik, dia akan menjadi Imam, dan akan menjadi Uskup, yah Uskup yang hebat!”. Apakah begitu? Tidak!.Ozanam bertemu gadis cantik dan kemudian menikah. Lacordaire kecewa dan berkata. “Ozanam malang! Dia jatuh masuk perangkap”. Tapi dua tahun kemudian, Lacordaire pergi ke Roma dan diterima oleh Paus Pius IX, dia menceritakan kepada Paus kisah tentang Ozanam dan kemudian Paus berkata, “ datanglah ke sini Pater”, lanjut Paus, “Sejak dulu saya diajar bahwa Yesus mendirikan tujuh Sakramen. Dan sekarang kau datang kemari dan mengubah segalanya. Kau mengatakan kepadaku bahwa Dia mendirikan enam Sakramen dan satu perangkap! Tidak Pater, perkawinan bukan perangkap, tapi sebuah Sakramen yang agung!”.
Jadi kami sekali lagi menyampaikan selamat untuk para pengantin baru ini: Tuhan memberkati kalian!
Keterangan:
Note ini berisikan terjemahan dari Audiensi Umum Paus Yohanes Paulus I pada tanggal 13 September 1978.
Artikel asli dari audiensi ini dapat dilihat di sini: General Audience, September 13,1978
Terimakasih kepada Saudara Athanasios, moderator ekaristi dot org, yang telah menerjemahkan audiensi umum ini. Pax et Bonum.
Artikel asli dari audiensi ini dapat dilihat di sini: General Audience, September 13,1978
Terimakasih kepada Saudara Athanasios, moderator ekaristi dot org, yang telah menerjemahkan audiensi umum ini. Pax et Bonum.